Halaman

Selasa, 08 Mei 2012

Brahma Purana

Brahmà Puràóa

Brahmà Puràóa atau Puràóa dewa Brahmà. Berdasarkan jumlah dan daftar dari seluruh Puràóa, Brahmà Puràóa dinamakan juga Àdi Puràóa yang berarti “Puràóa yang pertama”. 


Di dalam pengantarnya disebutkan para åûi yang berada di hutan Naimiûa dikunjungi oleh Romaharûaóa (Lomaharûaóa), seorang Úùta dan mereka memohon kepadanya untuk menceritrakan kepada mereka tentang asal-usul dan akhir dunia. 


Kemudian sang Úùta mengatakan bahwa dia siap menceritrakan kepada mereka sebuah ceritra Puràóa yang menguraikan Sang Maha Pencipta Brahmà mengatakan kepada Dakûa salah satu dari para bapak ras manusia pada jaman purba kemudian menyusul legenda-legenda penciptaan dunia, kelahiran Sang Hyang Manu, manusia pertama, dan keturunan-keturunannya, turunnya para dewa, para setengah dewa dan para mahluk lainnya, semua legenda-legenda ini yang menjadi menjadi sangat umum dalam semua kitab Puràóa. Kemudian kita mendapatkan satu gambaran tentang bumi dengan bagian-bagiannya yang berbeda, tentang neraka-neraka dan sorga-sorga, ceritra ini diikuti oleh penyebutan satu persatu tempat-tempat suci yang merupakan tempat ziarah (Tìrtha atau Tìrthayàtra). 

Di dalam kitab Puràóa ini diuraikan keutamaan serta keagungan tempat suci Utkala (sekarang bernama Orissa), yang mengisi sebagian besar dari keseluruhan karya Puràóa ini. Utkala menganugrahkan kesuciaannya kepada pemujaan matahari, di sini kita temukan juga ceritra(mitos) tentang kelahiran para Àditya (devatà penguasa cahaya) dan dewa Sùrya, dewa Matahari. Gambaran hutan suci di Utkala yang sangat suci ditujukan kepada keagungan Sang Hyang Úiva dan merupakan tempat kelahiran (turunnya) dewi Umà, putriSang Hyang Himàlaya, dan perkawinan dewi Umà dengan Sang Hyang Úiva dan ceritra-ceritra tentang Sang Hyang Úiva lainnya. 


Sebuah kidung pujian kepada Úiva (Bab 37) juga disisipkan di sini. Namun  demikian  Puràóa ini sama sekali bukan bersifat Úivaistik, karena pada bagian Màrkaóðeyàkhyàna (Bab 52ff) berisi sejumlah ceritra tentang Sang Hyang Viûóu, ritual-ritual dan stotra-stotra yang memuja Sang Hyang Viûóu. Di sini juga kita temukan cerita yang mempesona tentang Kaóðu, yang sangat menyesal karena menggunakan waktunya beratus-ratus tahun untuk bermalas-malas untuk menikmati kenikmatan erotis, akhirnya bangun dari ekstasi dan cintanya, berpikir bahwa hanya beberapa jam dari satu hari yang ia telah habiskan. 


Sebuah uraian singkat tentang inkarnasi-inkarnasi (Avatàra) Sang Hyang Viûóu diikuti dengan kisah-kisah tentang Úrì Kåûóa yang sangat umum dan sering dikutip dari Viûóu Puràóa secara utuh. Bagian ini diikuti oleh sejumlah bab-bab mengenai upacara-upacara Úràddha (persembahan kepada para leluhur) dan lain-lain khususnya upacara-upacara yang Vaiûóavaistik (bersifat Vaiûóava), menguraikan tentang pembagian waktu, Yuga (panjangnya waktu). Kemerosotan kemanusiaan di jaman Kaliyuga dan kehancuran dunia yang secara periodik dan diakhiri dengan uraian tentang yoga dan filsat-filsafat Sàýkhya. 

Gautamìmàhàatmya, pujuan terhadap tempat-tempat suci di sungai Gangga (Bab 70-175), seringkali muncul dalam naskah-naskah (manuscripts) sebagai satu naskah yang bebas. Uttara Khaóða ( “bagian terakhir”) dari Brahmà Puràóa yang terdapat di dalam beberapa naskah-naskah, adalah merupakan hal yang umum, kecuali sebuah màhàtnya tentang keutamaan sungai suci Balajà (Banas di Marwar?).

Tentu hanya sebagian kecil yang dapat kita warisi sebagai Brahmà Puràóa yang dapat dijadikan sebagai Puràóa yang kuno dan murni (asli). Sekitar pertengahan abad ke 7 Sesudah Masehi Hsuan-Tsang menemukan lebih dari seratus Biara Buddha dengan beribu-ribu biarawan, tetapi juga ia menemukan 50 tempat pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa di Orissa. Úivaisme diperkenalkan di Orissa  pada abad ke 6 dan Vaiûóava pada masa berikutnya Viûóuisme. Sebagaimana tempat suci untuk Sang Hyang Sùrya Konarka, yang disebutkan di  dalam Puràóaini, tidak dibangun sampai tahun 1241, setidak-tidaknya bagi yang besar di tempat-tempat suci di Orissa tidak bisa lebih dulu dari pada abad ke 13, akan tetapi kiranya Màhàtmya tidak termasuk ke dalam Puràóa yang asli.

Saura Puràóa yang merupakan sebuah sisipan  (Khila) dari Brahmà Puràóa, tetapi dikutip sebagai satu otoritas oleh Hemadri sekitar abad ke 13, membuktikan bahwa harus ada suatu Brahmà Puràóa yang lebih tua. Saura Puràóa (“Puràóa Sang Hyang Sùrya”). yang disebutkan di dalam daftar kitab-kitab Upa Puràóa, sangat bernilai terutama mengenai pengetahuan kita tentang Úivaisme, khususnya tentang cara memuja Liòga (lingga suci). 


Tujuannya yang utama adalah untuk memuja Sang Hyang Úiva, akan tetapi pada banyak tempat (bagian lainnya), Sang Hyang Úiva diidentifikasi dengan dewa Sùrya yang mengungkapkan isi kitab Puràóa itu, atau paling tidak Sang Hyang Sùrya menganjurkan pemujaan kepada Sang Hyang Úiva. Keutamaan dan pahala pemujaan kepada Sang Hyang Úiva dipuji dengan istilah-istila  yang luar biasa. 


Petunjuk-petunjuk diberikan untuk pemujaan Sang Hyang Úiva dan “liòga” dan banyak ceritra-ceritra tentang Sang Hyang Úiva diungkapkan. Beberapa bab juga menguraikan silsilah atau  asal-usul keturunan raja atau pandita tertentu; pada bab 31 menguraikan tentang keturunan Yadu, ada juga sebuah versi tentang Urvasì. Pada bagian falsafah, karya itu mengambil suatu posisi yang serta marta di antara sistim-sistim ortodok. Pada sisi yang lain Sang Hyang  Úiva dijelaskan sebagai Sang Hyang Atman menurut Vedànta, dan pada lain sisi penciptaan dari Zat yang pertama (Prakåti) juga dijelaskan, seperti halnya di dalam filsafat Sàýkhya. Tiga  bab (38-40) diabdikan  sebagai polemik melawan sistim Madhva (1197-1276), yang penting terutama dari titik pandang kronologi.

Baca juga :
1. Agni Puràóa
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar