Garuða Puràóa
Kitab Gàruða Puràóa adalah kitab Puràóa Vaiûóava. Gàruða adalah nama dari burung mitos, seperti diwedarkan oleh Sang Hyang Viûóu sendiri, dan kemudian disampaikan kepada Kaúyapa.Di dalamnya dijelaskan beberapa dari lima tema atau karakter kitab-kitab Puràóa, yaitu: penciptaan, masa kehidupan dunia (yuga), genealogi (silsilah raja-raja dari dinasti matahari dan bulan dan åûi-åûi); tetapi perhatian yang jauh lebih banyak diberikan kepada pemujaan kepada Sang Hyang Viûóu, uraian-uraian tentang upacara bagi Vaiûóava dan Vratas (puasa), upacara penebusan dosa (Prayaúcita) dan pengagungan tempat-tempat suci.
Ia juga mengakui pemujaan kepada úakti, dan mengandung aturan untuk
pemujaan kepada “Pañyatana (lima
devatà, yaitu: Viûóu, Úiva, Durgà, Sùrya dan Gaóeúa). Lebih dari pada itu,
Gàruða Puràóa seperti halnya Agni Puràóa, adalah sejenis Puràóic ensiklopendi,
di dalamnya dibahas berbagai macam hal, isi dari kitab Ràmàyana, Mahàbhàrata
dan Harivaýúa, juga terdapat bagian mengenai kosmografi, astronomi dan
astrologi, tanda-tanda dan isyarat, ilmu rajah tangan, obat-obatan, ukuran
metrik, tatabahasa, pengetahuan tentang batu-batu mulia (ratnaparìkûa) dan politik (nìti).
Satu bagian yang sangat panjang dari Yàjñavàlkya Dharmaúàstra dimasukkan dalam
bahasan Gàruða Puràóa.
Uttarakhaóða atau bagian kedua
dari Gàruða Puràóa adalah Pretakalpa, sebuah karya yang besar sekali sekalipun
seluruhnya tidak sistematik, yang menguraikan segala hal yang berkaitan dengan kematian, orang yang
meninggal dan alam baka. Dalam kerancuan yang beraneka ragam, kita temukan
doktrin-doktrin mengenai jiwa (àtmà) sesudah kematian, Karma, kelahiran kembali
dan kelepasan dari kelahiran kembali, keinginan atau nafsu merupakan sebab
seseorang memperoleh Saýsàra (penderitaan dan kelahiran kembali), mengenai
tanda-tanda kematian, jalan menuju Sang Hyang Yama, perjalanan para Preta
(yaitu, orang yang meninggal yang rohnya masih mengembara mengelilingi bumi,
dan belum menemukan jalan ke alam alam baka), siksaan-siksaan di alam neraka, dan
Preta itu sepertinya menyebabkan pertanda-pertanda dan mimpi-mimpi buruk.
Diselang-selingi, kita temukan aturan-aturan dari segala jenis tentang
ritus-ritus untuk dilaksanakan pada saat mendekati kematian, perlakuan pada
seseorang yang meninggal dan jenazah, ritus-ritus penguburan dan pemujaan
terhadap roh leluhur, Satì, yaitu perempuan yang menceburkan diri ke dalam
api-unggun saat pembakaran jenasah suaminya. Di sana-sini kita juga menemukan
legenda-legenda yang mengingatkan kepada Petavatthu Buddhis, yang menceritakan
kisah-kisah tentang Preta-preta yang berkaitan dengan eksistensi mereka yang
susah sekali (akibat dosa yang mereka lakukan pada waktu hidup mereka. Sebuah
“saripati” (Sàroddhàra) dari karya ini bukan sekedar saripati dilakukan oleh
Naunidhiràma. Meskipun demikian judulnya, bagian ini bukanlah sepenuhnya
saripati dari Pretakalpa, karena penulis juga mempergunakan material dari
kitab-kitab Puràóa lainnya, dan menguraikan pokok persoalan secara lebih
sistematis. Di antara karya-karya lainnya kitab ini menggambarkan Bhàgavnta
Puràóa, menunjukkan bahwa Puràóa lebih kemudian daripada Bhàgavata Puràóa.
Di antara Màhàtmya-màhàtmya yang
megklaim sebagai bagian dari Gàruða
Puràóa, penyebutan secara khusus seharusnya ditujukan kepada Gayà Màhàtmya dalam
pemujaan atau pengagungan tempat suci Gayà, yang merupakan tempat berjiarah
(tìrthayàtra), secara khusus ditujukan untuk melaksanakan upacara Úràddha
(pemujaan untuk mensthanakan roh suci leluhur).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar