Halaman

Selasa, 29 Mei 2012

Siwa dan Daksa - Bhagawata Purana


ÚIWA DAN DAKÛA
Bertahun tahun yang lampau, tersebutlah sebuah yajña dilakukan dengan dihadiri oleh para dewa, åûi, pertapa dan semua mahluk ilahi. Semua tamu telah datang dan duduk ketika tiba-tiba Dakûa datang. 


Upacara ini dilakukan oleh Dakûa. Dan untuk menghormati Dakûa, semua hadirin berdiri, terkecuali Brahmà dan Úiwa. Brahmà memang tidak perlu terlalu formal dengan Dakûa, karena bagaimanapun juga, Brahmà adalah ayahnya. Namun Dakûa merasa sangat terhina oleh tindakan Úiwa yang mengabaikannya. Dan selain itu Úiwa adalah menantunya. Hingga seharusnya Úiwa menghormatinya.

“Para hadirin sekalian, dengarlah apa yang aku katakan ini. Úiwa ini tidak memiliki rasa malu sedikit pun, ia tidak tahu bagaimana menghormati orang yang lebih tua darinya. Ia adalah menantuku, karena menikah dengan putriku. Apakah tidak pantaskah ia berdiri dan memperlihatkan sedikit rasa hormatnya kepadaku ? Memang ini adalah kebodohanku karena harus menikahkan putriku dengan orang yang tidak tahu diri ini. Teman-temannya adalah para hantu, dan mahluk halus. Ia sering mendatangi tempat-tempat yang mengerikan seperti pekuburan, seperti orang gila saja tampaknya. Tubuhnya dilumuri dengan abu dari pembakaran mayat mereka yang telah mati. Ia juga memakai kalung tengkorak manusia dan kerjanya hanya minum dan minum.”

Úiwa terus mengabaikan Dakûa dan tidak terpengaruh oleh kata-kata Dakûa. Ini membuat habis kesabaran Dakûa, hingga ia kemudian mengutuk Úiwa, agar sejak saat itu. Úiwa tidak akan pernah mendapatkan persembahan dari setiap yajña yang dilakukan untuk para dewa, Dakûa kemudian meninggalkan tempat itu dengan kesal hati.
Úiwa memiliki seorang pengawal yang bernama Nandi. Nandi menjadi sangat marah karena Úiwa telah dikutuk, sementara para åûi dan dewa yang lain hanya diam tanpa mencegah semua itu. Nandi kemudian mengutuk para åûi dan bràhmaóa agar mereka lahir berulang-ulang ke bumi. Mereka harus bekerja untuk mendapatkan makanan dan ini membuat mereka kehilangan rambu-rambu untuk mendapatkan pengetahuan yang sejati dan menjadi kecanduan dalam mengejar kenikmatan duniawi.

Saat itu åûi Bhågu menjadi marah mendapat kutukan seperti itu. Maka beliau kemudian mengutuk semua pengikut Úiwa bahwa mereka akan selalu kecanduan minuman alkohol dan melumuri tubuhnya dengan abu kremasi. Mereka akan memakai kalung tengkorak, dan rambut mereka akan selalu dijalin seperti Úiwa.

Úiwa hanya diam menghadapi semua keadaan itu. Namun di tengah suasana saling kutuk itu, Úiwa kemudian mengumpulkan semua pengikutnya untuk meninggalkan tempat itu.

Maka setelah itu, selama seribu tahun setiap upacara dilakukan tanpa kehadiran Úiwa. Waktu berlalu, Dakûa kemudian mengadakan sebuah Yajña bernama Wajapeya tanpa mengundang Úiwa dan anak buahnya. Namun yajña itu berhasil dilakukan tanpa halangan apapun dan ini membuat Dakûa menjadi besar kepala. Kemudian Dakûa melakukan upacara kurban yang lebih besar lagi. Yajña ini disebut Båhaspatistawa. Ia mengundang semua dewa dan åûi, namun tidak mengundang Úiwa bersama pengikutnya. Upacara itu berjalan dengan sukses besar sehingga di mana-mana orang membicarakannya. Beberapa orang yang ikut di dalam upacara itu tampak sedang membicarakannya sambil melintas di langit. Satì, kebetulan mendengar percakapan mereka. Dia juga melihat banyak gandharwa wanita yang menghadiri yajña itu dengan mengendarai Wimàna mereka. Hal ini membuat Satì ingin tahu dan dia juga ingin pergi ke tempat upacara kurban yang dilakukan oleh ayahnya.

Dia kemudian pergi kepada Úiwa dan berkata, “Ayah mertuamu, Dakûa akan melakukan sebuah upacara yajña yang amat besar. Mari kita pergi ke sana, lihatlah semua dewa juga pergi ke sana. Aku ingin bertemu dengan saudara-saudaraku, karena sudah lama aku tidak melihat mereka, aku juga rindu pada ibuku. Ini adalah kesempatan untuk beramah tamah dengan keluarga. Mari kita pergi, atau setidaknya aku sendiri yang harus ke sana. Aku tahu kita memang tidak mendapatkan undangan. Tapi perlukah undangan untuk pergi ke rumah suami, saudara atau ayahnya sendiri ?”

Namun Úiwa mengingatkan Satì tentang apa yang telah dikatakan oleh Dakûa tempo hari, dan ia kemudian meminta Satì untuk membatalkan niatnya. Karena dia tidak akan disambut dengan baik oleh ayahnya. Meskipun dia adalah putrinya sendiri, namun di sisi lain, Satì juga adalah istri Úiwa, musuhnya. Namun, meskipun telah diperingatkan untuk tidak pergi, Satì tetap keras kepala. Maka Úiwa kemudian mengutus beberapa pengawalnya yang dipimpin oleh Nandi.

Satì akhirnya datang ke tempat upacara ayahnya dan melihat bahwa upacara itu telah dimulai. Para dewa dan åûi telah datang dan ayat-ayat suci Weda sedang dibacakan. Akan tetapi selain ibu dan beberapa saudaranya, tidak seorang pun berani menyambut kedatangannya. Sedangkan ayahnya sama sekali tidak menghiraukannya. Dia juga melihat bahwa dalam upacara itu tidak ada sesajen yang dipersembahkan untuk Úiwa. Pendek kata Úiwa sama sekali diabaikan di dalam upacara itu.

Satì kemudian memberitahukan ayahnya. “Aku tidak mengharapkan ayah sampai berbuat serendah ini. Siapa lagi kecuali ayah yang telah menghina Úiwa seperti ini ? Adalah kewajiban seorang Patiwrata (seorang wanita yang setia kepada suaminya) untuk memprotes jika suaminya dihina. Ayah telah menghina suamiku. Memang aku berhutang hidup darimu, karena kebetulan anda telah menjadi ayahku. Namun aku tidak ingin lagi menggunakan tubuh yang terkontaminasi oleh sifat jahat ayah.”

Setelah berkata begitu, Satì duduk di lantai. Dia mengatur nafasnya dan membawa nafas itu dengan di pusatkan di dahinya. Di sana dia memikirkan Úiwa lalu menghembuskan nafas terakhirnya. Dan saat itulah tiba-tiba muncul api yang membakar tubuhnya. Para hadirin yang melihat hal itu menjadi amat takjub.

Beberapa pengawal Úiwa yang mengawal Satì segera menyerang Dakûa dan para hadirin yang lain. Namun di antara para hadirin itu seorang åûi yang sakti bernama åûi Bhågu. Dengan kekuatan tapanya beliau menciptakan ribuan pasukan dewa (bergelar para Åbhu) dari api yajña. Maka segera saja para Åbhu itu membuat beberapa pengawal Úiwa mundur teratur. Mereka lari dan memberitahu tentang semua kejadian tadi.

Mendengar hal itu, Úiwa menjadi amat marah. Beliau kemudian mencabut sehelai rambutnya dan melemparkan benda itu ke tanah dengan diiringi tertawa yang amat keras. Dan dari suara tawa itu terciptalah sesosok mahluk yang sangat menakutkan yang bernama Wìrabhadra. Wìrabhadra mempunyai ukuran tubuh yang sangat besar hingga kepalanya menyentuh langit. Kulitnya sangat hitam dan ia memiliki ribuan tangan dan tiga mata. Sebuah kalung tengkorak melilit di lehernya dan di tangannya ia membawa ribuan senjata.

Wìrabhadra kemudian berdiri di hadapan Úiwa, dengan penuh hormat dan berkata, “Apa yang harus hamba lakukan?”

Úiwa berkata “Aku telah melahirkanmu dengan kekuatan yang tak terkalahkan. Pergi dan hancurkanlah Dakûa dan yajña yang dilakukannya.”

Wìrabhadra kemudian mengambil sebuah Triúula sakti yang menjadi senjata utamanya lalu bergegas ke tempat upacara itu dilakukan. Ia ditemani oleh beberapa pasukan dan pengawal Úiwa. Beberapa ada yang menghancurkan istana Dakûa sementara yang lain menghancurkan tempat upacara itu dilakukan. Api yajña dipadamkan dan beberapa raksasa menyerang para åûi dan para dewa diserang oleh beberapa yang lainnya. Salah satu dari pengawal Úiwa bernama Maóimana. Ia menangkap sang åûi Bhågu lalu mengikat beliau. Sementara para dewa yang tidak sempat melarikan diri, juga diikat. Wìrabhadra sendiri memenjarakan Dakûa. Ia kemudian mencabuti jenggot Bhågu. Lalu ia berusaha memotong kepala Dakûa namun ia tidak bisa melakukan hal itu, karena kehebatan Dakûa. Maka ia kemudian menyeret tubuh Dakûa ke tiang gantungan, lalu menaruh kepalanya di tiang pancungan lalu memotong kepala Dakûa dengan pedangnya. Kepala yang terpenggal itu kemudian jatuh ke dalam api dan terbakar menjadi abu. Setelah menyelesaikan tugasnya, Wìrabhadra, kembali ke Kahyangan Úiwa di gunung Kailàsa.

Para dewa melarikan diri, dalam keadaan putus asa datang kepada Brahmà kemudian meminta nasehat beliau. Namun Brahmà memberikan reaksi bahwa itu adalah konsekwensi dari tindakan mereka. Mereka tidak seharusnya menghina Úiwa ataupun bergabung dengan orang yang melakukan perbuatan itu. Dewa Úiwa berhak atas berbagai persembahan sebagaimana para dewa yang lain. Oleh karena itu Brahmà meminta para dewa agar memohon kepada Úiwa. Namun tidak satu pun sanggup menenangkan Úiwa.

Para dewa kemudian pergi ke gunung Kailàsa dan mulai memohon pada dewa Úiwa. Mereka juga meminta agar Dakûa dihidupkan kembali dan jenggot åûi Bhågu dikembalikan seperti sedia kala, kemudian para dewa yang terluka agar bisa disembuhkan kembali. Namun selanjutnya Úiwa berhasil ditenangkan, hingga beliau tidak menolak untuk memberikan anugrah itu. Namun yang menjadi masalah adalah Dakûa. Kepalanya yang dipenggal telah jatuh ke dalam kobaran api hingga menjadi abu, maka Úiwa kemudian mengusulkan untuk mengganti kepala Dakûa dengan kepala seekor kambing. Para dewa dan åûi kemudian mengajak Úiwa pergi ke tempat upacara itu. Beliau kemudian menancapkan kepala kambing itu di tubuh Dakûa dan ia pun dihidupkan kembali. Dakûa kemudian memohon maaf kepada Úiwa. 

Yajña itu kemudian diulang kembali dan saat itu, Wiûóu sendiri yang menjadi pendeta pemimpin upacara. Sedangkan mengenai Satì, dia kemudian lahir kembali menjadi putri dari Himàlaya dan Menakà yang bernama Pàrwatì yang selanjutnya bersatu kembali dengan Úiwa. Namun kisah ini terjadi beberapa waktu kemudian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar