ÚIWA DAN DAKÛA
Bertahun tahun yang lampau, tersebutlah sebuah yajña dilakukan
dengan dihadiri oleh para dewa, åûi, pertapa dan semua mahluk ilahi. Semua tamu
telah datang dan duduk ketika tiba-tiba Dakûa datang.
Upacara ini dilakukan
oleh Dakûa. Dan untuk menghormati Dakûa, semua hadirin berdiri, terkecuali
Brahmà dan Úiwa. Brahmà memang tidak perlu terlalu formal dengan Dakûa, karena
bagaimanapun juga, Brahmà adalah ayahnya. Namun Dakûa merasa sangat terhina
oleh tindakan Úiwa yang mengabaikannya. Dan selain itu Úiwa adalah menantunya.
Hingga seharusnya Úiwa menghormatinya.
“Para hadirin sekalian, dengarlah apa yang aku katakan ini. Úiwa
ini tidak memiliki rasa malu sedikit pun, ia tidak tahu bagaimana menghormati
orang yang lebih tua darinya. Ia adalah menantuku, karena menikah dengan
putriku. Apakah tidak pantaskah ia berdiri dan memperlihatkan sedikit rasa
hormatnya kepadaku ? Memang ini adalah kebodohanku karena harus menikahkan
putriku dengan orang yang tidak tahu diri ini. Teman-temannya adalah para
hantu, dan mahluk halus. Ia sering mendatangi tempat-tempat yang mengerikan
seperti pekuburan, seperti orang gila saja tampaknya. Tubuhnya dilumuri dengan
abu dari pembakaran mayat mereka yang telah mati. Ia juga memakai kalung
tengkorak manusia dan kerjanya hanya minum dan minum.”
Úiwa terus mengabaikan Dakûa dan tidak terpengaruh oleh kata-kata
Dakûa. Ini membuat habis kesabaran Dakûa, hingga ia kemudian mengutuk Úiwa,
agar sejak saat itu. Úiwa tidak akan pernah mendapatkan persembahan dari setiap
yajña yang dilakukan untuk para dewa, Dakûa kemudian meninggalkan tempat itu
dengan kesal hati.
Úiwa memiliki seorang pengawal yang bernama Nandi. Nandi menjadi
sangat marah karena Úiwa telah dikutuk, sementara para åûi dan dewa yang lain
hanya diam tanpa mencegah semua itu. Nandi kemudian mengutuk para åûi dan
bràhmaóa agar mereka lahir berulang-ulang ke bumi. Mereka harus bekerja untuk
mendapatkan makanan dan ini membuat mereka kehilangan rambu-rambu untuk mendapatkan
pengetahuan yang sejati dan menjadi kecanduan dalam mengejar kenikmatan
duniawi.
Saat itu åûi Bhågu menjadi marah mendapat kutukan seperti itu.
Maka beliau kemudian mengutuk semua pengikut Úiwa bahwa mereka akan selalu
kecanduan minuman alkohol dan melumuri tubuhnya dengan abu kremasi. Mereka akan
memakai kalung tengkorak, dan rambut mereka akan selalu dijalin seperti Úiwa.
Úiwa hanya diam menghadapi semua keadaan itu. Namun di tengah
suasana saling kutuk itu, Úiwa kemudian mengumpulkan semua pengikutnya untuk
meninggalkan tempat itu.
Maka setelah itu, selama seribu tahun setiap upacara dilakukan
tanpa kehadiran Úiwa. Waktu berlalu, Dakûa kemudian mengadakan sebuah Yajña
bernama Wajapeya tanpa mengundang Úiwa dan anak buahnya. Namun yajña itu
berhasil dilakukan tanpa halangan apapun dan ini membuat Dakûa menjadi besar
kepala. Kemudian Dakûa melakukan upacara kurban yang lebih besar lagi. Yajña
ini disebut Båhaspatistawa. Ia mengundang semua dewa dan åûi, namun tidak
mengundang Úiwa bersama pengikutnya. Upacara itu berjalan dengan sukses besar
sehingga di mana-mana orang membicarakannya. Beberapa orang yang ikut di dalam
upacara itu tampak sedang membicarakannya sambil melintas di langit. Satì,
kebetulan mendengar percakapan mereka. Dia juga melihat banyak gandharwa wanita
yang menghadiri yajña itu dengan mengendarai Wimàna mereka. Hal ini membuat
Satì ingin tahu dan dia juga ingin pergi ke tempat upacara kurban yang
dilakukan oleh ayahnya.
Dia kemudian pergi kepada Úiwa dan berkata, “Ayah mertuamu, Dakûa
akan melakukan sebuah upacara yajña yang amat besar. Mari kita pergi ke sana,
lihatlah semua dewa juga pergi ke sana. Aku ingin bertemu dengan
saudara-saudaraku, karena sudah lama aku tidak melihat mereka, aku juga rindu
pada ibuku. Ini adalah kesempatan untuk beramah tamah dengan keluarga. Mari
kita pergi, atau setidaknya aku sendiri yang harus ke sana. Aku tahu kita
memang tidak mendapatkan undangan. Tapi perlukah undangan untuk pergi ke rumah
suami, saudara atau ayahnya sendiri ?”
Namun Úiwa mengingatkan Satì tentang apa yang telah dikatakan oleh
Dakûa tempo hari, dan ia kemudian meminta Satì untuk membatalkan niatnya.
Karena dia tidak akan disambut dengan baik oleh ayahnya. Meskipun dia adalah
putrinya sendiri, namun di sisi lain, Satì juga adalah istri Úiwa, musuhnya. Namun,
meskipun telah diperingatkan untuk tidak pergi, Satì tetap keras kepala. Maka
Úiwa kemudian mengutus beberapa pengawalnya yang dipimpin oleh Nandi.
Satì akhirnya datang ke tempat upacara ayahnya dan melihat bahwa
upacara itu telah dimulai. Para dewa dan åûi telah datang dan ayat-ayat suci
Weda sedang dibacakan. Akan tetapi selain ibu dan beberapa saudaranya, tidak
seorang pun berani menyambut kedatangannya. Sedangkan ayahnya sama sekali tidak
menghiraukannya. Dia juga melihat bahwa dalam upacara itu tidak ada sesajen
yang dipersembahkan untuk Úiwa. Pendek kata Úiwa sama sekali diabaikan di dalam
upacara itu.
Satì kemudian memberitahukan ayahnya. “Aku tidak mengharapkan ayah
sampai berbuat serendah ini. Siapa lagi kecuali ayah yang telah menghina Úiwa seperti
ini ? Adalah kewajiban seorang Patiwrata (seorang wanita yang setia kepada
suaminya) untuk memprotes jika suaminya dihina. Ayah telah menghina suamiku.
Memang aku berhutang hidup darimu, karena kebetulan anda telah menjadi ayahku.
Namun aku tidak ingin lagi menggunakan tubuh yang terkontaminasi oleh sifat
jahat ayah.”
Setelah berkata begitu, Satì duduk di lantai. Dia mengatur
nafasnya dan membawa nafas itu dengan di pusatkan di dahinya. Di sana dia
memikirkan Úiwa lalu menghembuskan nafas terakhirnya. Dan saat itulah tiba-tiba
muncul api yang membakar tubuhnya. Para hadirin yang melihat hal itu menjadi
amat takjub.
Beberapa pengawal Úiwa yang mengawal Satì segera menyerang Dakûa
dan para hadirin yang lain. Namun di antara para hadirin itu seorang åûi yang
sakti bernama åûi Bhågu. Dengan kekuatan tapanya beliau menciptakan ribuan
pasukan dewa (bergelar para Åbhu) dari api yajña. Maka segera saja para Åbhu
itu membuat beberapa pengawal Úiwa mundur teratur. Mereka lari dan memberitahu
tentang semua kejadian tadi.
Mendengar hal itu, Úiwa menjadi amat marah. Beliau kemudian
mencabut sehelai rambutnya dan melemparkan benda itu ke tanah dengan diiringi
tertawa yang amat keras. Dan dari suara tawa itu terciptalah sesosok mahluk
yang sangat menakutkan yang bernama Wìrabhadra. Wìrabhadra mempunyai ukuran
tubuh yang sangat besar hingga kepalanya menyentuh langit. Kulitnya sangat
hitam dan ia memiliki ribuan tangan dan tiga mata. Sebuah kalung tengkorak
melilit di lehernya dan di tangannya ia membawa ribuan senjata.
Wìrabhadra kemudian berdiri di hadapan Úiwa, dengan penuh hormat
dan berkata, “Apa yang harus hamba lakukan?”
Úiwa berkata “Aku telah melahirkanmu dengan kekuatan yang tak
terkalahkan. Pergi dan hancurkanlah Dakûa dan yajña yang dilakukannya.”
Wìrabhadra kemudian mengambil sebuah Triúula sakti yang menjadi
senjata utamanya lalu bergegas ke tempat upacara itu dilakukan. Ia ditemani
oleh beberapa pasukan dan pengawal Úiwa. Beberapa ada yang menghancurkan istana
Dakûa sementara yang lain menghancurkan tempat upacara itu dilakukan. Api yajña
dipadamkan dan beberapa raksasa menyerang para åûi dan para dewa diserang oleh
beberapa yang lainnya. Salah satu dari pengawal Úiwa bernama Maóimana. Ia
menangkap sang åûi Bhågu lalu mengikat beliau. Sementara para dewa yang tidak
sempat melarikan diri, juga diikat. Wìrabhadra sendiri memenjarakan Dakûa. Ia
kemudian mencabuti jenggot Bhågu. Lalu ia berusaha memotong kepala Dakûa namun
ia tidak bisa melakukan hal itu, karena kehebatan Dakûa. Maka ia kemudian
menyeret tubuh Dakûa ke tiang gantungan, lalu menaruh kepalanya di tiang
pancungan lalu memotong kepala Dakûa dengan pedangnya. Kepala yang terpenggal
itu kemudian jatuh ke dalam api dan terbakar menjadi abu. Setelah menyelesaikan
tugasnya, Wìrabhadra, kembali ke Kahyangan Úiwa di gunung Kailàsa.
Para dewa melarikan diri, dalam keadaan putus asa datang kepada
Brahmà kemudian meminta nasehat beliau. Namun Brahmà memberikan reaksi bahwa
itu adalah konsekwensi dari tindakan mereka. Mereka tidak seharusnya menghina
Úiwa ataupun bergabung dengan orang yang melakukan perbuatan itu. Dewa Úiwa
berhak atas berbagai persembahan sebagaimana para dewa yang lain. Oleh karena
itu Brahmà meminta para dewa agar memohon kepada Úiwa. Namun tidak satu pun
sanggup menenangkan Úiwa.
Para dewa kemudian pergi ke gunung Kailàsa dan mulai memohon pada
dewa Úiwa. Mereka juga meminta agar Dakûa dihidupkan kembali dan jenggot åûi
Bhågu dikembalikan seperti sedia kala, kemudian para dewa yang terluka agar
bisa disembuhkan kembali. Namun selanjutnya Úiwa berhasil ditenangkan, hingga
beliau tidak menolak untuk memberikan anugrah itu. Namun yang menjadi masalah
adalah Dakûa. Kepalanya yang dipenggal telah jatuh ke dalam kobaran api hingga
menjadi abu, maka Úiwa kemudian mengusulkan untuk mengganti kepala Dakûa dengan
kepala seekor kambing. Para dewa dan åûi kemudian mengajak Úiwa pergi ke tempat
upacara itu. Beliau kemudian menancapkan kepala kambing itu di tubuh Dakûa dan
ia pun dihidupkan kembali. Dakûa kemudian memohon maaf kepada Úiwa.
Yajña itu kemudian diulang kembali dan saat itu, Wiûóu sendiri yang
menjadi pendeta pemimpin upacara. Sedangkan mengenai Satì, dia kemudian lahir
kembali menjadi putri dari Himàlaya dan Menakà yang bernama Pàrwatì yang
selanjutnya bersatu kembali dengan Úiwa. Namun kisah ini terjadi beberapa waktu
kemudian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar