Halaman

Selasa, 08 Mei 2012

Markandeya Purana

 Màrkaóðeya-Puràóa

Puràóa ini adalah salah satu karya dari karya yang paling penting, menarik dan barang kali juga yang tertua dari keseluruhan literatur Puràóa. Bahkan Puràóa ini, bukan karya kesatuan, tetapi terdiri dari bagian-bagian yang tidak semua berasal dari nilai yang sama dan juga rupanya tersusun dalam beberapa kurun waktu tertentu.


Karya ini dinamakan Màrkaóðeya, mengambil nama seorang mahàûi pada masa yang sangat kuno, seperti tersebut,  yang menikmati masa mudanya yang abadi (awet muda) yang juga muncul sebagai salah seorang tokoh yang memberikan wejangan dalam satu bab yang besar di dalam kitab Mahàbhàrata. Dan kita boleh menganggap sebagai unsur pokok tertua dalam bab-bab itu Maharûi Màkaóðeya sebagai pembicara yang sebenarnya dan memberi pencerahankepada para siswanya, mengenai penciuptaan alam semesta, kurun-kurun waktu atau masa (umur) dunia, sislsilah dan asal-usul para raja  dan topik-topik lannya yang merupakan  karakteristik dari kitab-kitab Puràóa pada umumnya. Hal yang sangat istimewa sebagai fakta bahwa di dalam kitab ini,  baik Viûóu maupun  Úiva  tidak menempati posisi yang sangat menjolok, tetapi agaknya Indra dan Brahman mendapat tempat ketermuka dan para devatà yang mula-mula disebutkan dalam kitab suci Veda, seperti Agni (api) dan Sùrya (matahari) diagungkan melalui lagu-lagu pujian dalam beberapa bagian dari kitab ini dan sejumlah besar lagu pujaan yang ditujukan kepada Sang Hyang Sùrya juga disebutkan. Semua sependapat bahwa sebagian besar dari bab-bab yang tercatum itu merupakan karakter dari Puràóa lama, sebagaimana perkiraan Pagiter, berasal di abad ke 2 Masehi, tetapi bisa juga lebih tua dari masa itu. Moralitas dan cerita-cerita yang mendatangkan keberuntungan juga juga merupakan bagian yang besar seperti diuraikan di bawah ini. 

Dalam bab-bab awal dari karya ini,  sangat dekat mengikuti Mahàbhàrata dan pada umumnya punya amat banyak persamaan dengan buku ke 12 dari epik itu. Màrkaóya Puràóa secara khusus mulai dengan bagian ini, bahwa Jaimini, seorang siswa dari Maharûi Vyàsa mendekati Màrkaóðeya dan sesudah pujian tertentu pada Mahàbhàrata, memohon kepadanya untuk menjawab empat pertanyaan yang di dalam epik besar itu belum terjawab. Pertanyaan pertama adalah, bagaimana Draupadì bisa menjadi istri bersama dari Pañca Pandava, yang terakhir mengapa anak-anak Draupadi dibunuh pada suatu usia yang muda. Màrkaóðeya tidak menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan itu, tetapi menunjukkannya kepada empat burung yang bijak, yang sebenarnya adalah para Brahmana yang lahir sebagai burung-burung sebagai hasil dari suatu kutukan. Ceritra burung-burung itu rupanya sesuai dengan ceritra di dalam Mahàbhàrata (I.229), dan salah satu burung itu bernama Droóa dan menurut Màrkaóðeya Puràóa burung-burung tersebut adalah anak dari Droóa. 

Burung-burung ini menceritakannya kepada Jaimini sederetan legenda untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada mereka. Dalam jawaban terhadap pertanyaan yang terakhir dikatakan bahwa lima devatà (Viúvedeva) pernah mengalahkan orang suci yang besar Viúvàmitra ketika dia memperlakukan Hariúcandra dengan kasar, kepada mereka dikutuk oleh orang suci itu untuk lahir lagi sebagai umat manusia, kutukan itu tidak akan berakibat fatal bila mengatakan bahwa mereka akan meninggal muda dan tidak kawin. Lima orang putra Draupadì itu adalah para devatà itu. Dikaitkan dengan legenda menyedihkan tetapi secara murni bersifat  ke-Brahmana-an tentang seorang raja bernama Hariúcandra, yang tidak takut terhadap kemarahan dan kutukan Maharûi Viúvàmitra, mengalami penderitaan dan penghinaan sampai pada akhirnya dia dibimbing masuk surga oleh Sang Hyang  Indra sendiri.

Sesudah uraian tentang jawaban terhadap empat pertanyaan itu, sebuah bab baru mulai (bab 10–44) merupakan percakapan antara seorang ayah dan putranya. Hal ini merupakan suatu pencaharian yang luas dari percakapan ayah dan putra itu,  yang dapat dilihat di dalam kitab Mahàbhàrata. Merupakan salah satau karakteristik di dalam  Mahàbhàrata, seorang putra disebut “cerdas” (Medhàvin), sedangkan di dalam kitab Puràóa ia disebut dengan nama Jada, yang artinya orang yang “bodoh”.
Seperti di dalam Mahàbhàrata, di sini juga seorang putra menyesali cara hidup para Brahmana yang salah, seperti dicita-citakan oleh seorang ayah,  mengingatnya kembali pada semua kelahiran yang dahulu dan melihat penyelamatan hanya dengan jalan menghindarkan diri Saýsàra. Dan “orang yang bodoh” itu menguraikan tentang Saýsàra dan akibat dari berbagai dosa muncul dalam berbagai kelahiran, teristimewa hukuman di neraka yang menantikan kedatangan para pelaku dosa. Di tengah-tengah uraian tentang tentang berbagai neraka, yang bagus dengan caranya sendiri sekalipun jauh dari menyenangkan, kita temukan salah satu dari mutiara-mutiara terbaik dari legenda-legenda Hindu tentang kisah raja Vipaúcit (yang bijak) yang sebenarnya pantas diuraikan di sini secara singkat:

            Raja Vipaúcit yang sungguh-sungguh saleh dan bajik, di masukan ke neraka sesudah kematiannya oleh seorang pembantu dewa Yama. Ketika dia menanyakan dengan keherannya mengapa ia di bawa kesana, pembantu dewa Yama menjawab kepadanya, dia pernah gagal untuk berhubungan dengan istrinya pada suatu hari   yang menguntungkan untuk proses penghamilan, karena pelanggaran kecil terhadap ajaran agama, ia setidak-tidaknya harus menebusnya dengan tinggal sebentar di neraka. Lalu dia mampu memberikan pencerahan kepada seorang raja berkenaan dengan perbuatan-perbuatan yang baik dan buruk (úubhàúubha karma) yang yang berpahala kebaikan atau hukuman di dalam neraka, yang menentukan untuk setiap perbuatan dosa bagi setiap individu. Setelah penjelasan ini  pembantu dewa kematian itu hendak membimbingnya ke luar dari neraka. Sang raja meninggalkanya untuk pergi, kemudian teriakan-teriakan tatapan yang mengerikan sampai ketelinganya dan para penghuni neraka mengganggu dia untuk tetap tinggal kembali untuk waktu yang lebih lebih lama lagi, karena bau yang amat menyenangkan keluar dari tubuhnya, yang meringankan siksaan-siksaan neraka. Terhadap pertanyaanya yang mengherankan itui, pembantu Yama memberikan penjelasan bahwa karma yang baik dari seseorang merupakan hembusan angin yang menyegarkan, berhembus dan mengurangi siksaan-siksaan para penghuni neraka itu, kemudian lalu sang raja berkata :
“Tidak di sorga tidak pula di dunia Brahmà begitu terpikir olehku, adakah manusia (atman) menemukan kebahagiaan semacam itu, bagaimana ketika dia, pada mahluk-mahluk yang disiksa bisa memberikan kesenangan. Jika melalui kehadiranku menjadi lebih lembut atau ringan. Siksaan para mahluk celaka ini, aku akan tinggal di sini sahabatku. Seperti pilar aku tidak pergi dari sini. Pembantu Yama  berkata: “Ayolah kemari wahai raja,   mari kita pergi nikmati buah-buah dari perbuat-perbuatan anda yang baik dan biarkan siksaan-siksaan terhadap mereka yang pantas terima, sebab merupakan pahala dari perbuatan-perbuatan jahatnya” 

Sang  raja berbicara : “Tidak, dari sini aku tak mau pergi, selama penghuni-penghuni neraka yang celaka ini melalui kebersamaanku memperoleh kesejukkan (keberuntungan). Mengerikan dan memalukan adanya kehidupan seorang manusia yang tidak bersipanti dengan yang disiksa dan yang diinjak-injak, yang meminta pertolongan kepadanya bahkan  kepada musuh-musuhnya yangkejam. Korban suci, pemberian (danapuóya) dan pelaksanaan Tapa tidak berguna sekarang maupun sesudah mati.
            Manusia yang tak punya hati nurani untuk melindungi orang-orang yang tersiksa,  yang hatinya tertanam kebencian terhadap anak-anak, orang usia lanjut dan yang lemah. Dia bukan manusia, kupikir dia adalah setan. Bahkan kalau kebersamaan pada penghuni neraka ini, yang menderita siksaan api neraka, yang berbau busuk itu. Dan kepedihan-kepedihan, lapar dan haus merampok aku. Kepadanya memberi pertolongan  kepada yang tersiksa dan perlindungan sebagai hadiah, apabila melalui penderitaanku, orang-orang yang sengsara menjadi berbahagia, apakah yang lebih dari hal itu yang aku inginkan? Jangan ragu-ragu, pergilah dan tinggalkan aku!

            Pembantu Yama berkata :
“Lihat ini, Sang Hyang Dharma datang dan diikuti oleh Sang Hyang Úakra, untuk mengajak  anda, memang anda harus pergi, wahai rRaja, berdirilah pergi dari sini”.
“Biarlah aku temani dikau ke sorga, yang pantas kau terima, naiklah ke dalam kereta kedewaan ini dan segera pergi dari sini!”
            Raja berkata
“Di sini, di neraka ini, Dharma, orang-orang disiksa ribuan kali, lindungilah kami, mereka berteriak menangis memanggil aku dalam kesakitan, aku tak bergerak dari tempat ini”.
            Úakra bersabda:
“Pahala bagi perbuatan mereka orang-orang yang jahat ini diperoleh di dalam neraka, wahai raja, pahala bagi perbuatanmu yang baik, dikau harus pergi ke atas, ke sorga”
            Akan tetapi karena seorang raja, para penghuni neraka bukanlah para pendosa tetapi hanya para penderita dan pada pertanyaaan betapa besar pahala perbuatan baiknya. Dharma sendiri memberikan jawaban bahwa mereka sebanyak ‘seperti tetes-tetes air di laut, bintang-bintang di langit bagaikan butir-butir pasir di sungai Gangga”. Kemudian dia hanya punya keinginan, yaitu melalui perbuatan-perbuatannya yang baik para penghuni neraka boleh dibebaskan dari siksaan di  neraka. Raja para devatà itu mengabulkan keinginannya, dan sementara dia naik ke sorga semua mereka yang tersiksa di dalam neraka dilepaskan dari penderitaan mereka.

Cerita tentang kunjungan Yudhiûþhira ke neraka dan perjalanan ke sorga diuraikan pada buku ke 18 Mahàbhàrata adalah salinan dan barangkali, hanya tiruan yang lemah dan buruk dari ceritra Vipaúcit. Bahkan Yudiûþhira hanya mempunyai satu visi (maya) tentang neraka, adalah satu kelemahan yang esensial. Di dalam Padma Puràóa sebagai hukuman karena telah membunuh seekor sapi, raja Janaka pergi ke neraka untuk memelihara bentuk dan dia lalu meringankan seperti tersebut di atas, roh-roh yang dihukum di sana. 

Raja Janaka pergi ke neraka seperti bentuk biasa, karena dia telah memukul seekor sapi, dan melepaskan roh-roh yang di hukum dengan cara yang serupa,  Sebuah cerita-dongeng Yahudi menceritakan tentang seorang yang tak mementingkan diri sendiri yang menghabiskan seluruh hidupnya dalam memberi pertolongan kaum yang menderita, dan setelah kematiannya menolak pergi ke taman Firdaus (Paradise) sebab tak ada seorangpun di sana yang memerlukan pertolongan; dia lebih suka pergi ke neraka yang merupakan tempat mahluk-mahluk menderita,  bisa merasa simpati dan dia bisa memberi pertolongan. Sumber orisinil dari semua legenda ini barang kali harus ditemukan pula di dalam legenda Buddhis Mahàyana dari Bodhisattva Aralokiteúvara.

            Dalam bahasa dan gaya dialog yang amat bagus ini dalam banyak hal mengingatkan kita kepada syair Sàvitrì dari Mahàbhàrata. Seperti halnya dalam kasus epik besar itu, begitu juga dalam Puràóa saling berdampingan dengan pecahan-pecahan persajakan yang paling indah yang kita temukan produk-produk yang paling tak bermutu dari kesusastraan kepanditaan. Segera sesudah legenda seperti diceritakan di atas, kita temukan legenda Anasùya seperti sebuah karikatur dari legenda-Sàvitrì.

            Anasùya (namanya berarti yang tidak cemburuan) adalah istri yang luar biasa setianya dari seorang Brahmana yang menjijikan, kasar dan berpikiran kotor dan menderita sakit kusta. Mengikuti prinsip Brahmana, “Suami adalah dewa bagi seorang istri”, perempuan itu melayani dia dengan cinta dan perhatian yang sepenuhnya dan menderita perlakuan-perlakuan yang kasar dengan kesabaran. Pada suatu hari lelaki yang baik ini, yang adalah juga seorang yang tidak menghormati wanita, mengabaikan keinginanya yang mendesak untuk mengunjungi seorang pelacur yang disukainya. Karena dia sendiri terlalu sakit untuk pergi, istrinya yang setia menggendong dia dipunggungnya untuk mengantarnya ke tempat pelacur itu. 

Di perjalanan, dengan tidak sengaja dia menendang seorang, yang ternyata orang suci dengan kakinya dan orang suci itu mengutuk dia untuk mati sebelum matahari terbit. Lalu Anasùya berkata : “Matahari tidak akan terbit” sebagai hasil dari ketulusannya, matahari benar-benar tidak terbit, akibatnya para dewa banyak yang kecewa karena mereka tidak memproleh pesembahan. Lalu mereka terpaksa melihat bahwa suami Anusùya yang amat ramah itu tetap hidup.
Sebenarnya,  hal yang disebutkan seperti di dalam Mahàbhàrata, kita temukan di sini juga, dengan tambahan yang secara murni merupakan dialog-dialog  tentang pendidikan, mengenai tugas-tugas rumah-tangga, upacara Úràddha, kelakuan orang dalam kehidupannya sehari-hari,  persembahan yang teratur, perayaan-perayaan dan  berbagai upacara, seperti juga ajaran yoga (bab 36 – 43). Khusus mengenai upacara Úràddha sama persis seperti tersebut di dalam kitab Gautamasmåti.           
Màrkaóðeya Puràóa sebagai sebuah karya yang lengkap, di dalam buku tersebut juga disisipkan Devì Màhàtnya. Ssispan ini rupanya dilakukan belakangan yang merupakan suatu pujian untuk mengagungkan dewi Durgà yang disembah sampai saat ini. Di dalam pura dewi Durgà yang menyeramkan ini, Devì Màhàtmya dibaca setiap hari dan pada waktu perayaan Durgàpùjà di Bengala,  buku ini dibaca dengan kekhususkan dikaitkan sepenuhnya dengan upacara.

Pada bab 81-93, juga terdapat bagian dengan judul Caóði, Caóðimàhàtmya, Durgàmàhàtmya dan Saptaúatì dan terdapat dalam naskah-naskah yang tak terhitung jumlahnya, sebagai karya bebas,  juga ada banyak komentar kepada naskah itu. Naskah Devìmàhàtnya bertahun 998 Masehi, sudah diterjemahkan dalam bahasa Prancis oleh Burnouf  (Journal Asiatique IV, 1824, h. 24 tt) dan selengkapnya ke bahasa Inggris oleh Wortham (JRAS XIII, 1881, h. 3555 tt). Syair karya Bana “Caóðìúataka”, dan drama karya Bhavabhùti “Màlatimàdhava” barangkali mensyaratkan bersumber pada Devìmàhàtmya, merupakan sisipan kedalam Màrkaóðeya Puràóa mestinya sudah ada sebelum abad ke 7 Masehi (Band. Pargite h. XII dan XX).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar