BHAVIÛYA PURÀÓA
PROLOG
Diceritakan åûi Vedavyàsa memiliki
seorang murid yang bernama Úatànìka. Para åûi mendatangi Úatànìka dan berkata,
“Kami sangat ingin mempelajari tentang berbagai jenis tata susila. Anda adalah
siswa seorang Åûi agung seperti Vedavyàsa dan anda tentu telah mempelajari
berbagai kebijaksanaan dari beliau. Mohon ceritakanlah kepada kami tentang
pengetahuan suci tersebut”
“Memang benar aku telah banyak
belajar dari åûi Vedavyàsa, “jawab Úatànìka.”Akan tetapi apa yang ingin kalian
pelajari masih terlalu umum maka ijinkanlah saya untuk bertanya pada åûi agung
tersebut terlebih dahulu tentang apa yang harus saya beritahukan pada kalian.”
Åûi Úatànìka kemudian pergi menemui
Vedavyàsa, gurunya.
“Aku telah mengajarkan semua itu pada
muridku yang bernama Sumantu “Kata åûi Vedavyàsa kepada Úatànìka “mengapa kau
tidak langsung saja menemui Sumantu? Karena dia akan sanggup memberitahukan
semua yang ingin kalian pelajari itu”
(Sebenarnya Vedavyàsa memiliki enam
murid utama yaitu Åûi Sumantu, Jaimini, Paila, Vaiúampàyana, Úukadeva dan
Lomaharûaóa).
Ketika Úatànìka pergi menemui Sumantu
maka terjadilah diskusi panjang antara keduanya, dimana dari hasil diskusi ini
lahirlah kitab Bhaviûya Puràóa.
BRAHMA
“Brahmà” kata Sumantu, “menciptakan,
melindungi dan menghancurkan seluruh semesta. Tidak ada dewa yang seperti Brahmà,
tidak ada guru pembimbing yang seperti beliau. Pemahaman beliau terjewantahkan
dalam seluruh veda. Beliau adalah dewa kebijaksanaan. Permaisuri beliau yaitu
dewi Sarasvatì adalah dewi kebijaksanaan.
(Sebagai salah satu dari kitab yang
termasuk golongan Ràjasika Puràóa, maka Bhaviûya Puràóa ini tentu
saja mengagungkan Brahmà. Seperti kita ketahui ada tiga kualitas dasar, dimana
dua diantaranya adalah Sattvam yang mewakili sifat kebaikan, dan Tamas yang
mewakili sifat buruk. Sedangkan sifat ràjasika adalah yang menengahi kedua
sifat tadi. Ràjasika mewakili sifat kenafsuan dan pemuasan kenikmatan. Dalam
sifat ini, pengaruh nafsu dan kenikmatan adalah yang paling mendominasi dan
kadang-kadang dipengaruhi oleh sifat sattvam atau tamas. Sifat-sifat inilah yang
diasosiasikan dengan Brahmà dan penciptaan itu sendiri. Dari sudut pandang
inilah Bhaviûya Puràóa kemudian dikatagorikan sebagai Ràjasika Puràóa
atau ‘Brahmà’ Puràóa.
Orang-orang terpelajar hendaknya
mengabdikan diri kepada atau memuja Brahmà. Dan hanya mereka yang telah
memahami semua Veda yang berhak memasang sebuah patung atau mendirikan sebuah
kuil untuk beliau. Orang yang mendirikan sebuah kuil untuk brahma akan masuk
surga dan menikmati kebahagiaan disana. Jika seseorang member-sihkan kuil Brahmà
maka semua keinginannya akan terpenuhi. Ini juga berlaku pada orang yang
meskipun menyimpan maksud-maksud jahat.
Pada masa sebelum penciptaan alam
semesta, dimana-mana yang ada hanyalah air dan kegelapan memenuhi semua tempat.
Dalam situasi inilah brahma kemudian menciptakan dirinya melalui kekuatannya
saktinya. Karena beliau lahir (bhù) dari dirinya sendiri (svayam)
maka beliau juga bergelar Svayambhù.
Brahmà lah yang telah menciptakan
seluruh penghuni alam semesta ini. Dan dengan kekuatan bathinnya beliau
menciptakan tujuh åûi agung yaitu Marìci, Atri, Aògira, Pulastya, Pulaha,
Kratu, Vasiûþha, Bhågu dan Nàrada. (Dalam Puràóa lain sering disebutkan bahwa
Brahmà lahir dari teratai yang menjulur dari pusar Nàràyaóa. Pada sumber lain
juga ada yang menyatakan bahwa kelahiran Brahmà berhubungan dengan terciptanya
telur mahabesar (Brahmàóða) namun tidak satupun alasan ini terdapat dalam
Bhaviûya Puràóa)
GAÓEÚA
Pada jaman dahulu, setiap usaha atau
pekerjaan yang dilakukan oleh manusia selalu membawa hasil yang sukses. Hampir
tidak diperlukan bantuan dari kekuatan ilahi. Orang-orang dapat melakukan apa
saja yang ingin mereka lakukan tanpa menghadapi kesulitan. Atau meskipun ada
kesulitan namun semua akan dengan mudah bisa diatasinya.
Maka mulailah manusia menjadi besar
kepala dan merasa dirinya mengatasi segalanya. Mereka menjadi terlalu bangga,
angkuh dan tidak menghormati.
Mengetahui hal ini, Brahmà mulai
berpikir, “Aku harus melakukan sesuatu terhadap hal ini. Aku harus menurunkan
kesombongan manusia. Aku akan menciptakan seorang dewa yang bernama Gaóeúa.
Manusia harus memujanya jika mereka menginginkan keberhasilan dalam usahanya.”
Maka Brahmà kemudian menciptakan
Gaóeúa.
Setelah itu manusia, laki ataupun
perempuan tidak bisa lagi mengatasi kesulitan yang mereka hadapi sendirian.
Sekarang mereka memerlukan bantuan Gaóeúa. Mereka harus senantiasa harus
berusaha untuk membuat dewa ini berkenan pada mereka. Dan sebelum melakukan
setiap kegiatan atau pekerjaan, maka mereka harus memuja Gaóeúa terlebih
dahulu. Gaóeúa menjadi dewa pertama yang harus dipuja sebelum melakukan setiap
usaha atau tugas. Maka Gaóeúa kemudian bergelar ‘Vighnahara’ yang
berarti penghancur segala halangan dan ‘Siddhidata’ yang berarti yang
menganugrahi kesuksesan.
Diyakini bahwa Gaóeúa akan memberikan
kekuatan tertentu pada mereka yang menjadi pemujanya. Untuk memuja Gaóeúa maka
seseorang hendaknya menyucikan diri dengan melakukan permandian suci dan
mempersembahkan sesajen berupa buah-buahan dan bunga pada beliau. Dengan
memberikan sumbangan pada mereka yang membutuhkan atau orang suci juga
merupakan bagian dari persmbahan pada Gaóeúa.
Akan tetapi jika Gaóeúa tidak
berkenan maka orang itu akan bermimpi mandi minyak atau sedih tanpa alasan.
Beliau juga tidak akan berkenan jika para pemimpin tidak memimpin dengan baik
dan jika seorang guru tidak mengajar dengan baik atau siswa yang tidak belajar
dengan baik. Jika Gaóeúa tida berkenan maka pertanian, perdagangan tidak akan
berkembang dalam daerah itu.
(Purana-Puràóa lainnya menyatakan
bahwa Gaóeúa adalah putra dari Úiva dan permaisuri beliau yaitu Pàrvatì. Dalam
hal ini Bhaviûya Puràóa memang cukup aneh dengan pernyataan bahwa Gaóeúa
tercipta oleh Brahmà.)
SÙRYA DAN SAÝJÑA
Dewa yang paling penting yang
disebutkan dalam Bhaviûya Puràóa adalah dewa matahari atau Sùrya.
Untuk memastikan bahwa proses
penciptaannya akan berlanjut maka Brahmà kemudian membagi tubuhnya menjadi dua
bagian. Bagian yang berwujud laki-laki bernama Svàyambhuva manu sedangkan yang
berwujud wanita bernama Úatarùpà.
Dengan kekuatan bathinnya, Manu
kemudian melahirkan sepuluh orang putra. Karena kesepuluh anak ini menjadi
penguasa (pati) dari semua benda atau hal (prajà) maka mereka
dikenal bergelar para Prajàpati. Dan salah satu dari para prajàpati ini adalah yang
bernama Dakûa.
(Dalam Mahàbhàrata dan Bhàgavata
Puràóa, Dakûa dinyatakan sebagai putra dari dewa Brahmà).
Dakûa memiliki seorang putri yang
bernama Aditi. Åûi Kaúyapa adalah putra dewa Brahmà dan menikah dengan Aditi.
Dari persatuan ini lahirlah sebuah telur yang maha besar. Selama berhari-hari
tidak terjadi perubahan apa-apa pada telur itu hingga telur itu dianggap telah
mati. Akan tetapi åûi Kaúyapa mengetahui bahwa telur itu belum mati dan
berseru,” Telur (aóða) itu tidak mati (amåta)”
Ketika dewa Matahari bangkit dari
telur itu, maka beliau kemudian dinamakan Màrtàóða, dari kata måta dan
aóða yaitu dua kata yang digunakan oleh ayahnya untuk menyatakan bahwa
telur itu tidak mati. Màrtàóða juga kemudian dikenal bernama Sùrya.
Viúvakarma adalah arsiteknya para
dewa dan memiliki seorang putri yang bernama Saýjña. Saýjña kemudian dinikahkan
dengan Sùrya. Dari pernikahan mereka ini lahirlah Yama dan Yamunà. (Dalam
sumber lain dinyatakan bahwa Sùrya dan Saýjña memiliki putra yang lain yang
bernama Manu. Ini adalah Sàvarói Manu yang kemudian disalah artikan sebagai
Svayambhù Manu)
Akan tetapi sinar dewa Sùrya yang
begitu panas membuat Saýjña tidak tahan lagi bersama suaminya. Ia kemudian
menciptakan seorang wanita yang bernama Chàyà (bayangan) atau Nikûubhà dari
tubuhnya sendiri. Chàyà nampak sangat persis seperti Saýjña hingga sulit untuk
membedakan mereka berdua.
“Aku tidak sanggup lagi menahan
panas sinar suamiku” kata Saýjña pada Chàyà. Tinggallah disini dan
berpura-puralah menjadi aku. Rawatlah anak-anakku, dan ingatlah, jangan
sekali-kali membuka rahasiamu”
“Aku akan melakukan seperti apa yang
kau inginkan selama tidak ada yang mengutuk aku. Namun jika ada yang mengutukku
maka aku terpaksa harus membuka rahasia bahwa aku bukanlah Saýjña”
Saýjña menyetujui persyaratan itu dan
kemudian meninggalkan tempat itu. Selama beberapa waktu ia tinggal bersama
ayahnya, Viúvakarma. Akan tetapi ia tidak mengatakan bahwa sebenarnya ia telah
meninggalkan suaminya. Maka Viúvakarma mengira bahwa Saýjña datang untuk
menjenguknya. Akan tetapi ketika berhari-hari telah berlalu dan Saýjña sama
sekali tidak menampakkan keinginan untuk kembali pada suaminya. Maka kecurigaan
ayahnya mulai timbul, dan untuk menghindari kecurigaan ayahnya maka Saýjña
meninggalkan rumah ayahnya. Ia mengambil wujud seekor kuda betina dan mulai
tinggal di sebuah kerajaan yang terkenal bernama Uttarakuru.
(Matsya Puràóa menyatakan bahwa
Saýjña tinggal dikerajaan yang bernama Maru (gurun pasir), dan bukan di
Uttarakuru.)
Karena tidak mengetahui kebenaran
yang sesungguh-nya, maka Sùrya memperlakukan Chàyà sebagai Saýjña. Yang berarti
beliau menerima ilusi sebagai kenyataan. Dari Chàyà lahirlah tiga anak yaitu
Úrutaúrava, Úrutakarma dan Tapatì. Úrutaúrava dikenal bernama Sàvarói manu dan
Úrutakarma menjadi planet (graha) Úani atau Saturnus.
(Pada bagian ini, Bhaviûya Puràóa
agak membi-ngungkan dimana setelah sebelumnya menyebutkan bahwa Sàvarói Manu
adalah putra dari Sùrya dan Saýjña. Sebenarnya inilah yang juga dikatakan dalam
Puràóa-Puràóa lainnya. Sàvarói manu tidak pernah dinyatakan sebagai putra dari
Chàyà dan Sùrya. Namun untuk membenarkan pernyataannya Bhaviûya Puràóa,
memberikan penjelasan yang tampak agak nyata sebagai kebenaran dimana nama
Sàvarói diberikan pada putranya adalah karena ayah dan ibunya memiliki warna kulit
(sa- sama dan varóa- warna) yang sama.
Kita kembali pada cerita tadi.
Perlakukan Chàyà pada anak-anak Saýjña adalah sebagaimana perlakukan seorang
ibu tiri. Ia bersikap berat sebelah pada anak-anak Saýjña.
Pada suatu hari Tapatì dan Yamunà
bertengkar.
“Aku kutuk kau menjadi sebuah sungai”
kata Tapatì.
“Aku juga mengutukmu menjadi
sebuah sungai” balas Yamunà.
(Màrkaóðeya Puràóa menyatakan
cerita yang agak berbeda tentang hal ini. Bahwa Saýjña tidak sanggup menahan
panas sinar dewa Sùrya kemudian menutup matanya. Ini kemudian membuat Sùrya
marah besar dan mengutuk bahwa putra Saýjña yang bernama Yama akan menjadi dewa
kematian. Setelah mendapat kutukan itu maka Saýjña tidak lagi menutup matanya
dan terus mengedipkan matanya. Dan karena hal ini maka Sùrya mengutuknya bahwa
anaknya yang bernama Yamunà akan menjadi sebuah sungai)
Ketika Tapatì menjadi sebuah
sungai, Chàyà me-numpahkan kemarahannya pada Yama karena kebetulan Yama adalah
kakak dari Yamunà. Yama merasa tidak terima atas perlakukan ibunya pada dirinya
dan adiknya. Dan ini membuatnya terpaksa mengangkat kaki hendak menendang
ibunya.
Chàyà kemudian mengutuk Yama.
“Segera setelah kau menginjakkan kakimu ke tanah maka serangga akan memakannya,
hingga kakimu tinggal tulangnya saja.” kata Chàyà.
Pada saat itu kebetulan Sùrya
sedang lewat di tempat kejadian, dan Yama mengadu pada ayahnya bahwa Chàyà
berlaku tidak adil pada dirinya.
“Mungkin aku melakukan kesalahan
atau dosa dengan berusaha untuk menendang ibuku” kata Yama, “tapi layakkah
seorang mengutuk anaknya sendiri? Aku khawatir kalau-kalau dia bukanlah ibu
kami. Mohon lakukanlah sesuatu atas kutukan yang baru saja dilemparkan padaku”
“Aku khawatir kalau aku tidak
sanggup membatalkan kutukan itu sama sekali” jawab Sùrya “Biarkan saja serangga
itu mengisap darah dan memakan daging kakimu agar kutukan ibumu bisa menjadi
kenyataan. Tapi aku mem-berkatimu bahwa tidak akan terjadi apa-apa pada kakimu
jika serangga-serangga itu telah menghabiskan semua daging di kakimu. Aku
berkati engkau bahwa kakimu tidak akan apa-apa. Sedangkan putriku Tapatì dan
Yamunà, aku memberkati mereka bahwa mereka akan menjadi sungai yang suci dan
membersihkan dosa-dosa umat manusia. Yamunà akan menjadi sungai suci seperti
sungai Gaògà dan Tapatì akan menjadi sesuci sungai Narmadà.”
Selanjutnya Sùrya kemudian
menanyai Chàyà tentang kebenaran dari apa yang telah dilakukannya. Bagaimana
pun juga seorang ibu tidak boleh membeda-bedakan perlakukan terhadap anaknya. Dan karena dia telah melakukannya
maka Sùrya mengancam akan mengutuknya. Akan tetapi ketika Sùrya hendak
mengutuknya, Chàyà mulai mengatakan yang sebenarnya dan melanggar janjinya pada
Saýjña. Ia mengatakan pada Sùrya bahwa dia bukanlah Saýjña namun Chàyà atau
ilusi Saýjña, bahwa Saýjña telah pergi.
Maka Sùrya kemudian pergi kepada ayah
mertuanya, Viúvakarma untuk mencari Saýjña. Sedangkan Viúvakarma melalui
kekuatan batinnya mengetahui apa yang telah terjadi. Maka ia memberitahukan
Sùrya bahwa Saýjña meninggalkannya karena sinarnya yang terlalu panas dan
Saýjña tidak sanggup menahannya.
“Ijinkan saya mengurangi panas
sinar anda dan membuatnya menjadi lebih lembut. Ijinkan saya memutar tubuh anda
pada alat pemotong ini agar saya bisa memotong kelebihan energi yang ada pada
tubuh anda. Dengan demikian anda akan dengan mudah bisa diterima oleh Saýjña”
Sùrya setuju untuk melakukan usul
itu. Tubuhnya kemudian dilumuri pasta sandal merah dan bunga agar menjadi
sedikit lembut, lalu ia diputar pada sebuah alat pemotong energi. Kelebihan
energi Sùrya kini telah dipotong sedemikian rupa sehingga Sùrya tampak sangat
tampan. Peristiwa ini terjadi di tanah Úakadvìpa.
Viúvakarma kemudian memberitahu Sùrya
bahwa istrinya berada di Uttarakuru, dalam wujud seekor kuda betina. Maka Sùrya
kemudian mengambil wujud seekor kuda jantan dan menemui istrinya. Dalam wujud
kuda (Aúva) mereka melahirkan dua orang putra kembar yang mereka namakan
Aúvinikumàra. Anak-anak ini lahir dari lubang hidung ibunya (dalam wujud seekor
kuda betina). Keduanya berwajah amat mirip dan amat tampan. Mereka kemudian
menjadi tabib para dewa.
(Menurut Mahàbhàrata, dua Aúvini ini
kemudian berinkarnasi menjadi Nakula dan Sahadeva, dua diantara lima pàóðava)
Setelah Sùrya dan Saýjña kembali ke
wujud asalnya, mereka kembali memiliki putra yang lain yang bernama Revanta
atau Raivanta. Anak ini lahir dengan menunggang kuda dan bersenjata serta
memiliki perisai perang. Selanjutnya ia kemudian menjadi raja para Guhyaka.
Dalam berbagai bagian dalam Bhaviûya
Puràóa, Sùrya diagungkan sebagai dwa tertinggi, sedangkan Brahmà, Viûóu dan
Úiva dinyatakan sebagai dewa bawahan atau bagian dari dewa Sùrya.
Bahkan Brahmà sendiri yang
memberitahukan åûi Yàjñavalkya, “Sùrya adalah dewa yang menghalau kegelapan di
seluruh dunia dan menyalakan ketiga dunia. Beliau adlah cahaya dari segalanya.
Beliau abadi, tak terhancurkan dan mahakuasa. Beliau adalah pencipta,
pemelihara dan penghancur seluruh alam semesta. Beliau adalah dewa dari para
dewa beliau adalah yang tertinggi dan tidak ada dewa yang mengimbanginya.”
Beliau akan memberikan pembebasan
pada mereka yang memujanya dengan penuh hormat dan ketulusan hati. Dan dalam
suntingan dari sabda dewa Sùrya sendiri dinyatakan “Bersujudlah padaku,
menjadilah pemujaku penuhi pikiranmu dengan pikiran tentang aku. Orang yang
memikirkan aku akan bersatu denganku pada akhirnya nanti.”
PARA PEMUJA SÙRYA
Pada bagian ini, Bhaviûya Puràóa
menceritakan tentang tiga kelas atau golongan pemuja Sùrya. Mereka adalah para
Maga yang memuja Sùrya, para Maga yang memuja Sùrya dan para Bhojaka yang
memuja Sùrya.
Siapakah para Maga itu ? Bhaviûya
Puràóa menyatakan bahwa suku kata ‘ma’ melambangkan dewa Sùrya. Orang
yang bermeditasi pada suku kata ‘ma’disebut para Maga. Seorang
Maga adalah pemuja dewa Sùrya.
Sùrya adalah dewa tertinggi dari
para Maga. Mereka memasak
makanan hanya untuk Sùrya dan akan mema-kannya jika telah memberikan
persembahan pada Sùrya. Mereka tinggal di Úakadvìpa yang terletak jauh dari
Jambùdvìpa, di hulu samudra luas (Lavaóa Samudra). Úakadvìpa dikelilingi
oleh samudra luas lainnya yang dikenal bernama Kûìroda samudra.
Diceritakan bahwa Kåûóa menikah
dengan Jàmbavatì dan mereka memiliki seorang putra yang bernama Sàmba. Sebagai
hasil dari kutukan yang ditimpakan padanya oleh ayahnya, Sàmba menderita lepra.
(Tentang kutukan ini diceritakan dalam Sàmba Puràóa )
Sàmba diberitahukan bahwa ia akan
sembuh dari lepra yang dideritanya jika ia memuja dewa Matahari. Maka ia
kemudian mendirikan sebuah kuil untuk memuja dewa Sùrya di pinggir sungai
Candrabhàga (Chenab). Para pendeta yang ada di daerah Úakadvìpa adalah pendeta
yang mahir dalam puja pada dewa Sùrya dan mereka diundang oleh Sàmba dan
bertindak sebagai pendeta pemimpin dalam kuil itu.
Jika hendak makan maka orang-orang
suci di Úakadvìpa melakukannya dengan diam dan sunyi. Hal ini juga diikuti oleh
mereka yang tinggal di Úakadvìpa. Para Bràhmaóa dari golongan Maga selalu
memakai benang suci yang dikenal sebagai Avyaòga, yang mengikat
pinggangnya. Mereka juga memelihara jenggot dan tidak menyentuh benda-benda
yang tidak suci. Mereka diharuskan ber-keturunan untuk menambah jumlahnya dan
menyumbangkan sebagian dari pendapatannya. Mereka menjadi vegetaris dan hanya
memakan sayuran dan buah-buahan saja. Mereka harus berpenampilan baik dan teguh
hati seimbang dan memiliki pengendalian diri yang penuh.
Silsilah tentang adanya Bràhmaóa
golongan Maga adalah sebagai berikut.
Tersebutlah seorang åûi yang bernama
Rijihva yang merupakan pemuja dewa Agni. Putri åûi Rijihva adalah Nikûubhà.
Sebelumnya Nikûubhà telah diidentikkan sebagai Chàyà. Sebenarnya secara
diam-diam Sùrya telah menikahi Nikûubhà dan memiliki seorang putra yang bernama
Jaraúabda.
Ketika Rijihva mengetahui bahwa
Nikûubhà telah menikah dengan Sùrya tanpa sepengetahuannya, maka beliau menjadi
amat marah. Meskipun beliau amat mencintai putrinya, namun beliau tetap
mengutuknya. “Aku mengutuk anakmu kelak akan menjadi orang yang tidak berguna”
katanya.
Dengan berlinang air mata Nikûubhà
memohon pada Sùrya dan beliaupun berkenan untuk menampakkan diri dihadapannya.
“Aku tidak bisa membatalkan kutukan ayahmu” kata dewa Sùrya “bagaimanapun juga
ia adalah seorang åûi. Akan tetapi aku memberkatimu bahwa kelak keturunan
anakmu akan menjadi golongan orang yang mempelajari Veda dengan serius dan
memakai benang suci yang dinamakan Avyaòga. Tidak usah memikirkan apa
yang terjadi pada putra-putramu karena keturunan mereka akan menjadi orang yang
berguna”
Keturunan Jaraúabda inilah yang
kemudian menjadi para Maga Bràhmaóa.
Bhaviûya Puràóa juga menyediakan
penjelasan dan keterangan tentang para Maga yang memuja dewa Agni sebagai ritual
sehari-hari mereka.
(Para sarjana telah menyelidiki bahwa
para Maga yang diterangkan dalam Bhaviûya Puràóa adalah para pendeta Magi yang
terdapat di Iran. Orang-orang ini kemudian bermigrasi ke India pada tahun-tahun
awal, mungkin sekitar masa para Kushana. Meskipun kata Iran tidak terdapat
dalam kitab Bhaviûya Puràóa, namun kata Úakadvìpa sebenarnya menunjuk pada
Iran. Para penduduk
Iran pada masa lampau adalah para pemuja api dan matahari. Bhaviûya Puràóa
menyebutkan ada lima jenis api (agni). Sedangkan kitab suci golongan Avesta
juga mengenal adanya lima jenis api ini. Bahkan nama salah satu nabi para
Zarathustra hampir mirip dengan Jaraúabda. Orang-orang Persia yang merupakan
keturunan bangsa Iran juga memakai benang suci di pinggangnya. Bhaviûya Puràóa
merupakan contoh adanya sintesis dan asimilasi budaya lain dengan budaya
Hindu).
Bagaimana dengan golongan
Bhojaka yang juga disebutkan sebagai pemuja matahari dalam Bhaviûya Puràóa?
Seperti para Maga, mereka juga berasal dari Úakadvìpa. Akan tetapi ada banyak
perbedaan antara Maga dengan Bhojaka.
Para Bhojaka membuat persembahan
sehari-hari yang terdiri dari makanan pada Sùrya. Mereka juga memper-sembahkan
dupa, kalung bunga, dan berbagai persembahan lainnya. Mereka mempelajari veda,
mandi tiga kali sehari dan memuja Sùrya sebanyak lima kali sehari dan menolak
makanan yang diberikan oleh golongan úùdra. Seorang Bhojaka harus memakai
benang suci Avyaòga setiap saat. Karena dengan memakai benang suci
inilah seorang bhojaka akan mencapai kesucian dan mendapatkan berkah dari dewa
Sùrya. Seorang bhojaka yang tidak memakai benang suci ini akan kehilangan
kesuciannya dan tidak diperkenankan untuk memuja Sùrya. Jika ia menanggalkan
benang suci itu, maka kesehatannya tidak akan terjaga dengan baik, tidak memiliki
keturunan, dan tidak akan mendapat kesempatan untuk mendapatkan surga. Bhaviûya
Puràóa menyatakan bahwa benang suci ini berhubungan dengan semua kitab veda,
para dewa, dan semua mahluk yang ada di bumi ini. Dikatakan bahwa Viûóu berada
d dasar benang itu, Brahmà di tengahnya dan Úiva berada di ujungnya.
Dari penjelasan diatas kita bisa
mengetahui bahwa para bhojaka telah mendapatkan status yang lebih tinggi dari
para Maga. Pengabdian para Bhojaka dijunjung setinggi langit. Sebagaimana
seorang istri melayani suaminya, seorang murid melayani gurunya, demikianlah
seorang bhojaka melayani Sùrya. Sebagaimana tidak ada kitab suci yang melebihi
Veda, tidak ada sungai yang mengatai kesucian sungai Gaògà, tidak ada
persembahan yang mengalahkan upacara Àúvamedha, maka demikianlah bagi para
Bhojaka, Sùrya adalah dewa yang tertinggi, sebagaimana tidak ada mahluk yang
lebih tinggi dari para Bhojaka, bagi dewa Sùrya. Semua yang dilakukan oleh para
bhojaka hendaknya dianggap sebagai dewa Sùrya sendiri yang telah mela-kukannya.
Tak seorangpun bisa mencapai pembebasan sebelum menjadi seorang bhojaka.
Ini juga berlaku bagi setiap
kelahiran seorang bhojaka.
Pangeran Priyavrata adalah putra
Svàyambhuva manu dan Priyavrata membangun sebuah kuil untuk dewa Sùrya di
Úakadvìpa. Beliau membuat sebuah patung Sùrya yang terbuat dari emas. Akan
tetapi meskipun telah berusaha sekuat tenaga ia tidak bisa mendapatkan pendeta
untuk melakukan puja pada kuil itu. Dan dalam rasa putus asa yang dalam beliau mulai
berdoa pada dewa Sùrya.
Dewa Sùrya berkenan atas doa-doa
Priyavrata dan menampakkan diri dihadapan Priyavrata.
“Anugrah apa yang kau minta ?”
tanya dewa Sùrya
“Mohon berikanlah hamba anugrah
agar ada beberapa pendeta yang akan melakukan puja di kuil ini” kata
Priyavrata.
Dewa Matahari setuju atas permintaan
itu. Dan beliau kemudian menciptakan delapan orang suci dari tubuh beliau
sendiri. Dua lahir dari dahi beliau, dua dari tangan, dua dari kaki dan dua
dari sinar beliau. Mereka adalah para Bhojaka yang kemudian berdiam dan
memimpin setiap ritual di Úakadvìpa.
Sebuah kuil juga telah dibangun di
Kalapriya, di pinggir selatan sungai Yamunà.
YAMA
Kembali kepada kisah tentang Yama
yang telah dikutuk menjadi dewa kematian.
Yama memiliki wujud yang menakutkan
dengan jenggotnya yang panjang dan kumisnya yang tebal. Bibirnya bergetar
karena murka dan ia memakai kalung bunga yang berwarna merah.
Di istana Yama juga ada para utusan
dan pelayan Yama yang bergelar Yamadhùta. Mereka menggunakan berbagai
jenis senjata. Pemimpin dari para pelayan dan pekerja di istana Yama bernama
Citragupta. Ia memegang catatan dari dosa dan pahala yang dilakukan oleh
seseorang selama di bumi. Dosa harus dibayar di tempat yang disebut sebagai neraka
dan pahala akan dinikmati di Surga.
Bumi adalah tempat untuk melakukan
berbagai jenis perbuatan atau pekerjaan. Hasil dari perbuatan itu tidak hanya
akan dinikmati di bumi namun juga di neraka dan surga. Hanya mereka yang
berbuat banyak pahala yang akan bisa masuk surga dan menikmati berbagai
kenikmatan yang ditawarkan disana.
Sebelum pergi ke neraka seorang
pendosa akan dibawa untuk menghadap pada Yama terlebih dahulu. Jalan menuju
kesana dipenuhi dengan duri berserakan, jarum, bebatuan, banyak ular berbisa
yang berkeliaran, binatang buas, dan serangga pemakan daging. Para pendosa
tidak mendapat tempat berlindung dalam terik matahari. Mereka juga tidak di
berikan makanan dan minuman.
Para pelayan Yama menyeret para
pendosa tanpa memperdulikan jerit tangis atau rintihan mereka. Mereka malah
dipukuli dan disiksa oleh para pelayan Yama. Bebatuan yang tajam dan berbagai
senjata dilemparkan pada mereka.
Ketika mereka telah sampai di istana
Yama maka mereka dihadapkan pada Yama yang kemudian menentukan ke neraka mana
sang pendosa akan dimasukkan sesuai dengan dosa yang dilakukannya. Di
neraka-neraka itu mereka diberikan berbagai jenis hukuman dan siksaan. Ada yang
dimasukkan ke dalam minyak mendidih atau dipaksa untuk memeluk pilar besi yang
panas membara. Kemudian ada yang dilemparkan ke dalam lubang yang berisikan
kotoran dan air seni. Beberapa pendosa di panah tubuhnya dan ada yang
dipotong-potong dengan pedang yang tajam menjadi beberapa potongan. Mereka
tidak mendapat makanan dan minuman. Kadang ada pendosa yang disuruh berguling
di atas pasir yang panas. Kadang mereka juga dilemparkan dari puncak lembah
yang tinggi.
Kegelapan, penuh sesak dan bau busuk
memenuhi tempat dimana para pendosa berada. Ada berbagai jenis hukuman yang
diberikan pada para pendosa sesuai dengan dosa yang dilakukannya. Biasanya
hukuman diutamakan pada bagian tubuh yang melakukan dosa. Mungkin dipotong, di
rebus, atau di berikan pada binatang buas. Para Yamadhùta tidak pernah mengeluh
merasa iba melakukan tugasnya. Jerit tangis serta rintihan para pendosa malah
akan memba-ngunkan semangatnya untuk melakukan hukuman lebih keras lagi.
TEMPAT SUCI DAN SIMBOL SUCI
Bhaviûya Puràóa juga memiliki bagian
yang men-ceritakan tentang tempat suci dan benda-benda suci.
Perbuatan membangun tempat suci juga
merupakan perbuatan yang jauh lebih berpahala dibandingkan dengan membangun
fasilitas umum seperti sumur untuk menyimpan air. Mereka yang membangun tempat
suci akan mendapatkan surga setelah meninggal nanti.
Dikatakan bahwa para dewa menyenangi
tempat-tempat yang indah seperti di tengah telaga, taman bunga, pepohonan yang
indah, dan tempat dimana bisa didengar suara burung angsa yang berkicau. Oleh
karena itulah, sebuah kuil hendaknya sedemikian rupa diatur agar bisa
memberikan suasana yang menyenangkan. Maka kuil hendaknya dibangun dengan
perhatian yang ekstra.
Tidak semua tanah bisa dipakai untuk
membangun sebuah kuil. Tanah dimana ada benda-benda seperti bulu, tulang, batu
bara, tumbuhan parasit, semak dan yang sejenis maka tempat seperti itu tidak
boleh dipakai untuk mem-bangun sebuah kuil. Tanah yang subur dimana semua benih
bisa tumbuh dengan baik, apalagi jika tanah itu bersuara jika di tumbuk.
Untuk
masing-masing kasta telah ditentukan tanah yang sesuai untuk membangun kuil
mereka. Bagi para Bràhmaóa yang merupakan kasta yang tertinggi maka tanah putih
adalah yang sesuai untuk mereka. Bagi kasta kûatriya, vaiúya dan úùdra secara
berurutan hendaknya memilih tanah yang berwarna merah, kuning dan yang berwarna
hitam.
Sebelum
membangun sebuah kuil hendaknya diperiksa terlebih dahulu jenis tanahnya. Untuk
menguji jenis tanah itu hendaknya seseorang menggali sebuah lubang ukuran
sedang, kemudian tanah di tempat dimana ia akan mendirikan kuil diambil dengan
bagian yang sama, seperti tanah yang diambil untuk membuat lubang itu. Kemudian
tanah itu dimasukkan kedalam lubang tadi dan jika sisanya cukup banyak,
termasuk golongan Uttama. Maka tanah itu termasuk jenis tanah yang bagus
untuk membangun kuil. Namun jika tanah yang tersisa hanya sedikit maka tanah
itu adalah jenis menengah (Madhyama) maka kuil bisa dibangun disini
meskipun ini tidak dianjurkan. Namun jika tanah yang dipakai untuk menutupi
lubang itu malah kurang, ini adalah jenis tanah Adhama, maka jangan
sekali-kali membangun kuil di tempat itu.
Dalam
usaha membangun kuil untuk dewa Sùrya, hendaknya seseorang memberikan perhatian
yang ekstra dalam setiap tahapnya.
Gerbang
kuil hendaknya menghadap ke arah timur. Jika ini tidak memungkinkan maka
hendaknya menghadap ke barat. Hendaknya dibangun sebuah tempat permandian suci
di arah selatan kuil itu. Dan tempat untuk melakukan puja memanjang ke utara.
Kuil untuk memuja Brahmà, Viûóu, dan Úiva masing-masing menghadap ke utara,
timur dan barat dari kuil untuk memuja dewa Sùrya. Di kuil itu juga harus
dibuat tempat-tempat khusus yang ukurannya lebih kecil untuk memuja dewa-dewa
minor. Semua itu hendaknya selalu melengkapi sebuah kuil dan juga sebuah tempat
duduk untuk orang suci atau mereka yang bertugas untuk membacakan kisah Puràóa.
Persembahan
(Arghya) hendaknya dibuat dari dua kopula (mandapa). Disisi
kanannya hendaknya dibuat untuk persembahan pada saat matahari terbit dan di
sebelah kirinya hendaknya dibuat untuk persembahan pada saat matahari terbenam.
Menurut
Viúvakarma, arsiteknya para dewa, ada 3000 jenis cara yang bisa digunakan untuk
membangun kuil Meskipun itu semua tidak mungkin untuk disebutkan, namun ada
beberapa yang merupakan patokan utama.
1) Meru : bertingkat
banyak dengan beberapa puncak.
2) Mandara : bertingkat banyak dengan satu puncak.
3) Kailàsa : bertingkat
banyak satu puncak.
4) Vimanachanda : bertingkat banyak dengan beberapa puncak.
5) Nandana : bertingkat banyak tanpa puncak atau tangga.
6) Samudra
:
satu tingkat dengan bentuk bundar.
7) Våtta : satu tingkat dengan bentuk bundar.
8) Våûa : satu tingkat dengan bentuk bundar.
9) Mågasiýha : satu
tingkat dan berbentuk bundar.
10) Padma : satu tingkat dan berbentuk seperti bunga
teratai.
11) Garuða
: berbentuk
seperti burung garuda.
12) Nandi
:
berbentuk seperti seekor lembu.
13) Gajakuñjara
: berbentuk seperti punggung seekor gajah.
14) Guharàja
: beerbentuk
seperti sebuah gua.
15) Haýsa : berbentuk seperti angsa terbang dengan dasar
berbentuk elips.
16) Kumbhaghaþa : dengan rancangan yang berbentuk seperti sebuah
pot.
17) Sarvatobhadra : bertingkat
lima dengan bnyak puncak dan dasar yang berbentuk segi empat.
18) Caturaúra Vavåkûaþ Catuûkoóa
: satu tingkat dengan dasar yang berbentuk segi empat.
19) Aûþashra : bertingkat
satu dengan delapan sisi.
20) Ûoðaûasra : bertingkat satu dengan enam belas sisi.
Kemudian
disini dijelaskan tentang benda-benda suci khususnya patung. Patung bisa
terbuat dari emas (kañcana), perak (rajata), tembaga (tamra),
tanah (påthivì), batu (úailaja), kayu (varkûi), aûþadhatu
(bahan yang berupa logam yang lebih rendah mutunya).
Benda-benda
suci seperti patung yang dibuat dengan bahan-bahan tertentu memiliki pahala
yang tertentu pula. Patung yang terbuat dari kayu akan memberikan umur panjang
dan kekayaan. Patung yang terbuat dari tanah akan memberikan kenikmatan
duniawi. Patung yang dihiasi dengan permata dan dan batu berharga akan
memberikan kesejahteraan. Patung yang terbuat dari emas akan memberikan
kekuatan, terbuat dari perak akan memberikan nama besar, sedangkan yang terbuat
dari tembaga akan memberikan keturunan. Kesenangan duniawi dan kese-jahteraan
adalah hasil yang didapatkan apabila membuat dari bahan batu.
Kayu
yang digunakan untuk membuat patung hendaknya di potong dengan penuh perhatian.
Sebelum memotongnya hendaknya berkonsultasi terlebih dahulu dengan ahli yang
mengetahui hari baik untuk hal itu. Sebelum memotong hendaknya diadakan upacara
kecil. Hanya setelah melakukan upacara tertentu maka seseorang boleh pergi ke
hutan untuk memilih kayu yang terbaik. Patung hendaknya tidak dibuat dari kayu
yang merupakan kualitas rendah. Oleh karena itulah seseorang hendaknya tidak
memotong kayu yang kecil, kayu yang tumbuh di kuil atau tempat kremasi, pohon
yang didiami banyak burung, kayu yang roboh oleh karena badai, kayu bekas
kebakaran hutan atau yang terbakar oleh petir, atau yang roboh karena ditabrak
gajah. Kayu yang hanya terdiri dari satu atau dua cabang, kayu yang telah
kering atau yang lapuk, yang mudah patah, dan kayu yang mengeluarkan getah,
atau madu, minyak atau darah ketika dipotong.
Janis
kayu yang merupakan bahan yang baik untuk membuat patung adalah Devadàru (sejenis
cemara), candana (cendana), Bilva (sebuah pohon yang suci untuk
Úiva), amra (mangga), nimba, panasa (nangka) dan raktacandana
(cendana merah).
Patung
Sùrya hendaknya dibuat seperti dibawah ini.
Patung
itu hendaknya berukuran delapa puluh delapan jari (aòguli) wajahnya
berukuran duabelas jari, yang sepertiganya adalah ukuran dagu, dan sisanya
adalah untuk hidung dan dahi. Kedua mata harus berukuran dua jari yang
setengahnya adalah ukuran retina. Pupilnya berukuran sepertiga dari retina.
Ukuran hidung hendaknya sama dengan ukuran leher.
Tangan
dengan lengan, kaki dengan paha harus seimbang ukurannya. Kaki sepanjang enam
aòguli dan lebarnya adalah ampat jari. Jempol kaki dan kukunya harus berukuran
hampir seimbang.
Pundak,
dada, paha, alis mata, dahi, hidung dan pipi harus dibuat tegak. Matanya harus
tampak bulat dan besar, bibir merah dan wajah seperti bunga teratai.
Patung
itu harus dihiasi dengan permata, anting, kalung bunga, mahkota, dan sebuah
benang suci. Beliau digam-barkan memegang sebuah bunga teratai dan kalung di
tangannya.
Patung
ang dibuat dari bahan atau wujud yang dibuat tidak seperti persyaratannya,
hanya akan membuat beliau tidak berkenan dan membawa malapetaka bgi pembuatnya.
Jika ada salah satu bagian yang cacat atau kepanjangan maka bahaya akan
mengancam kerajaan. Jika ada bagian yang tampak kekecilan maka kerajaan akan
diserang bencana wabah penyakit. Jika patung itu tampak besar pada bagian perut
maka kerajaan itu akan diancam bahaya kelaparan. Dan jika perut beliau tampak
kecil maka kemiskinan akan mengancam kerajaan itu. Perang yang akan terjadi
pada negara tersebut ditandai dengan retaknya perut beliau dan kematian atau
kehancuran ditandai dengan hancurnya bagian ini. Jika patung itu tampak bengkok
dan bengkok kekanan maka itu adalah pertanda bahwa umur pemiliknya akan
berkurang. Jika bengkok ke kiri maka itu adalah pertanda bahwa anak yang telah
menikah akan bercerai. Jika mata patung itu mendelik keatas maka yang
membuatnya akan buta. Dan jika mendelik ke bawah maka yang membuat patung itu
akan mengahadapi banyak masalah.
Oleh
karena itulah seseorang harus profesional jika hedak membuat patung dewa.
UPACARA AGAMA
Untuk
mendapatkan berkah dari para dewa maka manusia harus melakukan upacara agama (vrata),
berpuasa secara periodik (upavasa) dan menyumbangkan sedekah.
Sebuah
vrata adalah sebuah keputusan yang diambil untuk melakukan sebuah tirakat pada
jangka waktu tertentu dan dimulai pada hari tertentu juga.
Sebelum
melakukan sebuah vrata, seseorang hen-daknya melakukan upacara atau ritual
pendahuluan sebelum melakukan vrata, ini dimaksudkan untuk menyucikan diri
sendiri. Ia harus bangun pada pagi hari dan membersihkan diri kemudian
mempersembahkan sesajen dupa dan makanan pada patung dewa kemudian memberikan
sedekah pada para Bràhmaóa. Pada saat melakukan vrata itu, seseorang hendaknya
tidak berbicara dan mengendalikan diri serta seluruh inderanya.
Vrata
sebenarnya berasal dari kebudayaan para åûi dan para dewa. Merekalah yang
mengajarkan umat manusia untuk melakukan vrata agar keinginan mereka bisa
tercapai. Kemudian dari mereka yang telah mendapatkan berbagai hasil dari vrata
yang mereka lakukan telah menurunkan kebiasaan itu pada yang lainnya dan demikianlah
seterusnya.
Dan
ini kebetulan terjadi pada Úyàmala dalam kisah dibawah ini.
ÚYÀMALA
Di
kota Mithila hiduplah seorang wanita yang bernama Ùrmilà. Ùrmilà memiliki
seorang putra dan seorang putri. Karena dia merasa sudah tidak sanggup lagi
mencari nafkah disana maka ia mencoba keberuntungannya di tempat lain.
Maka
Ùrmilà kemudian pergi ke kota Avanti dan mulai kerja di rumah seorang Bràhmaóa.
Pada
suatu kesempatan, anak-anaknya sangat lapar dan ia terpaksa harus mencuri
beberapa makanan milik tuannya.
Beberapa
waktu berlalu dan putri Ùrmilà yang bernama Úyàmala, tumbuh besar menjadi
seorang gadis yang cantik dan menikah dengan Yama.
Yama
memberitahu Úyàmala,” sebagai istriku, kau bisa tinggal dimana saja di rumahku
ini. Namun ada tujuh ruangan yang tidak boleh untuk dimasuki oleh siapapun,
termasuk kau. Kamar-kamar itu selalu terkunci, kau tidak boleh memasukinya.
Tidak boleh seorangpun membuka pintu untuk menuju ketujuh ruangan itu.
Sementara
itu, karena usianya Ùrmilà akhirnya meninggal.
Sedangkan
Úyàmala mengikuti apa yang telah dikatakan oleh Yama untuk beberapa waktu. Ia
tidak pernah memasuki tujuh kamar itu. Akan tetapi keingintahuannya mulai
tumbuh.
Maka
ia mulai membuka pintu kamar yang terlarang itu, namun apa yang dilihatnya
sungguh di luar dugaannya, dimana ia melihat para pelayan Yama menyeret ibunya
ke dalam jambangan minyak yang mendidih.
Karena
tidak sanggup melihat pemandangan itu, maka ia membuka ruangan berikutnya
dimana ia melihat tubuh ibunya sendiri sedang di hancurkan dengan sebuah batu
besar.
Úyàmala
menutup pintu itu dan membuka pintu kamar berikutnya. Di kamar ini ia melihat
paku sedang ditancapkan pada kepala ibunya.
Pada
kamar yang keempat, tubuh Ùrmilà sedang dipotong-potong menjadi beberapa bagian
dan dagingnya di berikan pada beberapa ekor anjing.
Pemandangan
yang sama juga dilihat oleh Úyàmala pada kamar yang ke lima, enam dan yang
ketujuh. Setiap kamar menyajikan pemandangan yang sama dimana ibunya terlihat
tersiksa dalam berbagai neraka.
Úyàmala
kemudian menghadap pada suaminya dan menceritakan apa yang telah dilakukannya
dan menceritakan shok yang dialaminya atas pemandangan yang baru saja
dilihatnya. “Mengapa ibuku disiksa seperti itu? Apakah dosanya?”
“Kau
memang benar-benar tidak taat padaku, aku dengan tegas telah mengatakan bahwa
kau tidak boleh memasuki tujuh kamar itu. Ibumu sedang menjalani hukuman yang
merupakan hasil dari perbuatannya dimasa lalu. Ia pernah mencuri tepung yang
merupakan milik seorang Bràhmaóa yang kebetulan adalah majikannya. Mencuri barang-barang
yang menjadi milik seorang Bràhmaóa adalah sebuah dosa besar. Sedangkan telah
menjadi peraturan kami bahwa seseorang yang mencuri barang milik seorang
Bràhmaóa harus dihukum selamanya”
“Aku
tidak sanggup melihat ibuku berada di neraka “kata Úyàmala, “mohon katakanlah
bagaimana aku dapat mengurangi hukuman yang didapatkannya, bagaimana aku dapat
mengurangi penderitaannya?”
“Dalam
kelahiran sebelumnya kau telah melakukan budhàûþami vrata delapan kali” jawab
Yama “pahala yang didapatkan dari melakukan ritual ini masih ada padamu, dan
belum habis. Jika kau memberikan pahala itu pada ibumu maka dia akan terbebas
dari neraka”
(Aûþami
adalah hari yang ke delapan dalam setiap bulan. Sebuah ritual yang
dilakukan pada hari aûþami ini disebut sebagai aûþami vrata. Jika hari
ini kebetulan jatuh pada hari rabu maka itu di sebut sebagai Buddhàûþami
vrata).
Úyàmala
kemudian mengikuti saran suaminya. Dan sebagai hasilnya, Ùrmilà tidak hanya
dibebaskan dari neraka dan berbagai siksaannya, namun ia juga mendapatkan sebuah
tempat yang abadi di surga dengan memakai wujud yang baru pula.
Demikianlah
hasil dari pelaksanaan Buddhàûþami vrata.
SANG BRÀHMAÓA DAN
SANG HANTU
Sungai
Vetravati adalah sungai yang mengalir di sepanjang kota Vidiúà.
Pada
suatu hari seorang Bràhmaóa kebetulan bertemu dengan seorang hantu yang sedang
terkapar di pesisir sungai Vetravati. Saat itu adalah musim panas dan pasir
disana terasa sangat panas. Sang hantu tampak sedang terpanggang di pesisir
sungai itu. Tubuhnya tampak seolah direbus oleh panasnya pasir dan ia menjerit
kepanasan.
Sang
Bràhmaóa merasa tergugah hatinya untuk membantu sang hantu, “Mengapa anda
disiksa seperti itu ?” tanya sang Bràhmaóa.
“Dalam
kelahiran sebelumnya aku adalah seorang vaiúya yang bernama Úailabhadra” jawab
sang hantu, “Aku tinggal di kota Vidiúà. Aku adalah orang kaya dan berhasil
memelihara rumah tanggaku dengan baik. Aku menyimpan semua kekayaanku. Namun
aku memiliki keterikatan yang amat besar pada benda-benda itu hingga aku tidak
pernah membantu para Bràhmaóa dengan memberikan sumbangan pada mereka. Aku
bahkan tidak menghormati mereka. Aku juga tidak pernah memuja Tuhan. Aku sama
sekali tidak menghormati mereka yang bukan keluarga atau familiku. Karena aku
tidak pernah berbuat baik pada mereka yang bukan keluargaku, maka setelah
meninggal aku dihukum seperti ini. Aku dibiarkan terpanggang seperti ini di
pesisir sungai Vetravati. Aku tidak sanggup menahan rasa sakit ini lagi. Tolong
selamatkanlah aku dari kutukan ini”
Sepuluh
tahun yang lalu aku telah melakukan Úukradvàdaúi vrata,” jawab sang
Bràhmaóa, “pahala yang kau dapatkan belum habis sampai sekarang. Aku akan
memberikannya padamu agar kau bisa terbebas dari hukumanmu “
(Dvàdaúi
adalah hari yang keduabelas dalam satu bulan dan tirakat yang dilakukan pada hari
ini di sebut sebagai Dvàdaúi vrata. Jika hari itu kebetulan jatuh pada
hari jumat maka hari itu disebut sebagai Shukradvadasi vrata. Selain
berpuasa pada hari ini seseorang hendaknya memuja Viûóu)
Setelah
mendapatkan pahala yang diberikan oleh sang Bràhmaóa maka hantu itu terbebas
dan berhasil mencapai surga. Demikianlah hebatnya hasil dari melakukan Úukradvàdaúi
vrata.
VRATA-VRATA LAINNYA
Bhaviûya
Puràóa juga menyebutkan beberapa vrata yang lainnya, meskipun tidak menyebutkan
secara terperinci tentang keseluruhan ritualnya.
Ubhayadvàdaúi
vrata memberikan pahala yang melebihi
tìrthayàtrà ke tempat-tempat suci seperti Gayà, Puûkara, Vàràóasì dan Prayàga.
Dengan
melakukan Tilaka vrata dengan ritual pemakaian tilaka (sebuah
tanda) pada dahi seseorang maka musuh dan roh jahat tidak dapat berkutik.
Jàtismara
vrata yaitu melakukan tirakat tidak
berbicara hingga bula menampakkan diri di langit, pada malam harinya. Pada saat
itu berbagai dewa harus dipuja. Seorang Jàtismara adalah seseorang yang
mengetahui semua kejadian pada kelahiran sebelumnya. Orang yang melakukan vrata
ini dengan penuh ketulusan akan diberikan kekuatan ini.
Untuk
mendapatkan pahala seseorang tidak harus selalu melakukan vrata yang dimaksud.
Meskipun hanya dengan membaca dan mengetahui (vidhi) persyaratannya saja
maka seseorang juga sudah mendapatkan sedikit pahalanya. Misalnya, Rasakalyàóì
vrata, dimana dewi Pàrvatì harus dimandikan (dalam wujud patung beliau)
dengan mentega murni kemudian dilakukan puja untuk beliau. Orang yang mendengarkan
penuturan dari ritual ini atau mengajak orang lain untuk melakukan hal ini,
maka akan mendapat tempat tinggal di alam dewi Pàrvatì setelah meninggal nanti.
Semua dosanya seketika itu juga akan dimaafkan.
Ardranandakari
vrata meliputi pemujaan kepada Úiva dan
Pàrvatì. Orang yang mendengarkan Vidhi (persyaratan) dari ritual ini
atau mengajak orang lain untuk melakukannya, maka ia akan mendapat tempat
tinggal di kahyangan dewa Indra setelah meninggal nanti.
Orang
yang mendengarkan vidhi dari Mandaraúaûþhi vrata akan mendapatkan
pembebasan dari dosa-dosanya.
Demikianlah
diantara vrata yang memiliki keampuhan. Akan tetapi vrata yang dilakukan
setengah hati dan dilakukan tidak sesuai dengan prosedurnya hanya akan membawa
kemarahan sang dewa. Jika hal ini sampai terjadi maka kemarahan sang dewa bisa
dilunakkan dengan melakukan akhandadvàdaúi vrata. Tirakat ini meliputi
pemujaan Viûóu dengan pesembahan dan pengucapan mantra-mantra Viûóu.
Banyak
vrata yang khusus dilakukan oleh para wanita. Contohnya, seorang wanita bisa
mendapatkan pahala sebesar pahala Aúvamedha Yajña jika dia melakukan anantatritìya
vrata pada musim dingin. Dalam melakukan vrata ini dia harus memakai
pakaian serba merah, jika doa seorang janda maka dia harus memakai pakaian
kuning, dan mereka yang belum menikah harus memakai pakaian putih. Seorang
wanita bisa mencapai moksa dengan memuja Viûóu dan membuatkan makanan untuk
para Bràhmaóa dalam ritual araóyadvàdaúi vrata.
VRATA YANG
BERHUBUNGAN DENGAN DEWA SÙRYA
Ada
beberapa vrata yang secara khusus dikaitkan dengan dewa Sùrya. Beberapa
diantaranya.
1) Abhaya pakûa saptami vrata
: Saptami adalah hari ketujuh dalam satu bulan dan pada hari inilah
vrata ini harus dilakukan. Yang dipuja adalah dewa Sùrya dan juga disertai
dengan ritual memberi makan para Bràhmaóa dan orang suci pada musim dingin
dalam bulan Pouûa. Pahala dari pelaksaaan vrata ini adalah tercapainya empat
tujuan hidup manusia yaitu Dharma (kebajikan), Artha (keka-yaan),
Kàma (keinginan) dan Mokûa (pembebasan).
2) Abhaya
saptami vrata : Úuklapakûa adalah perioda
dua mingguan dimana sinar bulan ber-tambah besar dan ritual ini dilak-sanakan
dalam bulan Úravaóà. Sebagai hasilnya maka orang yang mela-kukannya akan
mendapatkan tempat di kahyangan dewa Sùrya setelah meninggal nanti.
3) Ananta
saptami vrata : vrata ini dilaksanakan pada
penanggalan bulan yang disebut sebagai Úuklabhàdrapada. Ini jatuh pada
perioda Úuklapakûa dimana bintang Bhàdrapada tampak di langit.
Dan hasilnya adalah seseorang akan mendapat tinggal di kahyangan dewa Sùrya (Sùryaloka)
setelah meninggal nanti.
4) Bhadra
vrata : Dalam vrata ini patung dewa Sùrya
harus dimandikan dengan mentega murni kemudian dipuja sebagaimana mestinya.
Pada hari ini seseorang tidak boleh tidur siang dan tidak boleh bergaul dengan
orang atau lingkungan jahat. Pahalanya juga tinggal di Sùryaloka.
5) Kamata
saptami vrata : penjelasan secara mendetail
tentang vrata ini tidak diberikan namun ritual ni dilakukan pada hari saptami.
6) Kamala
ûaûþhi vrata : penjelasan secara mendetail tidak
diberikan namun ritual ini biasanya dilakukan pada hari keenam setiap bulannya.
7) Mahàsaptami
vrata : penjelasan yang lebih mendetail
tidak diterangkan namun ritual ini dilakukan pada hari yang ketujuh dalam
setiap bulan.
8) Mahàjaya
saptami vrata : Penjelasan selain pelak-sanaannya
yang biasanya dilakukan pada hari yang ketujuh tidak dijelaskan disini.
9) Maheúvetàdityavana
vrata : tidak ada penjelasan khusus
tentang ritual ini.
10) Màrtàóða
saptami vrata : tidak ada penjelasan tentang
ritual ini, meskipun upacara ni dilakukan pada hari ke tujuh. Màrtàóða adalah
nama lain dari dewa Sùrya.
11) Ubhaya
saptami vrata : ritual ini dilakukan pada hari saptami,
dan penjelasan lebih lanjut tidak terdapat didalamnya.
12) Durgàndha
naúana vrata : ritual ini memungkinkan seseorang
membasmi penyakit yang terdapat dalam tubuhnya. Pohon-pohon yang menjadi
favorit dewa Sùrya harus dipuja pada hari khusus yang disebut Jyeûþha Úukla.
Ini jatuh pada Úuklapakûa bulan Jyeûþha. (Terjadi pada sekitar bulan Juni)
13) Hådayàdityavana
vrata : dalam vrata ini, pemujaan pada
dewa Sùrya tidak terlalu khusus. Dan pahalanya adalah pemenuhan segala
keperluan duniawi.
14) Jaya
vrata : tidak
ada penjelasan lebih lanjut.
15) Jaya
saptami vrata : Ini dilakukan pada hari saptami
dan tidak diberikan penjelasan lebih lanjut.
16) Kàmapradàdityana
vrata : ini meliputi pemujaan kepada Sùrya
dan memberikan pemenuhan segala keinginan duniawi.
17) Kàmada
vrata : Ini
juga meliputi ritual pemujaan kepada dewa Sùrya dan memung-kinkan seseorang
untuk mendapatkan keinginannya sebagai hasil dari pelaksanannya.
18) Mandara
ûaûþhi vrata : Ritual ini dilaksanakan pada hari
keenam pada setiap bulannya dalam perioda Úuklapakûa dan pada bulan Margaúira.
Dewa Sùrya dipuja dengan menggunakan bunga dari pohon Mandara. Jika ritual ini
di-lakukan dengan baik maka ia akan dipastikan akan lahir dalam keluarga yang
baik pada kelahiran berikutnya.
19) Nanda
saptami vrata : Ini dilakukan pada hari saptami
dan tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang hal ini.
20) Narijana
vrata : vrata ini memberikan pahala ter-capainya
surga oleh mereka yang melakukannya.
21) Nikûubhàrka
vrata : Ini juga memberikan surga pada
mereka yang melakukannya.
22) Úarkara
saptami vrata : Ini dilakukan pada hari saptami
pada bulan Aúvina. Mereka yang melakukan upacara ini melakukan permandian susu
dan berpakaian serba putih. Dewa Sùrya harus dipuja dan melakukan ritual
memberimakan pada orang suci dan sedekah pada para Bràhmaóa.
23) Sarvartha
saptami vrata : Ini dilakukan pada perioda Kåûóapakûa
(perioda dua mingguan dimana bulan mulai berkurang sinarnya), pada bulan
Margaúirûa. Yang melakukannya tidak boleh memakan-makanan yang terbuat dari
minyak dan garam, memuja Sùrya dan mem-berikan sedekah pada para Bràhmaóa. Ini
menuntun seseorang pada pen-capaian surga.
24) Trivarga
saptami vrata : Ini dilakukan pada perioda
Úuklapakûa pada bulan Phalguna. Ini akan menghindarkan seseorang dari
pengaruh-pengaruh orang jahat.
25) Pàpànaúini
saptami vrata : Orang yang melakukan puja Sùrya
pada ritual ini akan terbebaskan dari segala dosa.
26) Bhàdrapada
Úuklapakûa vrata : Ini adalah ritual yang
diperuntukkan bagi orang miskin yang ingin menjadi kaya. Ini meliputi
pengendalian semua indera, angkara dan memuja Sùrya, Vrata ini dilakukan pada
perioda Úuklapakûa saat nakûatra Bhàdrapada nampak dilangit.
27) Rahasya
saptami vrata : Pada hari saptami, seseorang
memuja dewa matahari, menghindari makanan berminyak, pakaian biru, dan segala
jenis daging. Jika ini berhasil dilakukan dengan baik maka seseorang akan
mendapatkan segala keinginan duniawinya.
28) Ratha
saptami vrata : Vrata ini dilakukan pada hari
saptami pada perioda Úuklapakûa pada bulan Marghaúirûa. Dewa Sùrya dan ekreta
kesayangan beliau harus dipuja. Para Bràhmaóa diberikan sedekah dan makanan.
Ritual ini memungkinkan seseorang untuk mencapai kedudukan dan golongan yang
lebih tinggi pada kelahiran berikutnya.
29) Saýkranti
vrata : vrata ini memastikan umur panjang,
kesehatan yang baik. Dewa Sùrya harus dipuja, Bràhmaóa diberikan sedekah dan
makanan.
30) Rogaharàdityavana
vrata : Yang hendak melakukan ritual ini
hendaknya hanya meminum susu, dan tidur diatas tanah dan memuja Sùrya dengan
berbagai jenis bunga. Jaminan dari pelaksanan vrata ini adalah kesembuhan dari
segala jenis penyakit.
31) Saptami
vrata : Ini
memerlukan puja pada Sùrya selama tujuh hari dalam setiap bulannya. Dan
berkhasiat untuk menyembuhkan segala penyakit.
32) Sùrya
vrata : Ini juga berkhasiat untuk menghi-langkan
segala jenis penyakit dan hanya memerlukan pemujaan yang sederhana saja.
33) Siddha
ratha saptami vrata : Melalui pemujaan kepada Sùrya,
maka vrata ini memberikan kemenangan pada yang melaku-kannya.
(Dari
keterangan diatas dapat kita perhatikan bahwa semua vrata itu kebanyakan
dilakukan pada hari yang ketujuh dalam setiap bulannya dan dalam perioda
Úuklapakûa)
VRATA YANG
BERHUBUNGAN DENGAN DEWA YANG LAIN.
Vrata
yang berhubungan dengan pemujaan kepada dewa lain selain Sùrya juga dijelaskan
dalam Bhaviûya Puràóa. Beberapa diantaranya adalah :
1. Ananta caturdaúi vrata
: Caturdaúi vrata adalah hari keempatbelas dalam setiap bulan. Pada hari ni,
patung dewa Viûóu harus dimandikan dengan menggunakan mentega murni kemudian
diadakan pemujaan kepada beliau. Ini me-mungkinkan seseorang mendapatkan
keturunan yang banyak. Dalam bentuk lain dari vrata ini, ia juga bisa memuja
Úiva dalam perioda Úuklapakûa ketika nakûatranya adalah Bhàdrapada ada di
langit. Ini menuntun seseorang pada pencapaian segala keinginan.
2. Bhìûmapañcaka
vrata : Ini dilakukan pada bulan Karttika
pada perioda Úuklapakûa. Minuman keras, daging dan wanita serta lingkungan yang
buruk harus dihindari pada hari ini. Seseorang harus memuja Viûóu. Vrata ini
diakukan untuk menebus dosa membunuh seorang Bràhmaóa.
3. Aúoka
vrata : Saat
ini seseorang harus memuja pohon Aúoka untuk menghilangkan segala kesedihan (úoka).
4. Goûapada
tritìya vrata : Ini dilakukan pada tritìya
(hari ketiga pada setiap dua mingguan) dalam periode Úuklapakûa, saat nakshatra
Bhàdrapada sedang ada di langit. Sapi-sapi dipuja, semua makanan yang dimasak
dengan minyak dan garam harus dihindari. Ini memungkinkan seseorang untuk bisa
memasuki alam Goloka. Goloka adalah sebenarnya berarti tempat tinggal
sapi, yang diidentikkan dengan Kåûóa yang juga adalah Viûóu sendiri, jadi
Goloka tiada lain dalah tempat tinggal Viûóu)
5. Govatsa
Dvàdaúi vrata : seekor sapi dan anaknya harus
dipuja pada saat ini, dalam periode Kåûóapakûa selama bulan Karttika.
Pada saat ini seseorang harus menghindari melakukan hubungan sex dan harus
tidur dilantai. Vrata ini juga memungkinkan seseorang untuk mencapai alam Goloka.
6. Govinda Dvàdaúi vrata : Ini
dilakukan pada pada hari yang ke duabelas pada setiap bulannya, dalam periode
Úuklapakûa pada bulan Pouûa. Sapi diberi makan, dan orang yang melakukan ritual
ini hanya meminum susu dan menghindari penggunaan garam.
7. Kukkuþi vrata : dalam
vrata ini Úiva dan Pàrvatì harus dipuja ketika nakûatra Bhàdrapada sedang
berada di langit. Jika seseorang menyertakan penggunaan benang suci pada
upacara ini maka kematian bayi yang prematur bisa dihindari.
8. Madhuka
Tritìya vrata :
ini dilakukan pada hari yang ketiga dalam setiap bulan Bhàdrapada. Yang
melakukan harus memuja dewa Gouri dan pohon madhuka ntuk bisa
mendapatkan seorang anak.
9. Nàga
pañcami vrata : pada pañcami (hari yang
kelima), ia juga harus memandikan sebuah patung ular yang melambangkan raja
para ular dalam susu dan memujanya untuk mendapatkan perlindungan dari gigitan
ular.
10. Ulka
dvàdaúi vrata : vrata ini dilakukan pada hari yang
kedua belas pada bulan Marghaúirûa. Pada saat ini Viûóu dipuja untuk
penyembuhan cacat seperti kebutaan dan tidak mendengar atau penyakit seperti
lepra.
11. Vinàyaka
caturthi vrata ;
pada hari yang keempat dalam setiap bulan seseorang harus memuja
Vinàyaka (Gaóeúa). Ia harus membuat persembahan berupa biji wijen dan
memberikan persembahan pada dewa Agni. Vrata ini memberikan efek penghancuran
terhadap segala kesulitan dan halangan.
12. Úànti
vrata : vrata
ini melibatkan pemujaan kepada Nàràyaóa dalam periode Úuklapakûa pada bulan
Karttika. Sebagai tam-bahannya, ia harus melakukan tirakat untuk tidak memakan
makanan yang asam selama satu tahun. Vrata ini memungkinkannya untuk
menghar-moniskan hubungan keluarga.
13. Sarasvatì
vrata : yang hendak melakukannya harus
berpuasa secara periodik selama tiga belas bulan dan memuja Sarasvatì, dewi
kebijaksanaan. Pelaksanaan vrata ini memungkinkan seseorang untuk menjadi
cerdas dan terpelajar.
14. Aúùnyaúayana
vrata : yang hendak melakukannya harus
melakukan puasa secara periodik selama empat bulan dan menyembah berbagai dewa
dengan persembahan yang berupa buah-buahan musiman. Vrata ini memungkinkan
sebuah pasangan akan menjadi abadi.
15. Aviyoga
tritìya vrata : vrata ini juga menjamin
keharmonisan hubungan keluarga dan dilakukan pada hari ketiga pada periode
Úuklapakûa dalam bulan Marghaúirûa. Berbagai dewa harus dipuja pada pelaksanaan
vrata ini.
16. Vàtasavitri
vrata : Diawali pada hari yang
ketigabelas, saat nakûatra Bhàdrapada sedang ada di langit, maka ia harus
melakukan puasa selama tiga hari dan men-ceritakan kisah Sàvitrì dan Satyavana.
(kisah ini bisa didapatkan dalam Puràóa lain, atau dalam Mahàbhàrata. Suami
Sàvitrì yang bernama Satyavana telah meninggal. Dalam hal ini Sàvitrì telah
berhasil meyakinkan Yama dengan ketulusan hatinya untuk menghidupkan kembali
suaminya yang telah meninggal) Pelaksanaan vrata ini menghasilkan keharmonisan
dalam hubungan keluarga.
17. Yama
vrata : dewa Yama dipuja untuk mendapatkan segala
keinginan duniawi.
SUMBANGAN SEDEKAH
Sebagai
tambahan dari pelaksanaan vrata, Bhaviûya Puràóa juga menyebutkan banyak
referensi tentang sumbangan dan sedekah (dàna).
Kekayaan
yang disumbangkan tidak akan pernah sia-sia. Apalagi kekayaan material tidak
akan berguna jika kematian telah menjemput seseorang. Oleh karena itulah adalah
tindakan yang terbaik jika kekayaan itu di-sumbangkan. Penggunaan yang terbaik
dari kekayaan adalah dengan menyumbangkannya. Badan yang sehat dan kuat serta
umur yang panjang tidak akan ada gunanya jika tidak digunakan untuk membantu
orang yang membutuhkannya. Orang yang tidak menyumbangkan emas, pakaian,
makanan dan minuman pada para Bràhmaóa, kutukan dan ketidak-beruntungan akan
menunggunya. Mereka akan lahir dalam keadaan berpenyakitan, miskin dan menjadi
pengemis dalam setiap kelahirannya.
Lebih
jauh lagi, sebuah dakûióa (biaya) harus diberikan ketika hendak memberikan
sumbangan tertentu. Dalam setiap upacara agama, Yajña (persembahan), dàna
(sedekah, sumbangan) dan vrata (tirakat tertentu) serta dakûióa
selalu dilibatkan. Karena kalau tidak maka upacara seperti itu tidak akan
sempurna atau lengkap. Untuk melakukan sebuah Yajña maka seseorang harus
menyeimbangkan delapan keping emas atau tujuh keping perak. Dakûióa yang
disertai dengan sumbangan sebuah kebun harus disertai dengan emas dua keping,
sedangkan sumbangan sebuah sumur penampungan air harus disertai dengan uang
emas setengah keping.
Beberapa
bentuk sumbangan yang utama adalah sebagai berikut:
1. Godana
: seekor sapi yang sehat dan anaknya
disumbangkan kepada seorang yang terpelajar dan Bràhmaóa miskin untuk menjamin
seseorang bisa mendapat surga selama batas waktu yang tidak terbatas.
2. Våûabha dàna
: sebuah sapi jantan disumbangkan, untuk
membersihkan dosa selama tujuh turunan.
3. Mahiûì dàna
: sebuah sapi betina (Mahiûì)
yang menghasilkan susu harus disum-bangkan. Maka ini akan menghasilkan
pemenuhan keinginan duniawi.
4. Bhùmì dàna
: sumbangan berupa tanah yang akan
memberikan penghapusan segala dosa.
5. Halapamkti dàna
: sebuah cangkul yang dihiasi dengan
berbagai permata dan emas, empat-puluh sapi yang dideretkan dengan cangkul
tadi. Ini kemudian disum-bangkan pada seorang Bràhmaóa untuk mendapatkan pahala
menda-patkan surga selama tujuh turunan.
6. Apaka dàna
: seribu jenis peralatan disumbangkan untuk
mendapatkan keturunan, pelayan dan kekayaan.
7. Gåhadàna
: sebuah rumah yang dihiasi dengan baik, ini
akan memungkinkan sese-orang untuk tinggal di kahyangan Úiva.
8. Anna dàna
: Makanan (anna) disumbangkan pada mereka
yang membutuhkannya. Ini akan memungkinkan seseorang untuk bisa tinggal di alam
Viûóu.
9. Sthali dàna
: sebuah piringan perak atau tanah yang dipenuhi
dengan makanan dan benda sumbangan lainnya untuk disum-bangkan. Ini akan
membuatnya tidak akan pernah kehabisan makanan.
10. Úayya dàna
: sumbangan yang berupa tempat tidur pada
seorang Bràhmaóa. Ini akan menuntun seseorang pada pencapaian surga.
11. Prapà dàna
: prapà adalah sebuah tempat air yang bisa
digunakan oleh para pengembara. Ini biasanya dibangun pada jalan yang biasa
dilalui oleh para pengembara atau di bawah sebuah pohon. Penam-pungan air itu
harus dilengkapi beberapa lubang air yang dijaga oleh seorang Bràhmaóa. Ini
adalah sum-bangan yang akan membawa sese-orang pada pencapaian surga.
12. Agniûþika dàna
: biasanya pada musim dingin, sebuah perapian
dinyalakan pada pagi hari dan malam harinya untuk mendi-nginkan tubuh dan
menyumbangkan sebuah perapian akan memberikan pencapaian keinginan pada
seseorang.
13. Dàsi dàna
: seorang pelayan wanita (dàsi),
diberikan pada seorang Bràhmaóa, pelayan ini dihias dengan berbagai permata dan
pakaian sutra. Seorang yang memberikan sumbangan seperti itu akan dilayani oleh
seorang apsara dari surga.
14. Vidyà dàna
: Ini adalah sumbangan pengetahuan yang berupa
buku, pena emas, atau tinta yang tempatnya terbuat dari perak pada seorang
Bràhmaóa akan me-nuntun seseorang menuju surga.
15. Hiraóyagarbha dàna
: Mereka yang kelaparan, diberi makanan, dan sebuah patung dewa disumbangkan
pada seorang Bràh-maóa. Ini juga menjamin tiket menuju surga.
16. Brahmàóða dàna
: Sebuah telur buatan yang terbuat dari emas disiapkan dan sebuah patung
Brahmà, Viûóu dan Úiva ditempatkan pada telur itu. Kemudian telur itu
disumbangkan pada seorang Bràh-maóa bersama jagung, sepatu dan sebuah payung.
Ini akan mengha-puskan segala dosa dan memberikan pemenuhan atas segala
keinginan seorang.
17. Kalpavåkûa dàna
: sebuah pohon kecil buatan yang terbuat dari emas yang buahnya juga terbuat
dari emas kemudian disum-bangkan pada seorang Bràhmaóa. Jaminannya adalah
seseorang akan mendapat tempat di kahyangan dewa Sùrya dan dilayani oleh para apsara.
18. Saptasàgara dàna
: garam, susu, jaggery dan gula disumbangkan pada seorang Bràh-maóa untuk
menghapuskan dosa-dosa.
19. Dhànya parvata dàna
: setumpukan bahan makanan, jaggery, emas dan mentega murni disumbangkan pada
seorang Bràhmaóa.
20. Tulàpuruûa dàna
: sebuah timbangan digunakan untuk mengukur sumbangan ini. Orang yang
menyumbang diletakkan pada salah satu timbangan, sedangkan tepung, bahan
makanan, garam, perak, dan emas diletakkan ditimbangan sebe-lahnya, dan
timbangan ini harus seimbang. Inilah yang menentukan apa yang harus
disumbangkan. Se-tengah dari sumbangan ini diserahkan pada para Bràhmaóa,
seperempat pada para pendeta, yang memimpin upacara itu, dan seperempatnya lagi
diberikan pada mereka yang membutuhkannya. Ini akan membawa seseorang pada
kahyangan dewa Sùrya.
KASTA
Dalam
setiap Puràóa selalu ada pembahasan tentang kasta, dengan golongan
masyarakat yang dibagi menjadi empat yaitu Bràhmaóa, kûatriya, vaiúya
dan úùdra.
Sistem
kasta, sebagaimana yang dijelaskan dalam Bhaviûya Puràóa tampak tidak terlalu kaku jika
dibandingkan dengan Puràóa-Puràóa lainnya.
Bràhmaóa
adalah mereka yang memuja Brahmà, Kûatriya adalah
mereka yang bertugas untuk menahan serangan musuh, vaiúya adalah mereka
yang bertugas untuk mengembangkan perdagangan, dan úùdra adalah mereka
yang tidak boleh mempelajari kitab suci.
Setiap
orang harus mengelompokkan diri mereka menjadi empat kelas kasta sesuai dengan
perbuatan mereka, kualitas, kedudukan dan asal mereka. Mengendalikan diri,
mengejar pengetahuan tentang Tuhan, dan menghormati para dewa adalah tugas para
Bràhmaóa. Keperwiraan, urusan perang, kegiatan beladiri adalah pekerjaan para
Kûatriya,. Perdagangan, peternakan, dan perdagangan adalah tugas para vaiúya.
Mereka yang bersifat rendah dan bertenaga kurang adalah golongan úùdra.
Para
Bràhmaóa harus mempelajari kitab suci, mengajar, melakukan persembahan dan
mengajak yang lain untuk melakukan hal itu, menyumbangkan sedekah dan menerima
sumbangan. Dengan mengijinkan seorang Bràhmaóa mendapatkan makanan tanpa
terlebih dahulu mempelajari kitab suci dan melakukan berbagai tirakat akan
merupakan sebuah kekeliruan. Seorang raja harus meng-hukum orang yang
membiarkan hal itu terjadi dalam sebuah desa. Para Kûatriya juga harus mempelajari
kitab suci, melindungi penduduk dengan mengangkat senjata. Dan dengan sukarela
menyumbangkan sedekah pada yang membutuhkan. Para vaiúya juga harus mempelajari
kitab suci, mengembangkan peternakan, pertanian dan perdagangan. Sedangkan para
úùdra bertugas untuk melayani yang lainnya.
Akan
tetapi Bhaviûya Puràóa menekankan bahwa kelahiran dalam keluarga tertentu
bukanlah jaminan seseorang menjadi kasta yang dimaksud. Kitab ini juga
memberikan contoh seperti åûi Paràúara, Úukadeva, Vasiûþha, Mandapàla dan yang
lainnya yang telah mendapatkan kedudukan yang sangat tinggi dari kedudukan
mereka sebelumnya karena ketinggian pencapaian spiritualnya. Akan tetapi kitab
ini juga menyebutkan bahwa seorang caóðàla atau seorang úùdra
bagaimanapun ia berusaha mempelajari veda, dengan usaha keras atau pergi
ketempat tertentu, negara tertentu, jika hanya dengan mempelajari kitab suci
saja, maka mereka tidak akan pernah bisa menjadi seorang Bràhmaóa.
Hanya
tingkah laku seseorang - bukan dengan mempelajari kitab suci atau melakukan
ritual tertentu - yang menentukan seseorang layak untuk menjadi seorang
Bràhmaóa dalam arti yang sebenarnya. Memang benar bahwa tugas seorang Bràhmaóa
adalah mempelajari kitab suci Veda, namun yang menentukan apakah ia seorang
Bràhmaóa atau tidak adalah karakternya. Karena veda tidak akan bisa
menyelamatkan orang yang telah melenceng dari ajaran kebaikan. Seorang Bràhmaóa
yang telah mempelajari empat veda secara fasih tidak akan sempurna jika ia
meninggalkan karakter yang baik.
Kemudian
Bhaviûya Puràóa menyebutkan bahwa antara seorang Bràhmaóa dan seorang úùdra
berbeda hanya dalam nama saja. Tidak ada perbedaan baik dari segi spiritual
maupun eksternal antara keduanya sejauh dalam hubungan pelaksanaan ritual
agama. Seorang úùdra tidak dilarang untuk memakai benang suci dan juga tidak
dilarang dalam berdoa.
Pelaksanaan
saýskàra seperti itu tidak ada artinya samasekali, dan antara Bràhmaóa dan
úùdra, tidak ada perbedaan sejauh bidang ini yang dimaksudkan. Pelaksanaan
upacara seperti itu tidak akan menyucikan seseorang yang berkarakter
buruk.
Akan
tetapi Bhaviûya Puràóa melarang kegiatan tertentu untuk dilakukan oleh seorang
Bràhmaóa yang benar-benar ingin menjadi Bràhmaóa dalam arti yang sesung-guhnya.
Seorang Bràhmaóa yang menggembalakan sapi, kambing, domba atau yang menjadi
pelayan, penjaga toko, menjadi tukang besi, maka mereka tidak lagi menyandang
gelar seorang Bràhmaóa. Mereka dinyatakan telah kehilangan kelas atau kasta
mereka. Selain itu, ada makanan tertentu yang juga dilarang bagi seorang Bràhmaóa.
Mereka samasekali tidak boleh memakan atau menjual daging, bawang putih, bawang
merah, meminum minuman beralkohol atau susu unta. Mereka tidak boleh menerima
makanan yang disajikan pada saat ada upacara kematian atau kelahiran bayi.
Jenis makanan dan pekerjaan seseorang menentukan kastanya.
Disamping
itu, sebuah kasta bukanlah sesuatu yang kaku dan tidak bisa diubah sama sekali.
Seorang úùdra bisa menjadi seorang Bràhmaóa dan sebaliknya. Seorang Kûatriya
juga bisa menjadi seorang vaiúya dan sebaliknya. Dan kekuatan yang bisa
didapatkan oleh seorang Bràhmaóa dalam doa dan mantra yang diucapkannya juga
bisa didapatkan oleh seorang úùdra. Setelah melakukan tirakat dan disiplin
rohani tertentu maka seorang úùdra juga bisa mendapatkan kekuatan untuk mengutuk.
Tidak seorangpun yang bisa mendapatkan kedudukan sebagai kasta tertentu tanpa
mempertahankan apa yang telah menjadi persyaratan dan tugas yang telah
ditentukan bagi kastanya.
Meskipun
telah melakukan semua upacara suci (saýskàra), orang yang bertabiat
buruk, seperti seorang pencuri, pembohong, penipu, atau mereka yang membunuh
Bràhmaóa, pasti akan masuk neraka. Orang
yang memiliki karakter baik meskipun ia tidak melakukan perbuatan upacara suci
adalah seorang bràhmaóa yang terbaik.
Bhaviûya
Puràóa juga mengkritik adanya pendapat bahwa seorang Bràhmaóa adalah mereka
yang berkulit putih, Kûatriya berkulit kemerahan seperti bunga Khingûuka
, vaiúya berkulit kekuningan seperti haritala dan úùdra berkulit hitam
seperti arang. Sebuah kasta tidak ada hubungannya dengan warna kulit.
Bhaviûya
Puràóa juga mempertanyakan dasar pemikiran dari pengelompokan kasta itu.
Seperti anak-anak yang berasal dari satu ayah, seperti buah yang berasal dari
satu pohon, maka para Bràhmaóa, Kûatriya, vaiúya dan úùdra juga
berasal dari satu sumber juga. Mereka tidak bisa dibedakan hanya dari perbedaan
phisik seperti warna kulit dan sebagainya. Seekor kuda, atau sapi bisa kita
pisahkan dari sesamanya, namun tidak demikian halnya dengan seorang Bràhmaóa
dengan seorang úùdra.
(Semua
ini memperlihatkan bahwa Bhaviûya Puràóa telah memberikan ide baru yang lebih
segar tentang adanya sistem kasta itu, barangkali ini karena adanya sedikit
pengaruh luar yang diadaptasikan dengan ajarannya. Kitab ini penting untuk
menelusuri adanya sistem kasta dalam kebudayaan India. Penyerapan dan adaptasi
kebudayaan telah mengubah perbedaan warna kulit yang telah menjadi polemik pada
masa masuknya bangsa Àrya ke India. Kemudian adanya persepsi Budhisme yang
menyatakan bahwa pembagian kasta itu tidak ada artinya sama sekali juga telah
memberikan kontribusi pada perubahan itu)
Bhaviûya
Puràóa juga menyatakan bahwa populasi penduduk di Úàkadvìpa dibagi menjadi
empat kelas yaitu Maga, Magaga, Ganaga dan Mandaga atau Mandhaba. Ini ada
kaitannya dengan pembagian empat kasta dalam kebudayaan India.
[Di
Iran, tempat dimana para Bràhmaóa Màgha berasal, memiliki empat lapisan
masyarakat (piûtra) yaitu athrava (pendeta), kathaestha
(prajurit), vastriya (pemimpin keluarga) dan huiti (pekerja)]
Ada
peraturan yang amat ketat dalam usaha seseorang untuk mencapai kedudukan yang
lebih tinggi dari kedudukan asal mereka. Namun disana juga ada kebebasan untuk
pindah dari satu kelas atau golongan ke golongan yang lain.
Penjelasan
tentang hal ini bisa kita lihat pada penjelasan tentang Úàkadvìpa.
MASALAH PENDIDIKAN
Seorang
siswa mendapatkan pendidikan dari gurunya setelah melayani beliau dengan penuh
pengabdian, sebagaimana seorang yang menggali sumur untuk men-dapatkan air.
Setelah selesai menuntut Ilmu, maka seorang siswa berkewajiban untuk
menyenangkan gurunya dengan memberikan persembahan baik berupa tanah, emas,
sebuah payung, sandal, pakaian, bahan makanan dan benda lain yang sekiranya
bermanfaat untuk sang guru. Ini disebut sebagai Dakûióa, dimana tanpa
melakukan hal ini maka Ilmu yang didapatkan dari seorang guru dianggap tidak
sah.
Seorang
guru yang mengetahui makna sejati dari mantra Gàyatrì dan mengabdi pada hukum
adalah guru yang terbaik. Seorang Bràhmaóa yang tidak memenuhi ke-wajibannya
untuk mengajarkan pengetahuan agama dianggap telah kehilangan kedudukannya
dalam masyarakat.
Disebutkan
ada lima tingkatan guru sesuai dengan penjelasan berikut ini,
1.
Àcàrya
: Ini adalah guru yang mengajarkan rahasia pengetahuan dari veda (kalpa
rahasya)
2.
Upadhyàya : Ini
adalah guru yang mengajarkan ajaran veda yang berhubungan dengan cara untuk
mencari nafkah.
3.
Guru : adalah orang yang di tempatnya seorang siswa
tinggal dan menjadi bagian dari rumah tangga sang guru. Sang guru menyediakan
tempat tinggal bagi mereka dan mengajarkan segala jenis ritual pada mereka.
4.
Åtvija : Ini
adalah mereka yang mengambil peran sebagai pelaksana atau pe-mimpin upacara
persembahan.
5. Mahàguru
: ini adalah guru yang tertinggi dari semua guru
dan harus dihormati oleh siapapun juga. Pelajaran yang di-berikannya hanyalah
pengucapan nama Tuhan, namun beliau sangat mahir dalam segala pengetahuan Itihàsa
seperti Ràmàyaóa, Mahà-bhàrata dan delapan belas Puràóa dan kebudayaan Sùrya,
Viûóu dan Úiva.
UPAH
Seorang
buruh atau pekerja harus diberikan upah sesuai dengan pekerjaan yang mereka
lakukan.
Satuan
upah yang terkecil adalah satu varàþa. Duapuluh varàþa menjadi satu Kakini
dan ada empat kakini dalam satu pana. Maka dengan demikian ada
delapan puluh varàþa dalam satu pana.
Bhaviûya
menyediakan daftar upah yang sesuai sesuai dengan pekerjaan mereka (disesuaikan
pada jamannya)
i Tukang batu : 2 paóa
ii tukang sumur : 2 paóa
iii Tukang sapu : 1 varàþa
iv Perajin tembaga : 4 paóa
v perajin metal (besi) : 3 paóa
vi tukang tenun : 10 kàkióì
vii tukang tenun kain wol : 10 kàkióì
viii perajin logam biasa : 10 kàkióì
ix tukang potong rambut : 10 kàkióì
x tukang cukur : 2 kàkióì
xi tukang hias rambut : 4 paóa
xii Tukang hias kecantikan wanita : 1 paóa
xiii tukang cangkul (alat pertanian) : 2 paóa dan 10 varàþa.
xiv buruh penanam padi : 1 paóa
xv buruh penanam rempah-rempah : 1 paóa
xvi tukang kuda, kereta : 1 paóa dan 10 varàþa
xvii tukang jembatan : 2 paóa
xviii tukang panggung : 1 paóa
xix tukang lantai : 1 paóa
xx tukang cuci : sekitar 1 paóa ter-gantung banyaknya pakaian
dan ketebalan kain atau jika dibu-tuhkan dengan segera.
WANITA DAN PERNIKAHAN
Menurut
Bhaviûya Puràóa, wanita harus cepat-cepat dinikahkan.
Seorang
anak yang berusia tujuh tahun biasa disebut sebagai gourì, yang berusia
sepuluh tahun disebut sebagai nagnikà, seorang yang berusia duabelas
tahun disebut sebagai kanyakà dan yang berusia lebih dari duabelas tahun
disebut sebagai rajasvala.
Usia
yang terbaik bagi seorang anak gadis untuk menikah adalah usia tujuh pada saat
anak itu menginjak usia gourì, pilihan yang kedua adalah nagnikà.
Pilihan yang terbaik ketiga adalah kanyakà. Sedangkan rajasvala
adalah usia yang paling buruk untuk menikah.
Ada
delapan jenis pernikahan sebagaimana yang disebutkan dibawah ini:
1. Brahmà
: dalam bentuk perkawinan ini, seorang mempelai
wanita yang telah dihias dengan berbagai perhiasan berharga dan permata
dinikahkan kepada seorang mempelai laki-laki yang berasal dari keluarga yang
terhormat dan sengaja diundang untuk tujuan ini.
2. Daiva
: seorang mempelai wanita yang telah dihias
dengan perhiasan permata diberikan pada seorang mempelai laki-laki yang
memiliki karakter yang baik, dan upacara pernikahan itu berlangsung di hadapan
pendeta melalui sebuah upacara per-kawinan.
3. Àrûa : pernikahan
dimana ayah dari mempelai wanita memberikan putrinya pada mempelai laki-laki
setelah melakukan upacara yang ditentukan dan setelah memberikan mas kawin yang
berupa seekor sapi atau banteng.
4. Prajàpatya
: ayah dari mempelai wanita memberikan putrinya
pada mempelai laki-laki sambil memberikan petunjuk agar pasangan itu senantiasa
selalu melaksanakan kewajiban beragama.
5. Àsura
: orang tua atau famili dari mempelai wanita
menyerahkan putrinya setelah men-dapatkan uang pengganti dari pihak laki-laki
sebagai pengganti anak perem-puannya.
6. Gandharva
: seorang pemuda dan pemudi saling jatuh cinta
dan mereka kemudian menikah.
7. Ràkûasa
: mempelai laki-laki menculik mempelai wanita
kemudian menikahinya.
8. Paiúaca : mempelai laki-laki menculik mempelai wanita
dan menikahinya, dalam hal ini penculikan yang dilakukan adalah secara paksa
ataupun menipu tanpa persetujuan dari mempelai wanita, jadi disini terdapat
perbedaan yang jelas dengan pernikahan jenis ràkûasa.
Akan
tetapi tipe pernikahan yang dianjurkan adalah brahma, daiva dan àrûa. Anak-anak
yang lahir dari perkawinan jenis ini akan sangat membantu menyelamatkan leluhur
mereka.
(Bhaviûya
Puràóa juga menyebutkan bahwa seorang istri adalah sebagian dari tubuh
suaminya. Oleh karena itulah sebuah rumah tangga dimana seorang wanita tidak
dihormati akan segera hancur. Demikian juga sebaliknya jika dalam sebuah rumah
tangga, wanita dihormati maka keluarga itu akan senantiasa mendapatkan berkah
dari para dewa. Akan tetapi ciri utama seorang wanita adalah kesetiaannya pada
suaminya).
Apakah
yang harus dilakukan seorang wanita ? Apa tugas mereka?
Pada
saat subuh, dia harus membangunkan pem-bantunya dan memberitahukan mereka
tentang apa yang harus dilakukan pada hari itu. Dia harus memberi petunjuk pada
pembantunya tentang tugas yang harus dilakukan pada hari itu. Tugasnya yang
lain adalah senantiasa menyiapkan makanan untuk suaminya, dan menunggu apabila
suaminya berpergian keluar rumah. Di dapur tugasnya adalah mempersiapkan
perabotan, menyiapkan bahan makanan, mengepel lantai dan menghidangkan makanan
yang segar untuk suaminya. Sebagai tambahan pekerjaannya maka seorang wanita
juga berkewajiban untuk memeriksa buruh yang bekerja di sawahnya.
Ada
beberapa perbuatan yang dianggap tabu bagi seorang wanita.
Dia
tidak boleh duduk sendirian, tertawa dihadapan orang asing, berdiri di gerbang,
memandang ke arah jalan utama, berbicara keras, berjalan
membelakangi orang, tertawa secara berlebihan dan menukar
barang barangnya dengan tetangganya.
Jika
suaminya pergi ke suatu tempat, maka sang istri tidak boleh menghias diri dan
memakai perhiasan. Ia hanya boleh keluar rumah hanya jika sangat perlu dan
harus segera kembali ke rumah setelah pekerjaan itu selesai.
Jika
dia mengharapkan seorang anak maka dia harus mandi dengan air wangi, hindari
tertawa terlalu keras dan menjauhi orang-orang yang tidak berkenan dihatinya.
Ia juga menghindar dari segala bentuk kecemasan dan kekhawatiran. Misalnya, dia
tidak boleh mendatangi tempat-tempat yang sepi, berjalan sendirian, atau
menyeberangi sungai sendirian.
Bhaviûya
Puràóa juga membenarkan adanya perceraian jika sang suami dan istri tidak
menemukan keharmonisan dalam rumahtangganya. Jika seorang suami hendak
menceraikan istrinya karena sang istri tidak bisa mem-berikannya keturunan maka
dianjurkan agar pasangan seperti itu untuk menunggu selama delapan bulan
sebelum perceraian terjadi. Namun jika perceraian itu terjadi jika tidak ada
keharmonisan rumah tangga maka strìdhana (mas kawin yang dibayar oleh
sang istri pada mempelai laki-laki) harus dikembalikan. Disamping itu dia juga
berhak atas sejumlah uang dari pihak suaminya.
Jika
kebetulan ada seorang istri simpanan, maka istri yang lebih muda harus melayani
istri tertua sebagaimana dia melayani ibunya sendiri, dan sebaliknya istri
pertama juga harus melayaninya sebagai anaknya sendiri. Apa saja yang
didapatkannya dari rumahnya sendiri harus pertamakali diserahkan pada istri
pertama. Istri yang lebih tua juga harus melayaninya seperti dia memperlakukan
sebagai anaknya sendiri. Sikap seorang suami adalah bertindak agar tidak
menimbulkan kecemburuan diantara kedua istrinya itu.
Selain
hal ini Bhaviûya Puràóa juga berisikan berbagai hal yang menarik untuk
diperhatikan. Kitab ini juga menceritakan tentang bagaimana bunga yang berbeda
bisa digunakan untuk persembahan pada dewa yang berbeda-beda. Kitab ini juga
menceritakan tentang berbagai jenis ular dan berbagai jenis gigitannya.
TENTANG MASA DEPAN
Akan
tetapi yang paling menarik dari Bhaviûya Puràóa ini adalah penjelasannya
tentang masa depan dan apa yang akan terjadi dimasa datang. Karena bagaimanapun
juga ini adalah topik yang paling menyenangkan untuk dibicarakan.
Tentang
berbagai kejadian sejarah diceritakan dalam parva yang ketiga, bagian Pratisarga.
Ini diawali dengan ramalan tentang naiknya Manu ke tahta kerajaan dan diakhiri
dengan ramalan datangnya kerajaan Inggris ke India dan pemerintahan permaisuri
Victavati (Victoria).
Nama
raja-raja dari keturunan Sùrya dan Candra vaýúa dibeberkan disini. Namun juga
ada penjelasan tentang raja-raja yang akan memerintah di masa depan. Ada
keterangan tentang Timur, Barbar, Humayun, Sher Shah, Akbar, Salem, Aurangzeb,
Shivaji dan Mahadevji Sindhia. Disana juga ada kata dalam bahasa inggris
seperti ‘Sunday, February, dan Sixty’
RAJA-RAJA PADA JAMAN
KALI
Bagian
yang paling penting dari penjelasan ini adalah adanya katalog dari raja-raja
yang akan memerintah pada jaman Kaliyuga. Penjelasan ini juga bisa didapatkan
dalam Puràóa lain. Namun Matsya Puràóa dan Vàyu Puràóa juga menyebutkan bahwa
Bhaviûya Puràóa merupakan sumber segala penjelasan tentang silsilah raja-raja
pada jaman Kali, yang diberikan pada Puràóa-Puràóa yang lain.
Kitab
Puràóa menyatakan bahwa jaman Kaliyuga dimulai ketika sang avatàr Kåûóa wafat
dan kembali ke kahyanganNya.
Jaman
dibagi menjadi empat yuga atau era- Satya yuga atau Kåta yuga,
Tretà yuga, Dwàpara yuga dan Kali yuga. Satya yuga berlangsung
selama empatribu tahun dewa, Tretà yuga berlangsung selama tiga ribu tahun,
Dvàpara yuga berlangsung selama dua ribu tahun, dan Kaliyuga berlangsung selama
seribu tahun. Akan tetapi tahun dewa sangat jauh berbeda dari tahun manusia.
Misalnya seribu tahun para dewa sama dengan 36.000 tahun manusia. Dan lagi ada
tambahan periode peralihan yang terdapat diantara setiap dua yuga. Masa
peralihan antara Satyayuga yang baru dengan Kali yuga adalah 500 tahun para
dewa atau 18.000 tahun manusia. Jadi akan ada 378.000 tahun lagi setelah
kematian Kåûóa, maka akan dimulai jaman Satyayuga.
Kali
yuga akan menjadi sebuah jaman yang buruk. Akan ada invasi para yavana dari
barat, para yavana ini akan mempengaruhi bidang keagamaan, ambisi dan harapan
untuk menguasai. Para yavana yang dimaksudkan identik dengan kerajaan Yunani.
Para
yavana ini tidak akan menjadi raja yang baik namun selalu melakukan kebiasaan
buruk seperti korupsi. Ketika mereka datang maka kemunduran para petinggi
negeri mulai terjadi dan setelah itu
mereka akan memerintah saling bergantian. Bangsa Àrya dan Mlechha
(mereka yang tidak mempercayai ajaran veda) bergabung dengan bebas. Wanita dan
anak-anak akan dibantai. Raja yang sewenang-wenang dan tidak mengenal aturan
akan dengan bebas saling membunuh. Para yavana, Àrya dan Mlechha akan berkuasa
saling bergantian dan penduduk akan
berkembang dengan pesat.
Bhaviûya
Puràóa juga menyatakan bahwa kitab itu akan menceritakan tentang masa depan,
dimana terjadi perang antara Pàóðava dan Kaurava. (Ini adalah kisah dari Mahàbhàrata). Kebanyakan dari raja-raja itu
merupakan raja dalam jaman Kaliyuga. Penjelasan tentang dinasti raja-raja dalam
jaman Kaliyuga (Vaýúànucarita) merupakan isi dari kitab Puràóa. Karena inilah
Bhaviûya Puràóa menjelaskan silsilah para raja pada jaman Kali yuga.
(Cerita
tentang pergantian tahta kerajaan di India utara pada perioda setelah terjadinya
perang Kurukûetra, disusun dalam sebuah kumpulan sloka yang kemudian disiarkan.
Kumpulan sloka ini dinyanyikan oleh para penyair dan musisi pengembara, dalam
bahasa Màgadhi dan Pali. Para penyusun Bhaviûya Puràóa yang menyetujui
kebenaran naskah ini kemudian menyerapnya kedalam bahasa Sanksrit dan
mengubahnya lagi dalam bentuk kalimat-kalimat ramalan Vyàsadeva. Semakin banyak
lagi tambahan yang dimasukkan ke dalam naskah ini. Naskah yang ditulis di
Kharisthi di India utara juga diserap ke dalam naskah ini pada sekitar akhir
abad ketiga dan awal abad keempat. Semua bahan yang terdapat dalam Bhaviûya
Puràóa ini terkubur untuk pertimbangan masa depan yang kemudian dijelaskan
dalam Brahmàóða Puràóa, Vàyu Puràóa, Viûóu Puràóa, Bhàgavata Puràóa dan Garuða
Puràóa. Akan tetapi proses penyerapan yang terjadi dalam Bhaviûya Puràóa terus
berlangsung hingga masa pemerintahan Inggris di India. Kemudian yang disebut
sebagai ramalan Vyàsadeva dikeluarkan pada abad ke sembilan belas dan naskah
itu mendapat penyesuaian dengan keadaan saat itu untuk membuktikan
pembenarannya)
Bhaviûya
Puràóa juga menjelaskan bahwa dinasti raja-raja yang terdapat dalam jaman Kali
adalah sebagai berikut.
(1) PARA PAURAVA
Diceritakan
bahwa Arjuna adalah putra ketiga dari para Pàóðava dan putranya adalah
Abhimanyu. Abhimanyu menikah dengan Uttara, putri raja Viràþa dan mereka
memiliki putra yang bernama Parìkûit. Putra raja Parìkûit adalah raja
Janamejaya yang merupakan seorang raja yang baik. Dari Janamejaya lahirlah
Úatànìka yang amat sakti. Dan dari Úatànìka lahirlah Aúvamedhadatta.
Dari
Aúvamedhadatta lahirlah seorang anak yang amat sakti. Ia adalah Adhisimakåûóa,
yang sekarang ini meme-rintah dengan kekuasaan dan nama yang besar. Kalimat ini
menjelaskan pada kita bahwa naskah ini disusun pada jaman pemerintahan raja
Adhisimakåûóa)
Putra
dari Adhisimakåûóa adalah raja Nicakûu. Ketika kerajaan Hastinàpura dihanyutkan
oleh sungai Gaògà maka Nicakûu kemudian pergi dan tinggal di kota Kouúambi. Ia
kemudian mendapatkan delapan anak yang perkasa dan sakti. Putra tertuanya
adalah Uúna dan setelah masa pemerintahan Uúna maka yang menggantikannya adalah
Citaratha. Setelah Citraratha akan digantikan dengan Sucidratha dan setelahnya
maka digantikan dengan Våûóimat. Suûeóa merupakan raja yang adil menggantikan
Våûóimat. Sunìthà adalah raja yang menggantikan Suûeóa setelah Sunìthà maka
digantikan dengan Ruca dan setelahnya maka akan digantikan dengan Nåcakûu. Yang
menggantikan Nåcakûu adalah Sukhibala dan putra dari Sukhibala adalah raja
Pariplava dan pengganti dari raja Pariplava adalah raja Sunaya. Setelah itu
yang akan menjadi raja adalah Medhàvìn dan digantikan dengan putranya yang
bernama Nripanjaya. Durva adalah yang akan menjadi putranya. Durva adalah putra
raja Nripanjaya yang menggantikan kedudukan ayahnya dan kemudian digantikan
oleh putranya yaitu Tigmatman. Setelah Tigmatman maka yang memerintah adalah
Båhadratha dan setelahnya adalah Båhadratha Vasudana dan setelahnya lagi adalah
Vasudana Úatànìka dan setelahnya lagi adalah raja Udayana kemudian setelah
Udayana memerintahlah raja perwira yang bernama Vahinara dan putra dari
Vahinara adalah Daóðapàói. Setelah Daóðapàói maka memerintahlah Niramitra dan
setelah Niramitra adalah Kûemaka.
Dengan
demikian maka akan ada 25 raja yang merupakan keturunan raja Pùru. Generasi
Purava yang dihormati oleh para dewa dan åûi, yang darinya lahirlah generasi
banyak bràhmaóa dan orang suci serta para kûatriya pemberani, akan berakhir
kejayaannya pada masa menjelang jaman Kali yuga dan ini ditandai dengan akhir
kekuasaan Kûemaka. Ini adalah generasi dari putra raja Pàóðu yang amat tersohor
yaitu Arjuna.
(2) PARA AIKÛVÀKU (IKÛVÀKU)
Selanjutnya
adalah generasi orang-orang yang berjiwa agung yaitu Ikûvàku. Pewaris tahta
raja Båhadbala adalah raja perwira Båhatkûaya. Putranya adalah Urukûaya. Dimana setelah pemerintahannya maka
ia digantikan oleh Vatsa-vyuha, dan setelah Vatsavyuha adalah Prativyoma.
Putranya
adalah Divakara yang kini memerintah di kota Ayodhyà di Madhyadesa. (Kalimat
ini menyiratkan bahwa naskah Bhaviûya Puràóa ini disusun pada masa
pemerintahan raja Divakara.)
Kemudian
yang akan menggantikan Divakara adalah raja Sahàdeva yang amat terkenal.
Selanjutnya yang menjadi pewaris tahta Sahàdeva adalah raja yang tinggi hati
yaitu Båhadaúva. Penggantinya adalah Bhanuratha dan putranya adalah Pratitaúva
yang kemudian menggantikannya. Putra dari Pratitaúva adalah Supratìkà.
Keturunannya adalah Marudeva dan Marudeva akan digantikan oleh putranya yang
bernama Sunakûatra. Setelah Sunakûatra adalah maka memerintahlah raja Kinaraúva
perkasa yang kemudian digantikan oleh Antarikûa. Setelah Antarikûa akan
memerintah raja Suparóa dan setelah Suparóa maka memerintahlah Suparóa
Amitrajit. Putranya adalah Båhadbhraja, yang kemudian akan digantikan oleh
putranya yang bernama Dharmin. Putra Dharmin adalah Kåtañjaya yang akan
menggantikan kedudukan ayahnya. Putra dari Kåtañjaya adalah Ranañjaya yang
bijaksana yang kemudian digantikan oleh Sañjaya yang merupakan seorang raja
perwira yang memerintah setelah Kåtañjaya. Putra Sañjaya adalah Úakya. Setelah
Úakya maka memerintahlah raja Suddhodana. Yang putranya adalah Siddhàrtha dan
putra dari Siddhàrtha adalah Rahula. Setelah Rahula maka yang memerintah
menggantikannya adalah Prasenjit. Setelah Prasenjit adalah Kûudraka. Setelah
Kûudraka maka yang memerintah adalah giliran Kulaka. Setelah Kulaka adalah
Suratha. Putra Suratha adalah Sumitrà yang akan memerintah menggantikan ayahnya
yang selanjutnya menjadi raja terakhir dari dinasti ini.
Keturunan
raja Ikûvàku yang lahir dari raja Båhadbala akan senantiasa membawa nama besar
bagi keluarga raja ini. Mereka merupakan golongan terpelajar dan para satria.
Generasi ini akan pudar pada masa pemerintahan raja Sumitrà. Generasi ini
adalah gudang para kûatriya yang merupakan keturunan langsung dari Manu.
(3) BARHADRATHA
Selanjutnya
adalah generasi Barhadratha yang berasal dari para Màgadha, yang merupakan
keturunan raja-raja dari garis keturunan raja Úadeva yang merupakan generasi
raja Jaràsandha.
Putra
raja Jaràsandha adalah Sahadeva. Sahadeva gugur dalam perang Kurukûetra dan
yang menjadi pewaris tahtanya adalah Somadhi, menjadi raja ibukota Girivraja.
Somadhi memerintah selama 58 tahun. Dalam garis keturunan ini Úrutaúrava
menjadi raja selama 64 tahun dan Ayutàyu memerintah selama 26 tahun. Yang
melanjutkan pemerintahannya adalah Niramitra yang menikmati peme-rintahan
selama 40 tahun sebelum wafat. Sukûatra meme-rintah selama 56 tahun dan
Båhatkarmàn selama 23 tahun.
Senajit,
yang kini memerintah akan memerintah dari sekarang selama 23 tahun. (Ini juga
merupakan isyarat bahwa naskah ini disusun pada masa pemerintahan Senajit)
Úrutañjaya
yang merupakan seseorang yang memiliki kekuatan yang hebat, tentara yang besar
dan kebijaksanaan yang tinggi akan memerintah selama 40 tahun. Selanjutnya
Vibhu akan memerintah seluruh dunia selama 28 tahun dan Úuci akan menjadi raja
selama 58 tahun. Raja Kûema akan memerintah selama 28 tahun; raja Suvrata yang
yang sakti akan memerintah selama 64 tahun dan Sunetra akan memerintah selama
35 tahun. Setelah itu maka raja Nivåtti memerintah selama 58 tahun, Trinetra
memerintah selama 28 tahun dan raja Dåðhasena memerintah selama 48 tahun.
Mahinetra akan memerintah dengan gemilang selama 33 tahun. Suchala akan
memerintah selama 32 tahun dan raja Sunetra akan memerintah selama 40 tahun.
Raja Satyajit akan menikmati bumi selama 83 tahun. Viúvajit akan menjadi raja
selama 25 tahun dan Åpuñjaya akan memerintah selama 50 tahun.
Keenambelas
raja ini dimasa datang akan dikenal sebagai para Båhadratha. Kerajaan
mereka akan bertahan selama 732 tahun. Selanjutnya akan ada 32 Båhadratha yang
akan memerintah selama seribu tahun penuh.
(4) PRADYOTA
Ketika
para Båhadratha telah berakhir masa peme-rintahannya maka Pulika akan membunuh
majikannya sendiri dan menunjuk putranya, Pradyota, untuk menjadi raja. Raja
Pradyota akan menjajah kerajaan tetangganya dan memerintah selama 23 tahun.
Selanjutnya yang menggan-tikannya adalah Pàlaka yang memerintah selama 24
tahun. Viúàkhayùpa menjadi raja selama 50 tahun, Ajaka selama 21 tahun dan
Nandivardhana selama 20 tahun.
Lima
raja Pradyota ini akan memerintah selama 138 tahun.
(5) ÚIÚUNÀGA
Úiúunàga
akan menghancurkan semua Pradyota dan menjadi raja. Ia akan menjadikan
Girivraja sebagai ibukota kerajaannya dan mengangkat putranya untuk menjadi
raja di Vàràóasì. Úiúunàga akan memerintah selama 38 tahun dan digantikan oleh
anaknya, Kakavaróa, yang memerintah selama 36 tahun. Kûemadharman akan menjadi
raja selama 20 tahun selanjutnya dan Kûatrouja selama 40 tahun. Vimbisara akan
memerintah selama 28 tahun, Ajataúatru selama 25 tahun dan Dharúaka selama 25
tahun. Setelahnya maka Udayin akan memerintah selama 33 tahun. Udayin akan
memindahkan kerajaannya menuju Kusumapura di pinggir selatan sungai Gaògà,
dalam seperempat masa pemerintahannya. Kemudian Nandivardhana akan menjadi raja
selama 40 tahun dan Mahànàdin selama 43 tahun.
Mereka
adalah 10 raja generasi Úiúunàga. Keseluruhan raja dalam generasi ini
memerintah selama 163 tahun. (Beberapa Puràóa lain menyebutkan bahwa mereka
me-merintah selama 360 tahun)
Kebanyakan
dinasti-dinasti ini berjaya atau me-merintah dalam jangka waktu yang sama.
Misalnya adalah 24 Ikûvàku, 27 Pàñcala, 24 raja Kaúi, 28 raja Haihaya, 32 raja
Kaliòga, 25 Ashmaka, 36 Kuru, 28 Mithila, 23 Úurasena dan 20 Vitihotra.
(6) NANDA
Raja
Mahànàdin akan memiliki seorang putra yang berasal dari istrinya yang merupakan
seorang úùdra. Anak ini adalah Mahàpadma Nanda yang akan menaklukkan semua raja
Kûatriya. Setelah itulah para raja keturunannya adalah raja dari bangsa Úùdra. Mahàpadma
Nanda akan berhasil menaklukkan seluruh bumi dan memerintah selama 88 tahun. Ia
akan memiliki delapan putra, dimana yang tertua adalah Sukalpa. Delapan putra
ini akan melanjutkan pemerintahan setelah Mahàpadma selama 12 tahun.
Seorang
Bràhmaóa yang bernama Koutilya akan menghancurkan para Nanda itu. Setelah para
Nanda memerintah selama 100 tahun, maka dunia berada di bawah kekuasaan para
Mourya.
(7) MOURYA
Koutilya
kemudian mengangkat Candragupta untuk memerintah dalam daerah kekuasaannya.
Candragupta menjadi raja selama 24 tahun, Vindusara selama 25 tahun dan Aúoka
selama 36 tahun. Aúoka memiliki anak yang bernama Kunala yang menggantikannya
memerintah selama delapan tahun.
Putra
Kunala yang bernama Bandhupalita akan memerintah selama delapan tahun dan
Bandhupalita digantikan oleh pewaris tahtanya, Indrapalita, yang meme-rintah
selama 10 tahun. Devavarman akan memerintah selama tujuh tahun, putranya
Úatadhanu memerintah selama delapan tahun dan Båhadratha selama tujuh tahun.
Sembilan
Mourya akan memerintah selama 137 tahun. Setelah itu maka para Úuòga akan
menggantikan kekuasaan para Mourya ini.
(8) ÚUÒGA
Puûyamitra
adalah yang akan menjadi jenderal dari raja Båhadaúva. Namun sang jenderal
membunuh majikannya sendiri dan mendirikan generasi baru. Puûyamitra menjadi
raja dan memerintah selama 36 tahun. Putranya yang bernama Agnimitra akan
memerintah selama delapan tahun, Vasujyeûþha selama tujuh tahun dan Vasumitra
selama 10 tahun. Selanjutnya Andhraka akan memerintah selama dua tahun,
Pulindaka memerintah selama tiga tahun dan putranya yang bernama Ghoûa akan
memerintah selama tiga tahun. Selanjutnya Vajramitra akan menjadi raja selama
sembilan tahun. Bhàgavata akan menjadi raja selama 32 tahun dan putranya yang
bernama Devabhùmi akan memerintah selama sepuluh tahun.
Sepuluh
raja Úuòga ini akan memerintah selama total 112 tahun. Dari mereka maka bumi
akan beralih pada kekuasaan para Kaóva.
(9) KÀÓVÀYANA
Pada
masa pemerintahan dewa bhùmi Vàsudeva adalah menteri kerajaannya. Vàsudeva
dengan siasatnya berhasil menyingkirkan Devabhùmi dan mendirikan dinasty
Kàóvàyana. Vàsudeva memerintah selama sembilan tahun dan putranya yang bernama
Bhùmimitra akan memerintah selama 12 tahun dan putra Bhùmimitra yang bernama
Nàràyaóa akan memerintah selama 12 tahun dan dilanjutkan oleh putranya yang
bernama Suúarman.
Mereka
semua adalah raja-raja generasi Kàóvàyana. Mereka adalah empat Bràhmaóa yang
akan memerintah bumi selama 45 tahun. Mereka akan menaklukkan raja-raja
tetangga mereka dan memerintah dengan adil dan bijaksana. Setelah generasi
mereka maka pemerintahan di bumi ini dilanjutkan oleh para Andhra.
(10) ANDHRA
Andhra
Simuka dan pengikut sukunya telah menjadi pengikut generasi Kaóva yang dipimpin
oleh raja Suúarman, akan tetapi mereka menyingkirkan majikannya dan mendirikan
generasi baru yang mereka sebut sebagai dinasti Andhra.
Simuka
akan menjadi raja selama 23 tahun. Adiknya yang bernama Kåûóa kemudian
melanjutkan pemerin-tahannya dan memerintah selama 10 tahun. Adiknya yang
bernama Úrì Úatakarói juga melanjutkan pemerintahannya dan memerintah selama 10
tahun. Selanjutnya Pùróotsaòga akan memerintah selama 18 tahun. Skadhastambhi
akan memerintah selama 18 tahun juga. Úatakarói memerintah selama 56 tahun dan
putranya yang bernama Lambodara memerintah selama 18 tahun. Putra Lambodara
yang bernama Apilaka memerintah selama 12 tahun. Meghasvati memerintah selama
18 tahun. Svati akan memerintah selama 18 tahun. Skandasvati akan memerintah
selama 7 tahun.
Mågendra
Svatikaróa akan memerintah selama 3 tahun. Kuntala Svatikaróa memerintah selama
8 tahun. Svatikaróa hanya akan memerintah selama satu tahun. Pulomavi akan
memerintah selama 36 tahun. Ariûþakaróa akan memerintah selama 25 tahun.
Selanjutnya Hala memerintah selama 5 tahun. Mantalaka memerintah selama 5 tahun
juga. Purikaúena memerintah selama 21 tahun. Sundara Úatakarói memerintah hanya
satu tahun. Úakora Úatakarói akan memerintah selama enam bulan. Úivaúvati
memerintah selama 28 tahun. Selanjutnya Goutamiputra akan memerintah selama 21
tahun. Selanjutnya, putranya yang bernama Puloma akan memerintah selama 28
tahun. Úivaúrì puloma akan memerintah selama 7 tahun. Putranya yang bernama
Úivaskandha Úatakarói akan memerintah selama 3 tahun. Yajñaúrì Úatakaróika
memerintah selama 29 tahun. Setelahnya, maka Vijaya menggantikannya selama enam
tahun. Putranya yang bernama Candraúrì Úatakarói akan berkuasa selama sepuluh
tahun. Dan Pulomavi akan memerintah selama tujuh tahun.
Tiga
puluh raja Andhra ini akan memerintah selama bumi selama 460 tahun.
(11) DINASTI LOKAL
Ketika
masa kekuasaan para raja Andhra ini maka yang melanjutkannya adalah para raja
yang berasal dari keturunan para pelayan. Maka akan ada tujuh orang yang
termasuk kedalam tujuh Úrìpàrvatiya Andhra. Juga ada sepuluh raja Abhira, tujuh
raja Gardabhin dan 18 Úaka. Akan ada 8 Yavana, 14 Tuûàra, 13 Murunda dan 11
Mouna.
Úrìpàrvatiya
Andhra akan bertahan selama 52 tahun, para raja Abhira selama 67 tahun. Tujuh
raja Gardabhin akan menikmati bumi selama 72 tahun. Para raja Úaka memerintah
selama 183 tahun. Delapan Yavana memerintah selama 87 tahun. Sejarah akan
selalu mencatat bahwa Tuûàra telah memerintah selama 7000 tahun. 13 raja
Murunda bersama bangsa Mlechha akan menikmati pemerintahan selama 200 tahun. 11
Mouna akan menikmati pemerintahan selama 103 tahun. Ketika akhirnya mereka
tersingkirkan maka tersebutlah raja Kilakila yang memerintah disana.
Setelah
pemerintahan raja Kilakila berakhir maka raja Vindhyaúakti memerintah dan ia
memerintah selama 96 tahun dan menggantikan kedudukan semua raja yang telah
wafat mendahuluinya.
(12) DINASTI VIDIÚA
Raja-raja
yang selanjutnya memerintah kerajaan Vidiúà juga dicantumkan.
Bhogin,
yang merupakan putra raja ular, Úeûa, akan diangkat menjadi raja. Ia
menaklukkan musuh-musuhnya dan mengembangkan kekuasaan kerajaan para ular.
Sadàcandra akan menjadi raja yang kedua dari keturunan ini, Candràmúa menjadi
raja ke tiga, dan Dhanadharman menjadi raja yang keempat. Setelah itu maka
Vaògara dan Bhutinanda menggantikan mereka.
Ketika
keluarga para Úuòga telah berakhir maka Úiúunandi akan memerintah. Adiknya akan
dinamakan Nandiyaúa, dalam garis keturunannya akan ada tiga raja. Putra dari
putrinya akan bernama Úuúuka dan akan memerintah di Purika.
Vindhyashati
memiliki putra yang menjadi Pravira dan akan memerintah kota Kañcanaka selama
60 tahun. Ia akan melakukan banyak upacara persembahan dan keempat putranya
akan menjadi seorang raja.
(13) DINASTI RAJA-RAJA PADA ABAD KE III
Ketika
keluarga para Vindhyaka telah meninggal semua, maka akan ada 3 raja Bahlika.
Mereka adalah Supratika dan Nabhira yang memerintah selama 30 tahun, Úakyama
menjadi raja para Mahiûì. Kemudian akan ada 13 Puûyamitra dan Putamitra. Di
Mekala ada tujuh raja yang akan memerintah selama 70 tahun . Di Koúala akan ada
sembilan raja yang bijak dan sakti yang memerintah yang bergelar Màgha. Semua
raja yang berasal dari para Niûadha, lahir dari keluarga Nala, akan menjadi
sangat úakti dan berjaya hingga
hancurnya para Manu.
Diantara
para Màgadha, yang menjadi raja adalah Viúvaphani. Dengan menyingkirkan para
raja dari kasta Kûatriya maka ia mereka mengangkat raja dari kasta selain
Kûatriya - kaivarta, pañcaka, pulinda dan Bràhmaóa. Ia akan mengangkat
orang-orang ini untuk menjadi raja di berbagai negara bagiannya. Viúvaphani
yang agung akan menjadi sehebat dan seagung Viûóu dalam peperangan. Setelah
berhasil membuat para dewa berkenan dengan perbuatan baiknya maka ia pergi ke
sungai Gaògà dan meninggalkan kehidupan duniawinya. Setelah wafat ia tinggal
bersama Indra selama bertahun-tahun.
(14) DINASTI LAIN PADA ABAD KE III
Sembilan
raja Naka akan memerintah di kota Campavati. Tujuh raja Naga akan memerintah di
kota Mathura. Para raja yang lahir dari generasi Gupta menikmati daerah
kekuasaan disekitar sungai Gaògà, Prayàga, Saketa, dan Màgadha. Para raja yang
lahir dari Manidhanya akan menikmati kekuasaan di Naiûadha, Yaduka, Tamralipta
dan pemandangan indah yang terdapat di kota Campa.
Guha
menjadi raja di Kaliòga, Mahiûa dan seluruh penghuni pegunungan Mahendra. Para
Úùdra menjadi raja di Úuoraûþra, Avyantyas, Abhira, Arbuda dan Malava.
Orang-orang yang berasal dari golongan yang dianggap sebagai orang buangan
menjadi raja di pinggiran sungai Sindhu (Indus), Candrabhàga (Chenab) dan
Kounti dan daerah sekitar Kaúmir.
Semua
raja ini sangat tidak berperasaan, tidak jujur, dan tidak baik sama sekali.
(Menceritakan
tentang kisah raja-raja jaman Kali memang agak membosankan dan hampir tidak ada
gunanya. Namun ini memainkan peran penting dalam semua Puràóa. Ini juga terjadi
khususnya pada Bhaviûya Puràóa, yang merupakan misinya untuk membicarakan masa
depan)
Daftar
ini juga membawa peran penting dalam menelusuri perang Kurukûetra dan kejadian
setelahnya. Jika anda telah membaca kitab Mahàbhàrata maka anda akan menemukan
bahwa perang Kurukûetra itu melibatkan 11 batalyon (akûohini) pada pihak
kaurava dan 7 akûohini pada pihak Pàóðava. Setiap akûouhini terdiri
dari 21.870 pasukan kereta, 21.870 pasukan gajah, 65.610 pasukan berkuda dan
109.350 pasukan biasa. Jika dalam setiap kereta, kuda dan gajah ada satu orang
maka dalam satu akûouhini itu ada 218.700 orang manusia. Dan jika ada delapan
belas akûouhini yang dilibatkan maka jumlah orang yang dilibatkan didalamnya
adalah 3.936.600 orang. Ini sungguh jumlah yang hampir tidak masuk akal pada
jaman itu. Oleh karena itulah tidak seorangpun percaya bahwa kejadian ini
benar-benar terjadi. Akan tetapi mungkin saja ada beberapa fakta sejarah yang
telah didistorsi karena dibesar-besarkan.
Tapi
mungkinkah seseorang melacak kebenaran sejarah itu?
Jika
kita perpanjang sedikit tentang hal ini, maka ada tiga cara yang mungkin
dilakukan untuk melacak kebenaran tentang perang Kurukûetra ini. Yang pertama
adalah dengan menggunakan cara astronomi dengan memanfaatkan posisi nakûatra
seperti yang terjadi dalam Mahàbhàrata. Mungkin karena banyaknya interpolasi
dan argumen yang diper-kenalkan maka ada banyak sekali perbedaan dalam tahun
yang jelas dari kejadian sebenarnya, ada yang menyebutkan 3140 sebelum masehi,
3137 SM, 3102 SM, 3000 SM, 2449 SM, 1931 SM, 1400 SM, 1197 SM dan 1151 SM.
Pendekatan
yang kedua adalah penyelidikan tentang kejadian yang sebenarnya dari perang
Kurukûetra yang didasarkan pada analisa astrolog terkenal yaitu Àryabhaþþa,
Våddhagarga dan Varàhamihira. Analisa Àryabhaþþa mengatakan bahwa jaman Kali
dimulai pada 3102 sebelum Masehi. Oleh karena itulah perang Kurukûetra terjadi
pada sekitar 3138 sebelum masehi. Våddhargarga dan Varàha-mihira menyatakan
bahwa perang itu terjadi sekitar 2449 sebelum masehi. Akan tetapi para sarjana
membantah bahwa tidak satupun dari dua analisa itu menunjukkan kebenaran dari
fakta sejarah.
Pendekatan
yang ketiga adalah dengan menggunakan silsilah para raja yang telah diberikan
dalam keterangan diatas. Dari sumber-sumber sejarah yang ditinggalkan oleh
seorang sejarawan Yunani yang bernama Meghasthenes, maka kita bisa melacak
perioda kekuasaan Candragupta. Sumber-sumber silsilah kita bisa mendapatkan
keterangan tentang jumlah raja-raja yang ada dari saat dinobatkannya Parìkûit
hingga pada masa Candragupta. Jika seseorang membuat sebuah asumsi tentang
rata-rata jumlah tahun dari seseorang raja memerintah maka kita bisa menghitung
mundur dan menghitung tahun saat raja Parìkûit dinobatkan dengan saat
terjadinya perang Kurukûetra. Karena subyek-tivitas dari pengamat, maka
penetapan rata-rata lamanya seorang raja memerintah maka dihasilkanlah variasi
dari tahun terjadinya perang Kurukûetra sebagai berikut, ada yang menyebutkan
1500 sebelum masehi, 1397 sebelum masehi, 950 sebelum masehi, dan 1000 sebelum
masehi. Akan tetapi dari sudut pandang apa yang telah menjadi kepercayaan
penduduk lembah Indus dan kedatangan bangsa Àrya, maka ditentukan bahwa perang
ini berlangsung sekitar 1000 sebelum masehi dan tahun ini dianggap sebagai
tahun yang bisa diterima oleh para sarjana.)
DUA BELAS ASPEK DARI
SÙRYA
Dewa
matahari memanifestasikan dirinya menjadi dua belas aspek yang berbeda. Ini
dinamakan sebagai para Àditya dan mereka adalah Indra, Dhàtà, Parjañya, Pùûà,
Tvaûþa, Aryama, Bhaga, Vivasvàna, Viûóu, Amúu, Varuóa dan Mitra.
Dalam
perannya sebagai dewa Indra maka dewa Sùrya memimpin para dewa dan menjadi raja
mereka.
Sebagai
Dhàtà, Sùrya menciptakan semua mahluk.
Sebagai
Parjañya, maka beliau berada di awan dan menu-runkan hujan.
Sebagai
Pùûà, maka beliau berada disemua benih bahan makanan dan memberikan
kesejahteraan pada semua orang.
Sebagai
Tvaûþa, maka beliau berada disemua pohon dan tanaman.
Sebagai
Aryama, maka beliau berada di angin dan mem-berikan nafas kehidupan pada
semua mahluk.
Sebagai
Bhaga, maka Sùrya berada dibumi dan tubuh setiap mahluk.
Sebagai
Vivasvàna, maka beliau berada di api dan membantu dalam mematangkan
masakan.
Sebagai
Viûóu, maka dewa matahari menghancurkan musuh-musuh para dewa.
Sebagai
Amúu, maka beliau berada di udara dan memberikan kebahagiaan dihati
semua mahluk.
Sebagai
Varuóa maka beliau berada di air dan mendukung seluruh kehidupan ini.
Sebagai
Mitra, maka beliau berada di pinggir sungai Candrabhàga. (ini adalah
tempat dimana Sàmba mendirikan kuil untuk beliau)
Orang
yang mengetahui dua belas aspek Sùrya ini akan mendapatkan tempat di istana
Sùrya dan tinggal bersama beliau.
Dalam
setiap bulan dalam satu tahun, salah satu dari dua belas aspek ini akan
bermanifestasi. Viûóu bermanifestasi pada bulan Caitra, Aryama pada bulan
Vaiúàkha, Vivasvàna pada bulan Jyaiûþha, Amúu pada bulan Àûada, Parjañya pada
bulan Úravaóa, Varuóa pada bulan Bhadra, Indra pada bulan Aúvina, Dhàtà pada
bulan Karttika, Mitra pada bulan Agrahyana, Pùûà pada bulan Pouûa, Bhaga pada
bulan Màgha dan Tvaûþa pada bulan Phàlguna.
Dua
belas nama ini tiada lain hanyalah nama dewa Sùrya belaka. Sebagai tambahan
dari nama-nama itu, maka beliau juga memiliki dua belas nama tambahan.
Nama-nama itu adalah Àditya, Savita, Sùrya, Mihira, Arka, Prabhàkara, Màrtàóða,
Bhàskara, Bhànu, Citrabhànu, Divàkara dan Ravi.
Dalam
wujudnya sebagai Aryama, Sùrya memiliki 1400 jenis sinar dan dalam wujud Amúu
beliau memiliki 1500 sinar. Sebagai Parjañya, Viûóu, dan Varuóa beliau memiliki
masing-masing 1400 jenis cahaya. Indra memiliki 1200 jenis cahaya, Dhàtà dengan
1100 jenis cahaya, Mitra 1500 jenis cahaya, Pùûà seribu jenis cahaya, Bhaga
1500 jenis cahaya dan Tvaûþa memiliki 1000 jenis cahaya.
KERETA DEWA
SÙRYA
Kereta
dewa Sùrya berwarna keemasan dan ini dibuat sendiri oleh dewa Brahmà. Nama dari
kusir yang mengen-darainya adalah Aruóa. Kereta ini ditarik oleh tujuh kuda
yang bernama Gàyatrì, Triûþupa, Jagatì, Anuûþupa, Paòkti, Våhatì dan Uûóika.
Dua
àditya (dewa), dua åûi, dua gandharva (penyanyi
kahyangan), dua apsara (penari di kahyangan), dua nàga (ular),
dan dua ràkûasa selalu berada dan mengikuti di dalam kereta. Hal ini dijelaskan
sebagai berikut.
Pada
bulan Caitra dan Vaiúàkha, dua Àditya yang bertugas adalah Dhàtà dan Aryama,
dua åûi yang bertugas adalah Pulastya dan Pulaha, dua gandharva yaitu Tumburu
dan Nàrada, dua apsara yaitu Krithasthali dan Puñjikàsthalà, dua nàga yaitu
Vàsuki dan Kañca, dan dua ràkûasa yaitu Heti dan Praheti.
Pada
bulan Jyeûþha dan Àûada, dua àditya yang bertugas adalah Mitra dan Varuóa, dua
åûi yang bertugas adalah Atri dan Vasiûþha, dua gandharva yang bertugas adalah
Hàhà dan Hùhù, dua apsara yaitu Menakà dan Sahajanyà, dua nàga yaitu Takûaka
dan Ananta, dan dua ràkûasa yaitu Pouruûeya dan Budha.
Pada
bulan Úravaóa dan Bhàdra, dua àditya yang bertugas adalah Indra dan Vivasvàna,
dua åûi yaitu Aògira dan Bhågu, dua gandharva yaitu Viúvavasu dan Ugrasena, dua
apsara yaitu Pramlocanti dan
Anumlocanti, dua nàga yaitu Elàpatra dan Úaòkhapàla, dan dua ràkûasa yaitu
Sarpa dan Vyàghra.
Pada
bulan Aúvina dan Karttika, àditya yang bertugas adalah Parjañya dan Pùûà, dua
åûi yaitu Bharadvàja dan Goutama, dua gandharva yaitu Citrasena dan Ruci, dua
apsara yaitu Viúvaci dan Gåhitaci. Dua nàga yaitu Viúruta dan Dhanañjaya dan
dua ràkûasa yaitu Apa dan Vàta.
Pada
bulan Agrahàyaóa dan Paouûa, dua àditya yang bertugas adalah Amúa dan Bhaga,
dua åûi yaitu Kaúyapa dan Kratu, dua gandharva adalah Citràògada dan Uróayu,
dua apsara yaitu Pùrvaciti dan Urvaúì, dua nàga yaitu Tàrkûya dan dua ràkûasa
yaitu Sphùrja dan Vidyut.
Pada
bulan Màgha dan Phàlguna, dua àditya yang bertugas adalah Tvaûþà dan Viûóu, dua
orang åûi yaitu Jamadagni dan Viúvàmitra, dua gandharva yaitu Dhåtaràûþra dan
Varca, dua apsara yaitu Tilottama dan Rambhà, dua nàga yaitu Kadraveya dan
Kambhalasvatara, dan dua orang raksasa yang bernama Brahmapreta dan
Yakûapreta.
ÚÀKADVÌPA
Disebutkan
bahwa bumi terdiri dari tujuh wilayah (dvìpa) dan ketujuh wilayah ini
adalah Jambùdvìpa, Plakûadvìpa, Úàmaladvìpa, Kuúadvìpa, Krouñcadvìpa,
Puûkaradvìpa, dan Úakadvìpa.
Tanah
Bharatavarûa terletak di wilayah Jambùdvìpa.
Úakadvìpa
dikelilingi oleh lautan yang amat luas yang dikenal sebagai Dadhi samudra.
Kota
Úakadvìpa adalah kota yang suci dan pen-duduknya terkenal berumur panjang.
Kelaparan, penyakit, dan umur tua hampir tidak dikenal di tempat ini. Di
wilayah ini terdapat tujuh gunung salju yang diyakini merupakan gudang dari
berbagai jenis batu berharga. Intan permata terdapat di sungai yang mengalir di
kota ini.
Gunung
yang pertama adalah gunung Meru, disini adalah tempat para åûi dan
gandharva tinggal. Gunung yang kedua adalah Udaya, yang membentang ke
arah timur. Puncak gunung ini berwarna kuning keemasan. Disini awan berkumpul
dalam jumlah yang sangat banyak. Gunung yang ketiga adalah Mahàgiri yang
memiliki banyak danau di sekitarnya. Diyakini bahwa dari danau inilah dewa
Indra mengambil uap air untuk dipakai membuat awan hujan. Disekitar daerah ini
terdapat banyak tempat kediaman penduduk.
Gunung
yang keempat adalah Raivataka. Nama ini berhubungan dengan sebuah nakshatra
yang bernama Revati. Karena keindahannya maka gunung ini sering disebut
sebagai surganya Úakadvìpa. Gunung yang kelima adalah Úyàma dan memiliki
penampakan yang gelap. Gunung yang keenam adalah gunung Antagiri yang berwarna
keperakan. Dan gunung yang ketujuh adalah gunung yang terakhir yaitu gunung
Ambikeya. Gunung ini selalu ditutupi oleh salju dan sangat sulit untuk
menjangkaunya.
Tersebutlah
sebuah pohon yang terkenal dinamakan pohon Úaka tumbuh di kerajaan ini
dan dari pohon inilah nama Úakadvìpa didapatkan. Pohon ini dipuja oleh semua orang
yang ada disana. Dan diyakini bahwa Úakadvìpa merupakan wilayah yang sering
dikunjungi oleh para dewa dan gandharva.
Di
Úakadvìpa ada tujuh sungai yang suci dan karena kesuciannya itu maka semua
sungai ini disebut sebagai sungai Gaògà. Namun sebenarnya memiliki nama
masing-masing. Sungai yang pertama dinamakan Úivajala, kedua adalah Kumàri atau
Vàsavì, yang ketiga adalah Nanda atau Pàrvatì, keempat dinamakan Úivetika atau
Pàrvatì, yang kelima adalah Ikûu atau Kratu, yang keenam adalah Dhenuka atau
Måta dan yang ketujuh tidak disebutkan namanya. Semua sungai ini mengalir ke
samudra luas.
Mengenai
Kasta atau golongan masyarakat di Úakadvìpa terdapat empat golongan masyarakat
dan mereka hiup secara rukun berdampingan. Mereka terbebas dari rasa benci,
iri, kecemburuan dan kesedihan. Sebagaimana yang telah dijelaskan didepan,
empat kasta yang terdapat di Úakadvìpa adalah Maga, Magaga, Ganaga dan Mandaga.
Maga setara dengan Bràhmaóa, Magaga setara dengan Kûatriya, ganaga setara
dengan Vaiúya dan Mandaga setara dengan Úùdra.
Penduduk
Úakadvìpa memuja dewa Sùrya sebagai dewa yang tertinggi dengan melaksanakan
vrata dan puasa. Mereka diberkati oleh putra sang dewa. Úàkadvìpa dikelilingi
oleh lautan yang disebut sebagai Kûiroda atau lautan susu.
MANVANTARA
Setiap
manvantara adalah sebuah kurun waktu yang sangat panjang dimana dalam setiap
manvantara itu dipimpin oleh seorang Manu disebutkan bahwa ada empat belas
Manvantara dan setelah empatbelas manvantara itu berlalu maka alam semesta akan
dihancurkan secara total.
Sekarang
ini enam manvantara telah berlalu. Keenam manvantara itu adalah Svàyambhuva,
Svarociûa, Uttama, Tàmasa, Raivata, dan Càkûuûa. Manvantara sekarang ini adalah
Vaivasvata, yang merupakan manvantara yang ketujuh. Dimasa depan akan ada tujuh
manvantara lagi.
(Tentang
manvantara ini telah dijelaskan dalam Puràóa-Puràóa yang lainnya)
Kebanyakan
kitab Puràóa berisikan tentang pernyataan keagungan dewa Brahmà, Viûóu dan Úiva
dan in membuat mereka menjadi dewa yang lebih terkenal dikalangan umat manusia.
Dan disini Bhaviûya Puràóa tampak agak aneh dengan mengagungkan Sùrya. Yang
diberikan disini hanyalah sekilas dari isi yang sebenarnya. Mungkin tidak
diragukan lagi anda pasti ingin mengetahui lebih lanjut tentang hal ini
terutama pemujaan kepada Sùrya. Ini bisa didapatkan dalam Bhaviûya Puràóa dalam
bentuk utuhnya.
Baca juga :
Sumber: Bibek & Dipavali, 2001, Bhaviûya Puràna, Surabaya, Paramita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar