BHARATA
Bhàrata memiliki permaisuri yang bernama Pañcajanì. Bharata
memerintah dengan adil dan bijaksana. Ia melakukan berbagai upacara yajña.
Setelah memerintah cukup lama, maka ia menyerahkan kerajaan pada putra-putranya
lalu pergi untuk menjadi seorang pertapa. Ia tinggal sendirian di sebuah àúrama
di pinggir sungai Gaóðakì dan berdoa kepada dewa Wiûóu untuk mendapatkan pencerahan.
Suatu hari seekor kijang datang untuk meminum air sungai. Ketika
kijang itu sedang minum air. Seekor singa tiba-tiba meraung dan membuat kijang
itu sangat terkejut, Kijang itu kemudian melompat ke sungai dan kebetulan saat
itu juga melahirkan. Dan anaknya dibawa arus sungai. Dan induk kijang itu
berhasil menyelamatkan diri ke pinggir sungai namun akhirnya tewas karena
kehabisan nafas.
Bharata melihat semua kejadian itu. Ia kemudian melompat ke dalam
air dan menyelamatkan anak kijang itu. Ia membawanya pulang ke pertapaannya dan
membesarkan anak kijang itu. Makin lama, Bharata mulai tertarik dan terikat
padanya. Begitu terikat hingga ia melupakan semua tentang meditasinya. Sebentar
saja ia tidak melihat kijang itu maka hatinya menjadi tidak tenang karena
khawatir kalau-kalau kijang itu bertemu dengan srigala atau binatang buas
lainnya. Bahkan hingga saat menghembuskan nafas terakhirnya pun, ia masih
memikirkan kijang kesayangannya.
Karena ia memikirkan kijang di saat terakhirnya, maka dalam
inkarnasi selanjutnya Bharata menjadi seekor kijang. Namun ia lahir menjadi
kijang Jàtismara yaitu binatang yang sanggup mengingat semua masa lalunya. Maka
ia pun menyadari telah melenceng dari jalan yoga yang telah ditempuhnya karena
kesalahannya sendiri. Oleh karena itulah ia kemudian kembali ke àúramanya yang
lampau dan tinggal di sana. Ketika kijang itu mati, ia kembali lahir menjadi
anak seorang Bràhmaóa.
Sebagai seorang Bràhmaóa, Bharata tetap menjadi seorang Jàtismara.
Ia menyadari bahwa hubungan dengan sesama manusia sekali pun, rentan
menimbulkan keterikatan dan tidak mau terikat dengan hal seperti itu. Maka ia
pun berpura-pura menjadi gila, bodoh, dungu dan bisu agar tak seorang pun mau
berteman dengannya. Ketika orang tuanya meninggal, saudara-saudaranya yang lain
mulai memperlakukannya dengan tidak layak.
Mereka memberikan makanan yang busuk, namun Bharata tidak mampu
berbuat banyak dan tidak memperdulikan hal itu. Karena ia makan untuk hidup
bukan makan untuk memenuhi nafsu indranya. Ia tetap tampak sehat meskipun makan
seadanya dan tidur di tanah. Hanya sehelai kain yang menutupi tubuhnya dan ia
tidak pernah mandi. Sehingga orang-orang mulai menganggapnya sebagai orang
buangan.
Tersebutlah seorang pemimpin kasta Úùdra, yang ingin melakukan
kurban manusia pada dewi Kàlì. Ia telah menangkap seseorang untuk dijadikan kurban
namun orang itu berhasil melarikan diri di tengah malam. Sehingga orang ini
harus mencari manusia kurban yang lain dan saat itu ia melihat Bharata sedang
duduk di tengah ladang. Mereka kemudian menangkapnya dan membawa Bharata kepada
pemimpin mereka.
Bharata kemudian diberi makan, mandi dan pakaian yang baru.
Pendeta para úùdra itu kemudian mengangkat pedangnya untuk membunuh Bharata
untuk dijadikan persembahan pada sang dewi. Namun dewi Kàlì tidak mau
membiarkan semua itu terjadi dan beliau lalu keluar dari patungnya dan menyuruh
para pengawalnya untuk membunuh semua úùdra itu. Bharata telah diselamatkan
lalu ia kembali ke ladang tempatnya.
Suatu hari raja Rahùgaóa sedang lewat. Beliau memerintah di
kerajaan Sindhù dan Soubira. Beliau menaiki sebuah tandu dan tandu itu
memerlukan orang tambahan untuk membawa tandu itu. Pelayan sang raja menemukan
Bharata dan membawanya menghadap sang raja. Bharata tampak bertubuh kuat dan
sehat. Oleh karena itulah ia dipilih untuk membawa tandu itu bersama pelayan yang
lainnya.
Namun Bharata tidak sanggup mengimbangi para pembawa tandu yang
lainnya. Ia melangkah sangat lambat agar tidak menginjak binatang kecil seperti
serangga tanah dan sebagainya. Maka ini mengakibatkan tandu itu tidak bisa
berjalan cepat. Dan hal ini membuat sang raja kesal dan beliau memarahi para
pembawa tandu itu yang kemudian menyalahkan Bharata karena kelambatannya. Raja
Rahùgaóa berteriak kepada Bharata.
“Apakah kau lelah ?” tanyanya. “Sudah berapa mil kau berjalan
membawa tandu ini ? Kau tampak kuat tapi mengapa jalanmu sangat lambat ?”
Bharata hanya tersenyum. “Hamba tidak sedang lelah” jawabnya.
“Tidak juga hamba telah berjalan jauh. Hamba tidak lelah ataupun kuat. Hamba
adalah Àtman. Bagaimana mungkin Àtman bisa menjadi lemah, lelah ataupun kuat.
Àtman adalah maha meliputi lalu bagaimana bisa bergerak?”
Sang raja amat kagum oleh kata-kata bijaksana yang dikeluarkan
olehnya. Beliau akhirnya berlutut pada Bharata untuk memohon maaf. Beliau
kemudian ingin mempelajari tentang kebijaksanaan dari Bharata. Bharata kemudian
mengajarkan tentang àtman, brahman dan hubungan keduanya. Ia mengatakan bahwa
tubuh hanyalah bersifat sementara. Àtmanlah yang sebenarnya abadi.
Hidup ini seperti sebuah hutan yang amat luas di mana di dalamnya terdapat bahaya ilusi dan keterikatan duniawi. Hanya mereka yang memiliki pengetahuan itulah yang akan selalu berhati-hati dalam melangkah menghindari lubang-lubang perangkap. Demikianlah raja Rahùgaóa mempelajari pengetahuan sejati dari Bharata.
Hidup ini seperti sebuah hutan yang amat luas di mana di dalamnya terdapat bahaya ilusi dan keterikatan duniawi. Hanya mereka yang memiliki pengetahuan itulah yang akan selalu berhati-hati dalam melangkah menghindari lubang-lubang perangkap. Demikianlah raja Rahùgaóa mempelajari pengetahuan sejati dari Bharata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar