Màrkaóðeya-Puràóa
Puràóa ini adalah salah satu karya dari karya yang paling penting, menarik dan barang kali juga yang tertua dari keseluruhan literatur Puràóa. Bahkan Puràóa ini, bukan karya kesatuan, tetapi terdiri dari bagian-bagian yang tidak semua berasal dari nilai yang sama dan juga rupanya tersusun dalam beberapa kurun waktu tertentu.
Karya ini dinamakan Màrkaóðeya,
mengambil nama seorang mahàûi pada masa yang sangat kuno, seperti
tersebut, yang menikmati masa mudanya
yang abadi (awet muda) yang juga muncul sebagai salah seorang tokoh yang
memberikan wejangan dalam satu bab yang besar di dalam kitab Mahàbhàrata. Dan
kita boleh menganggap sebagai unsur pokok tertua dalam bab-bab itu Maharûi
Màkaóðeya sebagai pembicara yang sebenarnya dan memberi pencerahankepada para
siswanya, mengenai penciuptaan alam semesta, kurun-kurun waktu atau masa (umur)
dunia, sislsilah dan asal-usul para raja
dan topik-topik lannya yang merupakan
karakteristik dari kitab-kitab Puràóa pada umumnya. Hal yang sangat istimewa
sebagai fakta bahwa di dalam kitab ini,
baik Viûóu maupun Úiva tidak menempati posisi yang sangat menjolok,
tetapi agaknya Indra dan Brahman mendapat tempat ketermuka dan para devatà yang
mula-mula disebutkan dalam kitab suci Veda, seperti Agni (api) dan Sùrya
(matahari) diagungkan melalui lagu-lagu pujian dalam beberapa bagian dari kitab
ini dan sejumlah besar lagu pujaan yang ditujukan kepada Sang Hyang Sùrya juga
disebutkan. Semua sependapat bahwa sebagian besar dari bab-bab yang tercatum
itu merupakan karakter dari Puràóa lama, sebagaimana perkiraan Pagiter, berasal
di abad ke 2 Masehi, tetapi bisa juga lebih tua dari masa itu. Moralitas dan
cerita-cerita yang mendatangkan keberuntungan juga juga merupakan bagian yang
besar seperti diuraikan di bawah ini.
Dalam bab-bab awal dari karya
ini, sangat dekat mengikuti Mahàbhàrata
dan pada umumnya punya amat banyak persamaan dengan buku ke 12 dari epik itu.
Màrkaóya Puràóa secara khusus mulai dengan bagian ini, bahwa Jaimini, seorang
siswa dari Maharûi Vyàsa mendekati Màrkaóðeya dan sesudah pujian tertentu pada
Mahàbhàrata, memohon kepadanya untuk menjawab empat pertanyaan yang di dalam
epik besar itu belum terjawab. Pertanyaan pertama adalah, bagaimana Draupadì
bisa menjadi istri bersama dari Pañca Pandava, yang terakhir mengapa anak-anak
Draupadi dibunuh pada suatu usia yang muda. Màrkaóðeya tidak menjawab sendiri
pertanyaan-pertanyaan itu, tetapi menunjukkannya kepada empat burung yang
bijak, yang sebenarnya adalah para Brahmana yang lahir sebagai burung-burung
sebagai hasil dari suatu kutukan. Ceritra burung-burung itu rupanya sesuai
dengan ceritra di dalam Mahàbhàrata (I.229), dan salah satu burung itu bernama
Droóa dan menurut Màrkaóðeya Puràóa burung-burung tersebut adalah anak dari
Droóa.
Burung-burung ini menceritakannya kepada Jaimini sederetan legenda untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada mereka. Dalam jawaban terhadap pertanyaan yang terakhir dikatakan bahwa lima devatà (Viúvedeva) pernah mengalahkan orang suci yang besar Viúvàmitra ketika dia memperlakukan Hariúcandra dengan kasar, kepada mereka dikutuk oleh orang suci itu untuk lahir lagi sebagai umat manusia, kutukan itu tidak akan berakibat fatal bila mengatakan bahwa mereka akan meninggal muda dan tidak kawin. Lima orang putra Draupadì itu adalah para devatà itu. Dikaitkan dengan legenda menyedihkan tetapi secara murni bersifat ke-Brahmana-an tentang seorang raja bernama Hariúcandra, yang tidak takut terhadap kemarahan dan kutukan Maharûi Viúvàmitra, mengalami penderitaan dan penghinaan sampai pada akhirnya dia dibimbing masuk surga oleh Sang Hyang Indra sendiri.
Burung-burung ini menceritakannya kepada Jaimini sederetan legenda untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada mereka. Dalam jawaban terhadap pertanyaan yang terakhir dikatakan bahwa lima devatà (Viúvedeva) pernah mengalahkan orang suci yang besar Viúvàmitra ketika dia memperlakukan Hariúcandra dengan kasar, kepada mereka dikutuk oleh orang suci itu untuk lahir lagi sebagai umat manusia, kutukan itu tidak akan berakibat fatal bila mengatakan bahwa mereka akan meninggal muda dan tidak kawin. Lima orang putra Draupadì itu adalah para devatà itu. Dikaitkan dengan legenda menyedihkan tetapi secara murni bersifat ke-Brahmana-an tentang seorang raja bernama Hariúcandra, yang tidak takut terhadap kemarahan dan kutukan Maharûi Viúvàmitra, mengalami penderitaan dan penghinaan sampai pada akhirnya dia dibimbing masuk surga oleh Sang Hyang Indra sendiri.
Sesudah uraian tentang jawaban
terhadap empat pertanyaan itu, sebuah bab baru mulai (bab 10–44) merupakan
percakapan antara seorang ayah dan putranya. Hal ini merupakan suatu
pencaharian yang luas dari percakapan ayah dan putra itu, yang dapat dilihat di dalam kitab
Mahàbhàrata. Merupakan salah satau karakteristik di dalam Mahàbhàrata, seorang putra disebut “cerdas”
(Medhàvin), sedangkan di dalam kitab Puràóa ia disebut dengan nama Jada, yang
artinya orang yang “bodoh”.
Seperti di dalam Mahàbhàrata,
di sini juga seorang putra menyesali cara hidup para Brahmana yang salah,
seperti dicita-citakan oleh seorang ayah,
mengingatnya kembali pada semua kelahiran yang dahulu dan melihat
penyelamatan hanya dengan jalan menghindarkan diri Saýsàra. Dan “orang yang
bodoh” itu menguraikan tentang Saýsàra dan akibat dari berbagai dosa muncul
dalam berbagai kelahiran, teristimewa hukuman di neraka yang menantikan
kedatangan para pelaku dosa. Di tengah-tengah uraian tentang tentang berbagai
neraka, yang bagus dengan caranya sendiri sekalipun jauh dari menyenangkan,
kita temukan salah satu dari mutiara-mutiara terbaik dari legenda-legenda Hindu
tentang kisah raja Vipaúcit (yang bijak) yang sebenarnya pantas diuraikan di
sini secara singkat:
Raja Vipaúcit yang sungguh-sungguh
saleh dan bajik, di masukan ke neraka sesudah kematiannya oleh seorang pembantu
dewa Yama. Ketika dia menanyakan dengan keherannya mengapa ia di bawa kesana,
pembantu dewa Yama menjawab kepadanya, dia pernah gagal untuk berhubungan dengan
istrinya pada suatu hari yang
menguntungkan untuk proses penghamilan, karena pelanggaran kecil terhadap
ajaran agama, ia setidak-tidaknya harus menebusnya dengan tinggal sebentar di
neraka. Lalu dia mampu memberikan pencerahan kepada seorang raja berkenaan
dengan perbuatan-perbuatan yang baik dan buruk (úubhàúubha karma) yang yang
berpahala kebaikan atau hukuman di dalam neraka, yang menentukan untuk setiap
perbuatan dosa bagi setiap individu. Setelah penjelasan ini pembantu dewa kematian itu hendak membimbingnya
ke luar dari neraka. Sang raja meninggalkanya untuk pergi, kemudian
teriakan-teriakan tatapan yang mengerikan sampai ketelinganya dan para penghuni
neraka mengganggu dia untuk tetap tinggal kembali untuk waktu yang lebih lebih
lama lagi, karena bau yang amat menyenangkan keluar dari tubuhnya, yang
meringankan siksaan-siksaan neraka. Terhadap pertanyaanya yang mengherankan
itui, pembantu Yama memberikan penjelasan bahwa karma yang baik dari seseorang
merupakan hembusan angin yang menyegarkan, berhembus dan mengurangi
siksaan-siksaan para penghuni neraka itu, kemudian lalu sang raja berkata :
“Tidak
di sorga tidak pula di dunia Brahmà begitu terpikir olehku, adakah manusia (atman) menemukan kebahagiaan
semacam itu, bagaimana ketika dia, pada mahluk-mahluk yang disiksa bisa
memberikan kesenangan. Jika melalui kehadiranku menjadi lebih lembut atau
ringan. Siksaan para mahluk celaka ini, aku akan tinggal di sini sahabatku.
Seperti pilar aku tidak pergi dari sini. Pembantu Yama berkata: “Ayolah kemari wahai raja, mari kita pergi nikmati buah-buah dari
perbuat-perbuatan anda yang baik dan biarkan siksaan-siksaan terhadap mereka
yang pantas terima, sebab merupakan pahala dari perbuatan-perbuatan jahatnya”
Sang raja berbicara : “Tidak, dari sini aku tak mau pergi, selama penghuni-penghuni neraka yang celaka ini melalui kebersamaanku memperoleh kesejukkan (keberuntungan). Mengerikan dan memalukan adanya kehidupan seorang manusia yang tidak bersipanti dengan yang disiksa dan yang diinjak-injak, yang meminta pertolongan kepadanya bahkan kepada musuh-musuhnya yangkejam. Korban suci, pemberian (danapuóya) dan pelaksanaan Tapa tidak berguna sekarang maupun sesudah mati.
Sang raja berbicara : “Tidak, dari sini aku tak mau pergi, selama penghuni-penghuni neraka yang celaka ini melalui kebersamaanku memperoleh kesejukkan (keberuntungan). Mengerikan dan memalukan adanya kehidupan seorang manusia yang tidak bersipanti dengan yang disiksa dan yang diinjak-injak, yang meminta pertolongan kepadanya bahkan kepada musuh-musuhnya yangkejam. Korban suci, pemberian (danapuóya) dan pelaksanaan Tapa tidak berguna sekarang maupun sesudah mati.
Manusia yang tak punya hati nurani
untuk melindungi orang-orang yang tersiksa,
yang hatinya tertanam kebencian terhadap anak-anak, orang usia lanjut
dan yang lemah. Dia bukan manusia, kupikir dia adalah setan. Bahkan kalau
kebersamaan pada penghuni neraka ini, yang menderita siksaan api neraka, yang
berbau busuk itu. Dan kepedihan-kepedihan, lapar dan haus merampok aku.
Kepadanya memberi pertolongan kepada
yang tersiksa dan perlindungan sebagai hadiah, apabila melalui penderitaanku,
orang-orang yang sengsara menjadi berbahagia, apakah yang lebih dari hal itu
yang aku inginkan? Jangan ragu-ragu, pergilah dan tinggalkan aku!
Pembantu Yama berkata :
“Lihat
ini, Sang Hyang Dharma datang dan diikuti oleh Sang Hyang Úakra, untuk
mengajak anda, memang anda harus pergi,
wahai rRaja, berdirilah pergi dari sini”.
“Biarlah
aku temani dikau ke sorga, yang pantas kau terima, naiklah ke dalam kereta
kedewaan ini dan segera pergi dari sini!”
Raja berkata
“Di
sini, di neraka ini, Dharma, orang-orang disiksa ribuan kali, lindungilah kami,
mereka berteriak menangis memanggil aku dalam kesakitan, aku tak bergerak dari
tempat ini”.
Úakra bersabda:
“Pahala
bagi perbuatan mereka orang-orang yang jahat ini diperoleh di dalam neraka,
wahai raja, pahala bagi perbuatanmu yang baik, dikau harus pergi ke atas, ke
sorga”
Akan tetapi karena seorang raja,
para penghuni neraka bukanlah para pendosa tetapi hanya para penderita dan pada
pertanyaaan betapa besar pahala perbuatan baiknya. Dharma sendiri memberikan
jawaban bahwa mereka sebanyak ‘seperti tetes-tetes air di laut, bintang-bintang
di langit bagaikan butir-butir pasir di sungai Gangga”. Kemudian dia hanya punya
keinginan, yaitu melalui perbuatan-perbuatannya yang baik para penghuni neraka
boleh dibebaskan dari siksaan di neraka.
Raja para devatà itu mengabulkan keinginannya, dan sementara dia naik ke sorga
semua mereka yang tersiksa di dalam neraka dilepaskan dari penderitaan mereka.
Cerita tentang kunjungan
Yudhiûþhira ke neraka dan perjalanan ke sorga diuraikan pada buku ke 18
Mahàbhàrata adalah salinan dan barangkali, hanya tiruan yang lemah dan buruk
dari ceritra Vipaúcit. Bahkan Yudiûþhira hanya mempunyai satu visi (maya)
tentang neraka, adalah satu kelemahan yang esensial. Di dalam Padma Puràóa
sebagai hukuman karena telah membunuh seekor sapi, raja Janaka pergi ke neraka
untuk memelihara bentuk dan dia lalu meringankan seperti tersebut di atas,
roh-roh yang dihukum di sana.
Raja Janaka pergi ke neraka seperti bentuk biasa, karena dia telah memukul seekor sapi, dan melepaskan roh-roh yang di hukum dengan cara yang serupa, Sebuah cerita-dongeng Yahudi menceritakan tentang seorang yang tak mementingkan diri sendiri yang menghabiskan seluruh hidupnya dalam memberi pertolongan kaum yang menderita, dan setelah kematiannya menolak pergi ke taman Firdaus (Paradise) sebab tak ada seorangpun di sana yang memerlukan pertolongan; dia lebih suka pergi ke neraka yang merupakan tempat mahluk-mahluk menderita, bisa merasa simpati dan dia bisa memberi pertolongan. Sumber orisinil dari semua legenda ini barang kali harus ditemukan pula di dalam legenda Buddhis Mahàyana dari Bodhisattva Aralokiteúvara.
Raja Janaka pergi ke neraka seperti bentuk biasa, karena dia telah memukul seekor sapi, dan melepaskan roh-roh yang di hukum dengan cara yang serupa, Sebuah cerita-dongeng Yahudi menceritakan tentang seorang yang tak mementingkan diri sendiri yang menghabiskan seluruh hidupnya dalam memberi pertolongan kaum yang menderita, dan setelah kematiannya menolak pergi ke taman Firdaus (Paradise) sebab tak ada seorangpun di sana yang memerlukan pertolongan; dia lebih suka pergi ke neraka yang merupakan tempat mahluk-mahluk menderita, bisa merasa simpati dan dia bisa memberi pertolongan. Sumber orisinil dari semua legenda ini barang kali harus ditemukan pula di dalam legenda Buddhis Mahàyana dari Bodhisattva Aralokiteúvara.
Dalam bahasa dan gaya dialog yang amat bagus ini dalam banyak
hal mengingatkan kita kepada syair Sàvitrì dari Mahàbhàrata. Seperti halnya
dalam kasus epik besar itu, begitu juga dalam Puràóa saling berdampingan dengan
pecahan-pecahan persajakan yang paling indah yang kita temukan produk-produk
yang paling tak bermutu dari kesusastraan kepanditaan. Segera sesudah legenda
seperti diceritakan di atas, kita temukan legenda Anasùya seperti sebuah
karikatur dari legenda-Sàvitrì.
Anasùya (namanya berarti yang tidak
cemburuan) adalah istri yang luar biasa setianya dari seorang Brahmana yang
menjijikan, kasar dan berpikiran kotor dan menderita sakit kusta. Mengikuti
prinsip Brahmana, “Suami adalah dewa bagi seorang istri”, perempuan itu
melayani dia dengan cinta dan perhatian yang sepenuhnya dan menderita
perlakuan-perlakuan yang kasar dengan kesabaran. Pada suatu hari lelaki yang
baik ini, yang adalah juga seorang yang tidak menghormati wanita, mengabaikan
keinginanya yang mendesak untuk mengunjungi seorang pelacur yang disukainya.
Karena dia sendiri terlalu sakit untuk pergi, istrinya yang setia menggendong
dia dipunggungnya untuk mengantarnya ke tempat pelacur itu.
Di perjalanan, dengan tidak sengaja dia menendang seorang, yang ternyata orang suci dengan kakinya dan orang suci itu mengutuk dia untuk mati sebelum matahari terbit. Lalu Anasùya berkata : “Matahari tidak akan terbit” sebagai hasil dari ketulusannya, matahari benar-benar tidak terbit, akibatnya para dewa banyak yang kecewa karena mereka tidak memproleh pesembahan. Lalu mereka terpaksa melihat bahwa suami Anusùya yang amat ramah itu tetap hidup.
Di perjalanan, dengan tidak sengaja dia menendang seorang, yang ternyata orang suci dengan kakinya dan orang suci itu mengutuk dia untuk mati sebelum matahari terbit. Lalu Anasùya berkata : “Matahari tidak akan terbit” sebagai hasil dari ketulusannya, matahari benar-benar tidak terbit, akibatnya para dewa banyak yang kecewa karena mereka tidak memproleh pesembahan. Lalu mereka terpaksa melihat bahwa suami Anusùya yang amat ramah itu tetap hidup.
Sebenarnya, hal yang disebutkan seperti di dalam
Mahàbhàrata, kita temukan di sini juga, dengan tambahan yang secara murni
merupakan dialog-dialog tentang
pendidikan, mengenai tugas-tugas rumah-tangga, upacara Úràddha, kelakuan orang
dalam kehidupannya sehari-hari,
persembahan yang teratur, perayaan-perayaan dan berbagai upacara, seperti juga ajaran yoga
(bab 36 – 43). Khusus mengenai upacara Úràddha sama persis seperti tersebut di
dalam kitab Gautamasmåti.
Màrkaóðeya Puràóa sebagai
sebuah karya yang lengkap, di dalam buku tersebut juga disisipkan Devì
Màhàtnya. Ssispan ini rupanya dilakukan belakangan yang merupakan suatu pujian
untuk mengagungkan dewi Durgà yang disembah sampai saat ini. Di dalam pura dewi
Durgà yang menyeramkan ini, Devì Màhàtmya dibaca setiap hari dan pada waktu
perayaan Durgàpùjà di Bengala, buku ini
dibaca dengan kekhususkan dikaitkan sepenuhnya dengan upacara.
Pada bab 81-93, juga terdapat
bagian dengan judul Caóði, Caóðimàhàtmya, Durgàmàhàtmya dan Saptaúatì dan
terdapat dalam naskah-naskah yang tak terhitung jumlahnya, sebagai karya
bebas, juga ada banyak komentar kepada
naskah itu. Naskah Devìmàhàtnya bertahun 998 Masehi, sudah diterjemahkan dalam
bahasa Prancis oleh Burnouf (Journal
Asiatique IV, 1824, h. 24 tt) dan selengkapnya ke bahasa Inggris oleh Wortham
(JRAS XIII, 1881, h. 3555 tt). Syair karya Bana “Caóðìúataka”, dan drama karya
Bhavabhùti “Màlatimàdhava” barangkali mensyaratkan bersumber pada Devìmàhàtmya,
merupakan sisipan kedalam Màrkaóðeya Puràóa mestinya sudah ada sebelum abad ke
7 Masehi (Band. Pargite h. XII dan XX).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar