Halaman

Selasa, 08 Mei 2012

Wisnu atau Waisnawa Purana

Viûóu atau Vaiûóava Puràóa 

Viûóu atau Vaiûóava Puràóa. Buku ini merupakan karya utama dari para pemuja Viûóu atau Vaiûóava dan dikutip oleh Ràmànuja, seorang filosof, pendiri sekte Vaiûóava, di dalam komentarnya kepada Vedànta Sùtra, menunjukkan bahwa ia adalah seorang ahli yang penting. Dalam karya sastra  ini Viûóu dipuja dan diagungkan sebagai Yang Tertinggi, sebagai salah satu dan satu satunya devatà yang diidentikkan dengan Brahmà dan Úiva. 


Sang Hyang Viûóu adalah juga sang maha pencipta dan pelindung dunia. Di dalam kitab Puràóa ini kita tidak menemukan satu petunjukpun berkenaan dengan perayaan, pengorbanan (persembahan) dan upacara yang di abdikan kepada Sang Hyang Viûóu secara  khusus, bahkan tidak pula kita tempukan informasi tentang pura yang ditujukan untuk memuja Sang Hyang Viûóu, bahkan tidak ada informasi tentang tempat-tempat yang disucikan untuk kemuliaan Sang Hyang Viûóu. Dari karya sastra ini kita dapat menduga bahwa karya ini merupakan satu Puràóa yang sangat kuno. 

Demikian pula bila dikaitkan dengan pengertian atau definisi lama dari konsep Puràóa tersebut. Kitab Viûóu Puràóa nampaknya tidak sepenuhnya menunjukkan karakter “Pañca Lakûaóa”. Judul Viûóu Puràóa tidak diklaim sebagai karya yang kemudian. Màhàtmya yang terdapat di dalam Viûóu Puràóa mengandung sedikit atau beberapa stotra dan naskah yang kecil yang disebut sebagai bagian dari kitab ini, demikian pula selanjutnya. Hal ini menandakan bahwa kitab ini adalah karya kesusastraan Puràóa yang lebih tua yang setidak-tidaknya telah mampu memelihara bentuk orisinilnya sampai sejumlah besar pengembangannya.

Suatu penelitian  yang lebih besar tentang isi kandungan kitab-kitab Puràóa juga akan memberikan gambaran kepada pembaca ide terbaik terhadap isi dan arti dari kitab-kitab Puràóa itu pada umumnya. Karya ini terdiri dari enam bab, dimulai dengan suatu dialog antara Paràúara yang tidak lain adalah cucu dari Maharûi Vasiûþha dan muridnya yang lain bernama Maitreya. Yang disebut belakangan menanyai gurunya tentang asal-usul dan karakter dari alam-semesta, selanjutnya Paràúara menjawab bahwa pertanyaan ini mengingatkan dia tentang apa yang pernah dia dengar dari Vasiûþha,  kakeknya dan dia mulai untuk mengulangi apa yang telah dia dengar. 

Bertentangan dengan tradisi (juga ditemukan semua Viûóu Puràóa)  yang disebutkan sebagai sumbangan dari maharûi Vyàsa, di sini Paràúara disebutkan secara khusus sebagai penulis karya itu. Sesudah mengagungkan Sang Hyang Viûóu dalam sebuah lagu-pujian pertama-tama diuraikan tentang penciptaan dunia, sebagaimana ia muncul ber ulang-ulang kembali dalam bentuk yang agak identik dari kebanyakan kitab-kitab Puràóa. Dan hal yang luar biasa diuraikan ajaran filsafat Sàýkhya dipadukan dengan ceritra-ceritra yang biasa kita temukan banyak persamaan dengan ceritra-ceritra pada masyarakat primitif.

Laporan mengenai penciptaan para dewa dan para raksasa, para pahlawan dan para nenekmoyang ras umat manusia diikuti oleh sejumlah besar cerita-cerita mitologi, alegori dan ceritra-ceritra para raja dan orang-orang bijaksana dari jaman-jaman pra sejarah. Banyak dari cerita-cerita ini telah kita lihat di dalam Mahàbhàrata, sebagai contoh cerita tentang pemuteran (pengadukan) samudra. Digambarkan dewi keberuntungan dewi Úrì yang sangat cantik gemerlapan muncul dari samudra susu yang diaduk, dan merebahkan dirinya ke dalam pangkuan tangan Sang Hyang Viûóu. 

Dalam lagu pujian yang sangat bagus, Indra menyapanya sebagai ibu dari semua mahluk dan memuja dia sebagai sumber dari segala yang baik dan indah serta penganugrah semua kebahagiaan. Bagian ini pada pokoknya diabdikan untuk mengagungkan Sang Hyang Viûóu, yang didampingi oleh istrinya yang sangat setia dewi Úrì, demikian pula di dalam cerita-ceritra lainnya selalu ditujukan kepada Sang Hyang Viûóu, yang oleh penyembahnya didendangkan kidung yang menumbuhkan kegembriaan, sementara itu dilukiskan pula kekuatan yang bisa  diproleh orang dengan cara menyembah Viûóu, yang tak mengenal batas. 

Satu contoh dari ini adalah ceritra maharaja Dhruva, yang membuat perlakuan yang istimewa yang diperlihatkan kepada abangnya, mengabdikan dirinya bahkan sebagai abdi yang sepenuh hati untuk mel;akukan penebusan atas dosa-dosa dengan menjadi penyembah Sang Hyang Viûóu, sehingga Sang Hyang Viûóu berkewajiban untuk mengabulkannya keinginan untuk menjadi sesuatu yang lebih tinggi dari abangnya dan bahkan ayahnya, dia membuat dirinya sebagai bintang kutub yang lebih tinggi dan berdurasi sangat kekal dari pada semua bintang-bintang lain dari sorga. 

Akan tetapi kekuatan penyembahan terhadap Sang Hyang Viûóu didendangkan dengan cara yang paling baik di dalam ceritra abdi Prahlàda (I.17-20) kepada ayahnya, seorang raja raksasa yang bangga dengan sia-sia mencoba untuk untuk menggoyahkan keimanan dari penyembahan Sang Hyang Viûó. Tak ada senjata yangbisa membunuhnya, tidak pula ular-ular ataupun gajah-gajah liar, tidak juga api maupun racun ataupun kutukan gaib yang bisa menyakiti dia. Dilemparkan dari balkon istana, dia jatuh dengan lembut di haribaan bumi. Diikat dengan belenggu, selanjutnya  dia dilemparkan ke dalam samudra dan gunung-gunung, ditimbun di atasnya dan di dasar laut, ia menyanyikan lagu-l;agu pemujaan kepada Sang Hyang Viûóu, belenggu-belenggunya berguguran, dan sebaliknya dia lemparkan gunung-gunung itu, dengan kekuatan yang muncul dari dirinya. Ditanya oleh ayahnya, dari mana kekuatan-kekuatan yang hebat diperoleh, Prahlàda menjawab: 
“Kekuatan apapun yang aku miliki ayah, adalah bukan hasil dari ritus-ritus gaib, bukan pula bisa dipisahkan dari sifat-sifatku, ia tidak lebih dari kekuatan yang dimiliki oleh semua yang dalam hatinya bertempat Acyuta (nama lain dari Sang Hyang Viûóu). Dia yang bermeditasi,  tidak berbuat salah terhdap orang-orang lain, tetapi menganggap mereka sebagai dirinya, bebas dari segala pahala dosa,  yang menimbulkan kepedihan kepada orang-orang lain, dengan perbuatan, pikiran, atau ucapan, menaburkan benih kebajikan pada kelahiran yang akan datang, dan buahnya yang dinantikan adalah kebahagiaan. 

Aku tidak inginkan kejahatan kepada siapapun, tidak melakukan atau mengcapkan kata-kata penghinaan, karena aku melihat Sang Hyang Keúava pada setiap mahluk, sebagaimana di dalam jiwaku sendiri. Darimana penderitaan atau kepedihan jasmani atau rohani yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alam atau para devatà mempengaruhi aku, yang hatinya sepenuhnya disucikan olehnya? Cinta kasih yang dalam, bagi semua mahluk akan dihargai oleh semua orang yang bijaksana dalam pengetahuan bahwa Sang Hyang Viûóu ada di dalam segalanya.

Buku kedua dari Viûóu-Puràóa Bab 1-12) membicarakan satu gambaran yang fantastis tentang dunia. Tujuh benua dan tujuh samudra digambarkan, Jambùdvìpa berada di tengah-tengah, dengan pegunungan Meru yang warnanya keemasan, sebagai sthana para dewa. Pada benua yang disebut Jambùdvìpa terletak Bhàratavarûa, India yang desa-desa, gunung-gunung dan sungai-sungainya diuraikan satu persatu. Penggambaran bumi ini disusul oleh satu uraian tentang Pàtàla, dunia bawah. 

Tempat para dewa ular tinggal dan kemudian pengambaran satu-persatu tentang neraka-neraka yang terletak masih lebih dalam di bawah bumi. Uraian selanjutnya adalah tentang lingkup angkasa, tentang matahari tentang kereta dan kuda-kuda dewa Sùrya (dewa matahari) bersama-sama dengan perbincangan tentang jalannya matahari, sistim planet dan matahari sebagai pemberi tujuan dan pelindung kehidupan. Kemudian menyusul uraian tentang bulan (dewi Candra) tentang kereta, kuda-kuda dewi Candra, tentang orbit dan tentang hubungannya dengan matahari dan planet-planet lainnya. Bab itu ditutup dengan penjelasan bahwa keseluruhan dunia adalah hanya Viûóu dan dia sendirilah yang maha esa dan yang nyata.

Dalam kaitannya dengan nama Bhàratavarsa (Bab 13 sampai 16) diceritakan tentang raja jaman kuno bernama Bhàrata hanya menyajikan satu pengantar diaolog filosofis, yakni doktrin kesatuan yang sama yang diajarkan dari titik pandang Vaiûóava.. Model dari keseluruhan bab itu mengingatkan kita tentang banyak cara dalam kitab-kitab Upaniûad. Ceritanya sebagai berikut:

“Raja Bhàrata adalah penganut Viûóu yangsetia dan saleh. Pada suatu hari dia pergi mandi di sungai,  ketika ia sedang mandi seekor manjangan dalam keadaan hamil datang dari hutan belantara untuk minum air, pada saat yang sama raungan lantang seekor singa terdengar mengelegar di sekitar tempat itu. Menjangan itu takut dan lari menjauh dari tempat itu dan dengan loncatan yang sangat kuat dia melarikan diri. Sebagai akibat dari loncatan itu, bayi yang dikandungnya lahir dan dia sendiri mati, Bhàrata mengambil anak menjangan itu dan membesarkannya di tempat pertapaannya. Sejak memelihara menjangan itu, terus-menerus perhatiannya hanya kepada menjangan itu, dia tidak peduli terhadap yang lain, kecuali anak manjangan itu. Itulah satu-satunya pikirannya, itulah satu-satunya yang diurusnya, dan ketika akhirnya ia meninggal dunia, karena selalu memikirkan anak menjangan, dia lahir lagi segera sesudahnya dalam wujud seekor menjangan. (Ceritra ini juga dapat dijumpai dalam Bhàgavata Puràóa V.8). 

Betapapun dia punya kenangan-kenangan dari kehidupan yang sebelumnya. Dalam kehidupannya sebagai menjangan, dia juga tetap menyembah Sang Hyang Viûóu dan mengabdikan dirinya kepada latihan-latihan spiritual, suka melakukan pertobatan, hingga dalam kelahiran yang berikutnya dia lahir kembali sebagai seorang putra Bràhmaóa yang saleh. Sekalipun ia memperoleh pengetahuan doktrin kesatuan sebagai orang Bràhmaóa, namun demikian dia tidak peduli terhadap studi Veda, dia tidak melaksanakan ritus-ritus Bràhmaóa, berbicara tak keruan dan tidak dengan tata bahasa yang baik, pergi keliling dengan pakaian kotor dan compang-camping, pendeknya dia berkelakuan sepenuhnya seperti seorang yang sangat bodoh. 

Orang-orang secara mudah menamakan  dia “Jaða Bhàrata” Bhàrata yang bodoh. Umumnya dia dipandang hina dan dipekerjakan untuk tugas-tugas kasar sebagai seorang budak. demikianlah kejadiannya, dia pernah juga dipekerjakan untuk memikul tandu raja dari Sauvìra. Pada kesempatan ini terjadi suatu percakapan antara orang yang berpenampilan bodoh dengan seorang raja. Dalam percakapan ini, Bhàrata segera mengungkapkan dirinya sebagai seorang åûi agung yang bijaksana, dan mengumumkan dengan kegembiraannya kepada raja itu tentang ajaran kesatuan. Dalam penjelasan ini, dia bercerita kepadanya tentang Åbhu dan Nidàgha.

Åbhu yang bijaksana dan suci, putra Brahmà,  sang maha pencipta telah menjadi guru Nidàgha. Sesudah seribu tahun, suatu hari dia mengunjungi muridnya, secara ramah dan hormat disambut olehnya dan ditanyai tempat tinggalnya, dari mana datangnya dan akan pergi ke mana. Åbhu menjawab bahwa pertanyaan itu adalah pertanyaan orang bodoh, karena manusia (yaitu Sang Àtman) ada dimana-mana, baginya tidak ada yang datang dan tidak ada pergi, dan dia membuat doktrin kesatuan begitu jelas kepadanya sehingga Nidàgha jatuh terpikat hatinya di kakinya dan bertanya siapa dia sesungguhnya. 

Sekarang dia belajar bahwa Åbhu adalah gurunya yang lama, yang telah datang untuk mengajar dia sekali lagi di kota tempat tinggal Nidàgha. Di sana dia lihat sekumpulan besar orang-orang dan seorang raja yang memasuki kota itu dengan pengikut yang banyak jumlahnya. Jauh dari kerumunan orang banyak itu, muridnya yang dulu, yakni Nidagha sedang berdiri, Åbhu mendekatinya dan menanyainya mengapa ia berdiri menyisihkan diri. 

Setelah itu Nidàgha menjawab “seorang raja sedang datang ke kota, ada kerumunan orang banyak, karena itu saya berdiri menjauh. 

Åbhu bertanya, “lalu, siapa raja itu?” 

Nidàgha menjawab:  “Sang raja adalah orang yang duduk di atas gajah kenegaraan yang besar”.  

“Baiklah” kata Åbhu “tetapi siapa gajah itu dan siapa Sang Raja ?” 

Nidàgha : “Di bawah adalah gajah itu dan di atas Sang Raja”.  

Åbhu bertanya: “Apa dimaksud dengan di bawah dan apa dimaksud dengan di atas?”

Selanjutnya Nidàgha melompat ke punggung Åbhu dan berkata: “Saya yang di atas seperti raja, anda di bawah seperti gajah itu!” 

“Baik, sangat baik!”, jawab Åbhu, selanjutnya ceritrakan kepada saya wahai muridku tercinta, siapakah kita keduanya, siapa kamu dan siapa aku?”. 

Saat itu, barulah Nidàgha sadar dan mengakui gurunya yang lama, karena tidak seorang pun yang mampu menyerap ajaran seperti itu. Selanjutnya ajaran tentang kesatuan alam semesta menarik perhatian Nidàgha dan seterusnya ia menganggap seluruh mahluk satu dengan dirinya sendiri dan ia mencapai kebahagiaan yang sempurna.

Buku ketiga dari Viûóu Puràóa mulai dengan satu cerita tentang Manu (nenek moyang ras manusia) dan tentang  masa berkuasanya Manu (Manvantara). Kemudian menyusul satu diskusi mengenai Veda (Catur Veda Saýhità), pembagian kitab suci Veda menurut Maharûi Vyàsa dan para muridnya dan mengenai asal-usul dari beraneka sekolah-sekolah Veda (Vedaúàkha). Uraian satu persatu dari 18 Puràóa dan diikuti satu daftar dari semua cabang ilmu-pengetahuan.

Selanjutnya muncul pertanyaan dan didiskusikan, mengenai cara seseorang mencapai keselamatan sebagai seorang penyembah Viûóu yang saleh. Dengan dialog yang indah (Bab 7) antara Yama, dewa kematian dan salah seorang dari para pelayannya itu digambarkan bahwa yang suci hati dan menjalani hidup yang bajik, yang mengarahkan pikiran kepada Sang Hyang Viûóu adalah seorang penyembah Viûóu yang sejati dan karena itu bebas dari ikatan dewa Kematian. 

Uraian ini disusul dengan suatu percakapan mengenai tugas-tugas dari Catur Varóa (empat profesi dalam masyarakat), Aúrama-aúrama, upacara kelahiran dan perkawinan, mandi suci, upacara sehari-hari, tugas-tugas dan keramahan dalam penyambutan tamu, tingkah laku pada waktu makan dan sebagainya. Satu ajaran yang panjang (Bab 13-17) mengenai upacara serta sesaji untuk orang mati dan upacara-upacara lain untuk memuja roh-roh dari orang yang telah meninggal (Úràddha) yang menutup uraian dalam bab ini, menunjukkan praktek-pratek keagamaan yang bersifat Vedic-Brahmanic disajikan sebagai satu macam pemujaan kepada Sang Hyang Viûóu yang benar. Dua bab yang terakhir dari buku ini menceritakan kelahiran sekte-sekte orang yang menentang ajaran Veda yang para pengikutnya, khususnya pengikut Jaina, yang disebut Digambaras, dan pengikut Buddha yang dikenal sebagai Raktàmbara (yang berarti yang berjubah merah) disajikan sebagai pelaku-pelaku yang jahat. 

Untuk memperlihatkan betapa berdosa adanya bahkan untuk memelihara hubungan dengan semacam orang-orang yang menentang Veda, cerita raja Úatadhanu diceritakan (bab 18), yang adalah penyembah Viûóu yang saleh, tetapi untuk menggantikan beberapa kata dengan orang-orang yang menetang Veda, yang keluar di luar batas kesopanan dan konskuensi yang diterima adalah lahir sebagai seekor anjing, anjing hutan, serigala, burung kondor, burung gagak, dan burung merak susul menyusul, yang sampai pada akhirnya, karena kemauannya yang keras dan berlangsung lama, kesalahan dari istrinya Úaibyà, dia lahir kembali sebagai seorang raja. 

Buku keempat dari Viûóu Puràóa secara garis besarnya berisi daftar silsilah dari raja-raja kuno, dari dinasti Sùrya yang asal-usulnya adalah dewa matahari dan dari dinasti Candra yang asalnya adalah dewa Bulan. Daftar yang panjang para raja kuno banyak dan sebagian besar murni  merupakan ceritra mitos, beberapa raja dapat dilacak secara historis namun sekali-sekali diselingi dengan ceritra tertentu tentang raja-raja tertentu pula dan yang lain dari dinasti mereka. Dalam semua ceritra tersebut, unsur keajaiban memainkan peranan yang penting. 

Ada Dakûa yang lahir dari ibu jari kanan Sang Hyang Brahmà; putri Manu yang bernama Ilà, yang berubah menjadi lelaki; Ikûvàku, yang menunjukkan dirinya dari bersinnya Manu; raja Raivata yang pergi ke sorga dengan putrinya bernama Revatì, memohon perkenan Sang Hyang Brahmà supaya putrinya memperoleh seorang suami, bahkan raja Yuvanàúva, yang menjadi hamil dan melahirkan seorang putra, selanjutnya dewa Indra memberinya susu berupa minuman keabadian dengan cara anak itu meletakkan jarinya di dalam mulut devatà dan mengisapnya. Oleh karena dewa Indra mengatakan, “Dia akan disusui oleh aku” (Màý dhàsyati),  anak itu kemudian diberi nama Màndhàtå. 

Dia menjadi seorang raja yang kuat dan ayah dari tiga putra dan lima puluh putri. Bagaimana dia memperoleh seorang menantu laki-laki, diceritakan dengan humor aneh yang kadang-kadang diselingi keseriusan yang umumnya populer di dalam ceritra-ceritra  orang-suci Hindu, di dalam ceritra Saubharì yang mempraktekkan tapa selama dua belas tahun di dalam air sampai pandangan dari raja ikan yang menikmati kegembiraan  pengikut teman dari anak-anaknya membangkitkan dirinya keinganan untuk menikmati kepuasan menjadi ayah.

Banyak dari  ceritra yang demikian populer dari epik (Itihàsa) ditemukan lagi di dalam buku ini,  sebagai contoh ceritra Purùrava dan Urvasì dari Yayati, dan sebagainya. Sebuah ikhtisar singkat dari ceritra Ràma juga ditemukan di sini . Demikian pula ceritra kelahiran para Pandava dan Úrì Kåûna juga diuraikan dan cerita Mahàbhàrata secara singkat diuraikan dalam buku ini. Silsilah asal-usul yang amat luas, ramalan-ramalan mengenai para raja Magadha “yang mendatang”, para raja Úaiúunàga, Nanda, Maurya, Suòga, Kaóvàyana, dan Àndhrabhåtya, mengenai para raja asing yang biadab yang menyusul mereka pada kurun waktu yang buruk,  satu jaman tanpa agama dan tanpa moral hanya Sang Hyang Viûóu dalam inkarnasi-Nya sebagai Kalki akan mengakhiri mereka.

Buku kelima merupakan satu buku yang melengkapi semuanya. Ia hanya berisi suatu uraian yang tersendiri tentang kehidupan seorang pengembala sapi milik Úrì Kåûóa dan di dalamnya petualangan-petualangan yang sama diceritakan dengan urutan yang sama seperti disebutkan di dalam kitab Harivaýúa.

Sekali lagi kurun waktu (Yuga) dunia yang jumlahnya empat, yakni: Kåta, Traita, Dvàpara dan Kali. Juga digambarkan ramalan Kali Yuga yang amat buruk, yang kemudian disusul oleh suatu penggambaran beraneka macam masa kehancuran (pralaya) alam semesta. Dengan sikap yang pesimis lalu (bab 5), keburukan-keburukan dari eksistensi, kepedihan dari kelahiran, masa anak-anak, masa dewasa, berumah tangga, usia tua dan kematian, siksaan neraka dan ketidak sempurnaan dari kebahagiaan di sorga diceritakandalam buku ini, dan disimpulkan bahwa hanya keselamatan dari eksistensi, bebas dari kelahiran lagi adalah keberuntungan terbesar. 

Untuk ini adalah perlu mengenal kembali esensinya Tuhan Maha Esa, karena hanya pengetahuan yang sempurna, Tuhan akan dapat dilihat, segalanya yang lain adalah ketidaktahuan, tetapi sarana untuk mencapai kebijaksanaan ini adalah Yoga, meditasi pada Sang Hyang Viûóu. Dua bab yang ke dua dari belakang dari buku itu memberikan informasi mengenai sarana ini. Bab yang terakhir berisi satu pengulangan yang lebih singkat dari seluruh Puràóa dan berakhir dengan satu pemujaan kepada Sang Hyang Viûóu diakhiri dengan satu doa penutup.

Baca juga :
1. Agni Puràóa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar