WENA DAN PÅTHU
Dhruwa memiliki seorang anak yang bernama Utkala yang diangkat
menjadi raja setelah Dhruwa menyepi di hutan. Namun Utkala tidak tertarik
menjadi raja, ia lebih tertarik untuk mengejar pengetahuan tentang Brahman.
Maka kerajaan kemudian diambil alih pada adiknya yaitu Watsara.
Salah satu keturunan dari raja Watsara adalah Wena. Wena meskipun
masih sebagai seorang pangeran, namun tindakannya sangat jahat. Sesungguhnya
Wenalah yang mengusir ayahnya, Aòga ke hutan.
Ceritanya demikian, Raja Aòga berencana untuk melakukan sebuah
upacara Àúwamedha. Aòga kemudian mengutus beberapa orang åûi untuk mengundang
para dewa. Namun undangan itu menjadi sia-sia karena para dewa tidak datang ke
upacara itu. Hal ini membuat Aòga menjadi heran. “Apakah aku telah melakukan
sebuah dosa, hingga para dewa tidak datang pada upacara ini ?” demikian
pikirnya.
Selanjutnya ia diberitahu bahwa para dewa tidak datang karena Aòga
tidak mempunyai anak. Dan sekarang adalah suatu keharusan bagi Aòga untuk
melakukan upacara khusus untuk mendapatkan seorang anak. Aòga kemudian
melakukan seperti yang diberitahukan padanya. Ia melakukan sebuah upacara dan
mendapatkan sebuah puding nasi yang harus dimakan oleh istrinya jika ia
menginginkan seorang anak. Istri raja Aòga yaitu Sunìthà memakan nasi itu, lalu
melahirkan seorang anak. Anak itu dinamai Wena.
Sunìthà memiliki ayah yang bernama Måtyu, dan orang ini adalah
orang yang berkarakter jahat. Dan sejak masa kecilnya Wena sangat dekat dengan
kakeknya itu hingga ia mewarisi sifat jahat kakeknya. Meskipun masih kecil ia
suka membunuh binatang tanpa alasan. Bahkan ia membunuh siapa saja yang bermain
dengannya. Demikianlah ulah anak ini mulai tampak tidak bisa ditolerir lagi
hingga orang-orang mulai menjauh apabila melihatnya.
Aòga kemudian berusaha mendidik anaknya dengan lebih disiplin,
namun hal itu sia-sia saja. Wena telah menjadi sangat keterlaluan. Maka dalam
rasa putus asa yang tidak terbendung, Aòga kemudian pergi ke hutan meninggalkan
kerajaannya. Selanjutnya tidak ada kabar yang bisa didengar tentang raja Aòga
itu.
Sementara itu kerajaan yang ditinggalkannya tidak bisa dibiarkan
tanpa adanya seorang raja. Maka Wena kemudian diangkat menjadi raja. Meskipun
seluruh rakyatnya sama sekali tidak setuju dengan hal itu. Namun mereka tidak
memiliki pilihan lain. Maka setelah menjadi raja, Wena mulai memperlihatkan
kekejaman dan kesewenang-wenangan yang tak terkatakan.
Ia menghentikan semua
upacara yajña yang dilakukan oleh para åûi di kerajaannya. Hal ini membuat para
åûi menyadari kesalahan mereka karena telah menunjuk orang seperti itu. Mereka
mengangkat Wena menjadi raja dengan harapan agar bisa menghentikan anarkhi yang
akan mengancam kerajaan karena absennya seorang raja. Namun apa yang terjadi
adalah sesuatu yang melebihi anarkhi. Wena telah menjadi tirani bagi rakyatnya.
Para åûi kemudian menemui Wena untuk berusaha membujuk dan
meluruskan kembali jalan yang telah ditempuhnya. Namun Wena tidak mau
mendengarkan satu pun petunjuk mereka. Ia tidak mau melakukan Yajña, karena
yajña itu diperuntukkan bagi para dewa. Lalu apa gunanya menyembah para dewa,
kalau raja Wena sanggup memenuhi permintaan rakyatnya, demikian pikir Wena.
Setelah menyadari bahwa Wena tidak mungkin lagi diberitahu lagi,
maka para åûi memutuskan untuk membunuhnya. Ini mereka lakukan dengan kekuatan
angkara mereka. Namun yang menjadi masalah adalah setelah kematian Wena, tidak
ada yang meneruskan kerajaan, karena Wena tidak mempunyai anak. Lalu siapa yang
akan menggantikan kedudukannya ?
Dalam keadaan absennya seorang raja, maka
kerajaan akan mengalami kemunduran. Dalam waktu yang sangat singkat itu, dengan
absennya seorang raja, yang tampak di sekeliling kerajaan itu hanyalah pertanda
buruk. Para perampok merajalela dan leluasa berbuat jahat karena kerajaan tidak
ada yang melindungi.
Mayat Wena telah diawetkan oleh ibunya. Dan para åûi kemudian
mengambil mayat itu dan mulai melakukan ritual memijat dengan teknik tertentu.
Sebagai hasil dari ritual itu, muncullah sesosok cebol. Mahluk ini bertubuh
gelap dengan mata yang merah. Mahluk ini kemudian bertanya, “Apa yang harus
hamba lakukan ?”
“Duduk” jawab para åûi. Dan karena kata ‘duduk’ dalam bahasa
sanskrit adalah Niûìda, maka mahluk itu kemudian dinamakan Niûada. Maka seluruh
generasi mahluk ini tidak diijinkan tinggal di dalam kerajaan. Mereka tinggal
di hutan dan menjadi pemburu.
Para åûi kemudian melanjutkan ritual pijatan itu, dengan memijit
bagian tangan, dan keluarlah dua orang anak yaitu satu laki dan satu perempuan.
Kali ini para åûi merasa puas karena mereka tahu bahwa, Påthu, anak laki-laki
itu adalah inkarnasi Wiûóu. Sedangkan Arci, yang perempuan, adalah inkarnasi
Lakûmì. Påthu kemudian menikah dengan Arci lalu ia diangkat menjadi raja.
Påthu menjadi seorang raja yang baik. Namun saat itu, di bumi
tidak ada benih tanaman yang bisa dimakan sehingga rakyat mulai kelaparan.
Mereka kemudian menghadap kepada Påthu dan berkata, “Selamatkanlah kami, bumi
telah menelan benih tanaman dan pepohonan yang buahnya bisa dimakan. Mohon
lakukanlah sesuatu untuk menyelamatkan kami dari bencana kelaparan ini.”
Påthu kemudian memasang sebuah anak panah di busurnya, lalu pergi
untuk menyerang dewi bumi. Namun dewi bumi mulai melarikan diri dan Påthu terus
mengikutinya dengan panah siap di tangannya. Hingga akhirnya menyerah pada
Påthu dan berkata, “Mohon janganlah hancurkan aku. Lagipula, jika aku hancur,
lalu mau tinggal di mana kau dan seluruh rakyatmu ? Aku akan memberikan apapun
yang kau inginkan.”
Påthu menyuruhnya mengembalikan semua benih dan tanaman yang telah
ditelannya. Dewi bumi kemudian mengambil wujud seekor sapi dan Påthu kemudian
memerah susu yang keluar berupa benih dan berbagai jenis tanaman. Setelah
peristiwa itulah bumi kemudian disebut Påthiwì.
Kemudian Påthu berencana untuk melakukan seratus Àúwamedha yajña.
Dan hal ini membuat Indra merasa tersaingi. Karena raja para dewa ini juga
melakukan seratus kali Àúwamedha yajña lalu memperoleh gelar Úatakratu.
Sekarang tiba-tiba Påthu ingin melakukan upacara yang sama, dan menurutnya ini
akan mengancam kedudukannya. Indra kemudian menjadi iri hati. Dalam upacara
ini, kuda adalah sebuah alat yang penting dalam rangka upacara dan tanpa
sepengetahuan siapa pun, Indra mencuri kuda persembahan itu.
Dan hal ini diketahui oleh åûi Àtri dan beliau kemudian
memberitahukan semua itu pada putra-putra Påthu. Anak-anak itu kemudian
mengejar Indra dan mengambil kembali kuda-kuda itu. Namun Indra mencuri lagi
dan ditangkap. Demikianlah berulang-ulang. Dan hal ini membuat Påthu menjadi
marah atas perbuatan Indra dan memutuskan untuk membunuh raja para dewa itu.
Akan tetapi Brahmà meyakinkan bahwa membunuh Indra bukanlah hal yang bijak.
Karena Indra adalah raja para dewa. Påthu telah melakukan sembilan puluh
sembilan Àúwamedha yajña dan yang harus diperhatikan bahwa apakah memilih
sukses atau tidaknya upacara yang keseratus itu. Karena kalau sukses maka
sejarah akan mencatat bahwa Påthu jauh lebih hebat daripada Indra. Påthu
mendengarkan dengan penuh perhatian dan menuruti nasehat Brahmà dan berteman
dengan Indra.
Påthu didampingi oleh empat Brahmà åûi yang menjadi penasehatnya.
Ia pun memerintah mengikuti petunjuk mereka. Dan setelah bertahun-tahun
akhirnya ia menyerahkan kerajaan pada keturunannya dan ia sendiri pergi ke
hutan untuk melakukan tapasya. Dan ketika wafat ia dijemput menuju Wiûóuloka
atau Waikuóþha. Sedangkan Arci, istrinya ikut menemani kematian suaminya dengan
membakar diri di api suci juga dijemput ke Wiûóuloka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar