Halaman

Rabu, 30 Mei 2012

Bharata - Bhagawata Purana

BHARATA
Bhàrata memiliki permaisuri yang bernama Pañcajanì. Bharata memerintah dengan adil dan bijaksana. Ia melakukan berbagai upacara yajña. Setelah memerintah cukup lama, maka ia menyerahkan kerajaan pada putra-putranya lalu pergi untuk menjadi seorang pertapa. Ia tinggal sendirian di sebuah àúrama di pinggir sungai Gaóðakì dan berdoa kepada dewa Wiûóu untuk mendapatkan pencerahan.


Suatu hari seekor kijang datang untuk meminum air sungai. Ketika kijang itu sedang minum air. Seekor singa tiba-tiba meraung dan membuat kijang itu sangat terkejut, Kijang itu kemudian melompat ke sungai dan kebetulan saat itu juga melahirkan. Dan anaknya dibawa arus sungai. Dan induk kijang itu berhasil menyelamatkan diri ke pinggir sungai namun akhirnya tewas karena kehabisan nafas.

Bharata melihat semua kejadian itu. Ia kemudian melompat ke dalam air dan menyelamatkan anak kijang itu. Ia membawanya pulang ke pertapaannya dan membesarkan anak kijang itu. Makin lama, Bharata mulai tertarik dan terikat padanya. Begitu terikat hingga ia melupakan semua tentang meditasinya. Sebentar saja ia tidak melihat kijang itu maka hatinya menjadi tidak tenang karena khawatir kalau-kalau kijang itu bertemu dengan srigala atau binatang buas lainnya. Bahkan hingga saat menghembuskan nafas terakhirnya pun, ia masih memikirkan kijang kesayangannya.

Karena ia memikirkan kijang di saat terakhirnya, maka dalam inkarnasi selanjutnya Bharata menjadi seekor kijang. Namun ia lahir menjadi kijang Jàtismara yaitu binatang yang sanggup mengingat semua masa lalunya. Maka ia pun menyadari telah melenceng dari jalan yoga yang telah ditempuhnya karena kesalahannya sendiri. Oleh karena itulah ia kemudian kembali ke àúramanya yang lampau dan tinggal di sana. Ketika kijang itu mati, ia kembali lahir menjadi anak seorang Bràhmaóa.

Sebagai seorang Bràhmaóa, Bharata tetap menjadi seorang Jàtismara. Ia menyadari bahwa hubungan dengan sesama manusia sekali pun, rentan menimbulkan keterikatan dan tidak mau terikat dengan hal seperti itu. Maka ia pun berpura-pura menjadi gila, bodoh, dungu dan bisu agar tak seorang pun mau berteman dengannya. Ketika orang tuanya meninggal, saudara-saudaranya yang lain mulai memperlakukannya dengan tidak layak.

Mereka memberikan makanan yang busuk, namun Bharata tidak mampu berbuat banyak dan tidak memperdulikan hal itu. Karena ia makan untuk hidup bukan makan untuk memenuhi nafsu indranya. Ia tetap tampak sehat meskipun makan seadanya dan tidur di tanah. Hanya sehelai kain yang menutupi tubuhnya dan ia tidak pernah mandi. Sehingga orang-orang mulai menganggapnya sebagai orang buangan.

Tersebutlah seorang pemimpin kasta Úùdra, yang ingin melakukan kurban manusia pada dewi Kàlì. Ia telah menangkap seseorang untuk dijadikan kurban namun orang itu berhasil melarikan diri di tengah malam. Sehingga orang ini harus mencari manusia kurban yang lain dan saat itu ia melihat Bharata sedang duduk di tengah ladang. Mereka kemudian menangkapnya dan membawa Bharata kepada pemimpin mereka. 

Bharata kemudian diberi makan, mandi dan pakaian yang baru. Pendeta para úùdra itu kemudian mengangkat pedangnya untuk membunuh Bharata untuk dijadikan persembahan pada sang dewi. Namun dewi Kàlì tidak mau membiarkan semua itu terjadi dan beliau lalu keluar dari patungnya dan menyuruh para pengawalnya untuk membunuh semua úùdra itu. Bharata telah diselamatkan lalu ia kembali ke ladang tempatnya.
Suatu hari raja Rahùgaóa sedang lewat. Beliau memerintah di kerajaan Sindhù dan Soubira. Beliau menaiki sebuah tandu dan tandu itu memerlukan orang tambahan untuk membawa tandu itu. Pelayan sang raja menemukan Bharata dan membawanya menghadap sang raja. Bharata tampak bertubuh kuat dan sehat. Oleh karena itulah ia dipilih untuk membawa tandu itu bersama pelayan yang lainnya.
Namun Bharata tidak sanggup mengimbangi para pembawa tandu yang lainnya. Ia melangkah sangat lambat agar tidak menginjak binatang kecil seperti serangga tanah dan sebagainya. Maka ini mengakibatkan tandu itu tidak bisa berjalan cepat. Dan hal ini membuat sang raja kesal dan beliau memarahi para pembawa tandu itu yang kemudian menyalahkan Bharata karena kelambatannya. Raja Rahùgaóa berteriak kepada Bharata.
“Apakah kau lelah ?” tanyanya. “Sudah berapa mil kau berjalan membawa tandu ini ? Kau tampak kuat tapi mengapa jalanmu sangat lambat ?”
Bharata hanya tersenyum. “Hamba tidak sedang lelah” jawabnya. “Tidak juga hamba telah berjalan jauh. Hamba tidak lelah ataupun kuat. Hamba adalah Àtman. Bagaimana mungkin Àtman bisa menjadi lemah, lelah ataupun kuat. Àtman adalah maha meliputi lalu bagaimana bisa bergerak?”
Sang raja amat kagum oleh kata-kata bijaksana yang dikeluarkan olehnya. Beliau akhirnya berlutut pada Bharata untuk memohon maaf. Beliau kemudian ingin mempelajari tentang kebijaksanaan dari Bharata. Bharata kemudian mengajarkan tentang àtman, brahman dan hubungan keduanya. Ia mengatakan bahwa tubuh hanyalah bersifat sementara. Àtmanlah yang sebenarnya abadi. 

Hidup ini seperti sebuah hutan yang amat luas di mana di dalamnya terdapat bahaya ilusi dan keterikatan duniawi. Hanya mereka yang memiliki pengetahuan itulah yang akan selalu berhati-hati dalam melangkah menghindari lubang-lubang perangkap. Demikianlah raja Rahùgaóa mempelajari pengetahuan sejati dari Bharata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar