Halaman

Rabu, 30 Mei 2012

Wena dan Prithu - Bhagawata Purana

WENA DAN PÅTHU
Dhruwa memiliki seorang anak yang bernama Utkala yang diangkat menjadi raja setelah Dhruwa menyepi di hutan. Namun Utkala tidak tertarik menjadi raja, ia lebih tertarik untuk mengejar pengetahuan tentang Brahman. Maka kerajaan kemudian diambil alih pada adiknya yaitu Watsara.

Salah satu keturunan dari raja Watsara adalah Wena. Wena meskipun masih sebagai seorang pangeran, namun tindakannya sangat jahat. Sesungguhnya Wenalah yang mengusir ayahnya, Aòga ke hutan.

Ceritanya demikian, Raja Aòga berencana untuk melakukan sebuah upacara Àúwamedha. Aòga kemudian mengutus beberapa orang åûi untuk mengundang para dewa. Namun undangan itu menjadi sia-sia karena para dewa tidak datang ke upacara itu. Hal ini membuat Aòga menjadi heran. “Apakah aku telah melakukan sebuah dosa, hingga para dewa tidak datang pada upacara ini ?” demikian pikirnya. 

Selanjutnya ia diberitahu bahwa para dewa tidak datang karena Aòga tidak mempunyai anak. Dan sekarang adalah suatu keharusan bagi Aòga untuk melakukan upacara khusus untuk mendapatkan seorang anak. Aòga kemudian melakukan seperti yang diberitahukan padanya. Ia melakukan sebuah upacara dan mendapatkan sebuah puding nasi yang harus dimakan oleh istrinya jika ia menginginkan seorang anak. Istri raja Aòga yaitu Sunìthà memakan nasi itu, lalu melahirkan seorang anak. Anak itu dinamai Wena.

Sunìthà memiliki ayah yang bernama Måtyu, dan orang ini adalah orang yang berkarakter jahat. Dan sejak masa kecilnya Wena sangat dekat dengan kakeknya itu hingga ia mewarisi sifat jahat kakeknya. Meskipun masih kecil ia suka membunuh binatang tanpa alasan. Bahkan ia membunuh siapa saja yang bermain dengannya. Demikianlah ulah anak ini mulai tampak tidak bisa ditolerir lagi hingga orang-orang mulai menjauh apabila melihatnya.

Aòga kemudian berusaha mendidik anaknya dengan lebih disiplin, namun hal itu sia-sia saja. Wena telah menjadi sangat keterlaluan. Maka dalam rasa putus asa yang tidak terbendung, Aòga kemudian pergi ke hutan meninggalkan kerajaannya. Selanjutnya tidak ada kabar yang bisa didengar tentang raja Aòga itu.

Sementara itu kerajaan yang ditinggalkannya tidak bisa dibiarkan tanpa adanya seorang raja. Maka Wena kemudian diangkat menjadi raja. Meskipun seluruh rakyatnya sama sekali tidak setuju dengan hal itu. Namun mereka tidak memiliki pilihan lain. Maka setelah menjadi raja, Wena mulai memperlihatkan kekejaman dan kesewenang-wenangan yang tak terkatakan. 

Ia menghentikan semua upacara yajña yang dilakukan oleh para åûi di kerajaannya. Hal ini membuat para åûi menyadari kesalahan mereka karena telah menunjuk orang seperti itu. Mereka mengangkat Wena menjadi raja dengan harapan agar bisa menghentikan anarkhi yang akan mengancam kerajaan karena absennya seorang raja. Namun apa yang terjadi adalah sesuatu yang melebihi anarkhi. Wena telah menjadi tirani bagi rakyatnya. 

Para åûi kemudian menemui Wena untuk berusaha membujuk dan meluruskan kembali jalan yang telah ditempuhnya. Namun Wena tidak mau mendengarkan satu pun petunjuk mereka. Ia tidak mau melakukan Yajña, karena yajña itu diperuntukkan bagi para dewa. Lalu apa gunanya menyembah para dewa, kalau raja Wena sanggup memenuhi permintaan rakyatnya, demikian pikir Wena.

Setelah menyadari bahwa Wena tidak mungkin lagi diberitahu lagi, maka para åûi memutuskan untuk membunuhnya. Ini mereka lakukan dengan kekuatan angkara mereka. Namun yang menjadi masalah adalah setelah kematian Wena, tidak ada yang meneruskan kerajaan, karena Wena tidak mempunyai anak. Lalu siapa yang akan menggantikan kedudukannya ? 

Dalam keadaan absennya seorang raja, maka kerajaan akan mengalami kemunduran. Dalam waktu yang sangat singkat itu, dengan absennya seorang raja, yang tampak di sekeliling kerajaan itu hanyalah pertanda buruk. Para perampok merajalela dan leluasa berbuat jahat karena kerajaan tidak ada yang melindungi.

Mayat Wena telah diawetkan oleh ibunya. Dan para åûi kemudian mengambil mayat itu dan mulai melakukan ritual memijat dengan teknik tertentu. Sebagai hasil dari ritual itu, muncullah sesosok cebol. Mahluk ini bertubuh gelap dengan mata yang merah. Mahluk ini kemudian bertanya, “Apa yang harus hamba lakukan ?”

“Duduk” jawab para åûi. Dan karena kata ‘duduk’ dalam bahasa sanskrit adalah Niûìda, maka mahluk itu kemudian dinamakan Niûada. Maka seluruh generasi mahluk ini tidak diijinkan tinggal di dalam kerajaan. Mereka tinggal di hutan dan menjadi pemburu.

Para åûi kemudian melanjutkan ritual pijatan itu, dengan memijit bagian tangan, dan keluarlah dua orang anak yaitu satu laki dan satu perempuan. Kali ini para åûi merasa puas karena mereka tahu bahwa, Påthu, anak laki-laki itu adalah inkarnasi Wiûóu. Sedangkan Arci, yang perempuan, adalah inkarnasi Lakûmì. Påthu kemudian menikah dengan Arci lalu ia diangkat menjadi raja.

Påthu menjadi seorang raja yang baik. Namun saat itu, di bumi tidak ada benih tanaman yang bisa dimakan sehingga rakyat mulai kelaparan. Mereka kemudian menghadap kepada Påthu dan berkata, “Selamatkanlah kami, bumi telah menelan benih tanaman dan pepohonan yang buahnya bisa dimakan. Mohon lakukanlah sesuatu untuk menyelamatkan kami dari bencana kelaparan ini.”

Påthu kemudian memasang sebuah anak panah di busurnya, lalu pergi untuk menyerang dewi bumi. Namun dewi bumi mulai melarikan diri dan Påthu terus mengikutinya dengan panah siap di tangannya. Hingga akhirnya menyerah pada Påthu dan berkata, “Mohon janganlah hancurkan aku. Lagipula, jika aku hancur, lalu mau tinggal di mana kau dan seluruh rakyatmu ? Aku akan memberikan apapun yang kau inginkan.”

Påthu menyuruhnya mengembalikan semua benih dan tanaman yang telah ditelannya. Dewi bumi kemudian mengambil wujud seekor sapi dan Påthu kemudian memerah susu yang keluar berupa benih dan berbagai jenis tanaman. Setelah peristiwa itulah bumi kemudian disebut Påthiwì.

Kemudian Påthu berencana untuk melakukan seratus Àúwamedha yajña. Dan hal ini membuat Indra merasa tersaingi. Karena raja para dewa ini juga melakukan seratus kali Àúwamedha yajña lalu memperoleh gelar Úatakratu. Sekarang tiba-tiba Påthu ingin melakukan upacara yang sama, dan menurutnya ini akan mengancam kedudukannya. Indra kemudian menjadi iri hati. Dalam upacara ini, kuda adalah sebuah alat yang penting dalam rangka upacara dan tanpa sepengetahuan siapa pun, Indra mencuri kuda persembahan itu.

Dan hal ini diketahui oleh åûi Àtri dan beliau kemudian memberitahukan semua itu pada putra-putra Påthu. Anak-anak itu kemudian mengejar Indra dan mengambil kembali kuda-kuda itu. Namun Indra mencuri lagi dan ditangkap. Demikianlah berulang-ulang. Dan hal ini membuat Påthu menjadi marah atas perbuatan Indra dan memutuskan untuk membunuh raja para dewa itu. Akan tetapi Brahmà meyakinkan bahwa membunuh Indra bukanlah hal yang bijak. 

Karena Indra adalah raja para dewa. Påthu telah melakukan sembilan puluh sembilan Àúwamedha yajña dan yang harus diperhatikan bahwa apakah memilih sukses atau tidaknya upacara yang keseratus itu. Karena kalau sukses maka sejarah akan mencatat bahwa Påthu jauh lebih hebat daripada Indra. Påthu mendengarkan dengan penuh perhatian dan menuruti nasehat Brahmà dan berteman dengan Indra.

Påthu didampingi oleh empat Brahmà åûi yang menjadi penasehatnya. Ia pun memerintah mengikuti petunjuk mereka. Dan setelah bertahun-tahun akhirnya ia menyerahkan kerajaan pada keturunannya dan ia sendiri pergi ke hutan untuk melakukan tapasya. Dan ketika wafat ia dijemput menuju Wiûóuloka atau Waikuóþha. Sedangkan Arci, istrinya ikut menemani kematian suaminya dengan membakar diri di api suci juga dijemput ke Wiûóuloka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar