Halaman

Selasa, 01 Mei 2012

Bhavisya Purana Versi Lain

BHAVIÛYA PURÀÓA

PROLOG
Diceritakan åûi Vedavyàsa memiliki seorang murid yang bernama Úatànìka. Para åûi mendatangi Úatànìka dan berkata, “Kami sangat ingin mempelajari tentang berbagai jenis tata susila. Anda adalah siswa seorang Åûi agung seperti Vedavyàsa dan anda tentu telah mempelajari berbagai kebijaksanaan dari beliau. Mohon ceritakanlah kepada kami tentang pengetahuan suci tersebut”
“Memang benar aku telah banyak belajar dari åûi Vedavyàsa, “jawab Úatànìka.”Akan tetapi apa yang ingin kalian pelajari masih terlalu umum maka ijinkanlah saya untuk bertanya pada åûi agung tersebut terlebih dahulu tentang apa yang harus saya beritahukan pada kalian.”
Åûi Úatànìka kemudian pergi menemui Vedavyàsa, gurunya.
“Aku telah mengajarkan semua itu pada muridku yang bernama Sumantu “Kata åûi Vedavyàsa kepada Úatànìka “mengapa kau tidak langsung saja menemui Sumantu? Karena dia akan sanggup memberitahukan semua yang ingin kalian pelajari itu”
(Sebenarnya Vedavyàsa memiliki enam murid utama yaitu Åûi Sumantu, Jaimini, Paila, Vaiúampàyana, Úukadeva dan Lomaharûaóa).
Ketika Úatànìka pergi menemui Sumantu maka terjadilah diskusi panjang antara keduanya, dimana dari hasil diskusi ini lahirlah kitab Bhaviûya Puràóa.


BRAHMA
“Brahmà” kata Sumantu, “menciptakan, melindungi dan menghancurkan seluruh semesta. Tidak ada dewa yang seperti Brahmà, tidak ada guru pembimbing yang seperti beliau. Pemahaman beliau terjewantahkan dalam seluruh veda. Beliau adalah dewa kebijaksanaan. Permaisuri beliau yaitu dewi Sarasvatì adalah dewi kebijaksanaan.
(Sebagai salah satu dari kitab yang termasuk golongan Ràjasika Puràóa, maka Bhaviûya Puràóa ini tentu saja mengagungkan Brahmà. Seperti kita ketahui ada tiga kualitas dasar, dimana dua diantaranya adalah Sattvam yang mewakili sifat kebaikan, dan Tamas yang mewakili sifat buruk. Sedangkan sifat ràjasika adalah yang menengahi kedua sifat tadi. Ràjasika mewakili sifat kenafsuan dan pemuasan kenikmatan. Dalam sifat ini, pengaruh nafsu dan kenikmatan adalah yang paling mendominasi dan kadang-kadang dipengaruhi oleh sifat sattvam atau tamas. Sifat-sifat inilah yang diasosiasikan dengan Brahmà dan penciptaan itu sendiri. Dari sudut pandang inilah Bhaviûya Puràóa kemudian dikatagorikan sebagai Ràjasika Puràóa atau ‘Brahmà’ Puràóa.
Orang-orang terpelajar hendaknya mengabdikan diri kepada atau memuja Brahmà. Dan hanya mereka yang telah memahami semua Veda yang berhak memasang sebuah patung atau mendirikan sebuah kuil untuk beliau. Orang yang mendirikan sebuah kuil untuk brahma akan masuk surga dan menikmati kebahagiaan disana. Jika seseorang member-sihkan kuil Brahmà maka semua keinginannya akan terpenuhi. Ini juga berlaku pada orang yang meskipun menyimpan maksud-maksud jahat.
Pada masa sebelum penciptaan alam semesta, dimana-mana yang ada hanyalah air dan kegelapan memenuhi semua tempat. Dalam situasi inilah brahma kemudian menciptakan dirinya melalui kekuatannya saktinya. Karena beliau lahir (bhù) dari dirinya sendiri (svayam) maka beliau juga bergelar Svayambhù.
Brahmà lah yang telah menciptakan seluruh penghuni alam semesta ini. Dan dengan kekuatan bathinnya beliau menciptakan tujuh åûi agung yaitu Marìci, Atri, Aògira, Pulastya, Pulaha, Kratu, Vasiûþha, Bhågu dan Nàrada. (Dalam Puràóa lain sering disebutkan bahwa Brahmà lahir dari teratai yang menjulur dari pusar Nàràyaóa. Pada sumber lain juga ada yang menyatakan bahwa kelahiran Brahmà berhubungan dengan terciptanya telur mahabesar (Brahmàóða) namun tidak satupun alasan ini terdapat dalam Bhaviûya Puràóa)


GAÓEÚA
Pada jaman dahulu, setiap usaha atau pekerjaan yang dilakukan oleh manusia selalu membawa hasil yang sukses. Hampir tidak diperlukan bantuan dari kekuatan ilahi. Orang-orang dapat melakukan apa saja yang ingin mereka lakukan tanpa menghadapi kesulitan. Atau meskipun ada kesulitan namun semua akan dengan mudah bisa diatasinya.
Maka mulailah manusia menjadi besar kepala dan merasa dirinya mengatasi segalanya. Mereka menjadi terlalu bangga, angkuh dan tidak menghormati.
Mengetahui hal ini, Brahmà mulai berpikir, “Aku harus melakukan sesuatu terhadap hal ini. Aku harus menurunkan kesombongan manusia. Aku akan menciptakan seorang dewa yang bernama Gaóeúa. Manusia harus memujanya jika mereka menginginkan keberhasilan dalam usahanya.”
Maka Brahmà kemudian menciptakan Gaóeúa.
Setelah itu manusia, laki ataupun perempuan tidak bisa lagi mengatasi kesulitan yang mereka hadapi sendirian. Sekarang mereka memerlukan bantuan Gaóeúa. Mereka harus senantiasa harus berusaha untuk membuat dewa ini berkenan pada mereka. Dan sebelum melakukan setiap kegiatan atau pekerjaan, maka mereka harus memuja Gaóeúa terlebih dahulu. Gaóeúa menjadi dewa pertama yang harus dipuja sebelum melakukan setiap usaha atau tugas. Maka Gaóeúa kemudian bergelar ‘Vighnahara’ yang berarti penghancur segala halangan dan ‘Siddhidata’ yang berarti yang menganugrahi kesuksesan.
Diyakini bahwa Gaóeúa akan memberikan kekuatan tertentu pada mereka yang menjadi pemujanya. Untuk memuja Gaóeúa maka seseorang hendaknya menyucikan diri dengan melakukan permandian suci dan mempersembahkan sesajen berupa buah-buahan dan bunga pada beliau. Dengan memberikan sumbangan pada mereka yang membutuhkan atau orang suci juga merupakan bagian dari persmbahan pada Gaóeúa.
Akan tetapi jika Gaóeúa tidak berkenan maka orang itu akan bermimpi mandi minyak atau sedih tanpa alasan. Beliau juga tidak akan berkenan jika para pemimpin tidak memimpin dengan baik dan jika seorang guru tidak mengajar dengan baik atau siswa yang tidak belajar dengan baik. Jika Gaóeúa tida berkenan maka pertanian, perdagangan tidak akan berkembang dalam daerah itu.
(Purana-Puràóa lainnya menyatakan bahwa Gaóeúa adalah putra dari Úiva dan permaisuri beliau yaitu Pàrvatì. Dalam hal ini Bhaviûya Puràóa memang cukup aneh dengan pernyataan bahwa Gaóeúa tercipta oleh Brahmà.)


SÙRYA DAN SAÝJÑA
Dewa yang paling penting yang disebutkan dalam Bhaviûya Puràóa adalah dewa matahari atau Sùrya.
Untuk memastikan bahwa proses penciptaannya akan berlanjut maka Brahmà kemudian membagi tubuhnya menjadi dua bagian. Bagian yang berwujud laki-laki bernama Svàyambhuva manu sedangkan yang berwujud wanita bernama Úatarùpà.
Dengan kekuatan bathinnya, Manu kemudian melahirkan sepuluh orang putra. Karena kesepuluh anak ini menjadi penguasa (pati) dari semua benda atau hal (prajà) maka mereka dikenal bergelar para Prajàpati. Dan salah satu dari para prajàpati ini adalah yang bernama Dakûa.
(Dalam Mahàbhàrata dan Bhàgavata Puràóa, Dakûa dinyatakan sebagai putra dari dewa Brahmà).
Dakûa memiliki seorang putri yang bernama Aditi. Åûi Kaúyapa adalah putra dewa Brahmà dan menikah dengan Aditi. Dari persatuan ini lahirlah sebuah telur yang maha besar. Selama berhari-hari tidak terjadi perubahan apa-apa pada telur itu hingga telur itu dianggap telah mati. Akan tetapi åûi Kaúyapa mengetahui bahwa telur itu belum mati dan berseru,” Telur (aóða) itu tidak mati (amåta)”
Ketika dewa Matahari bangkit dari telur itu, maka beliau kemudian dinamakan Màrtàóða, dari kata måta dan aóða yaitu dua kata yang digunakan oleh ayahnya untuk menyatakan bahwa telur itu tidak mati. Màrtàóða juga kemudian dikenal bernama Sùrya.
Viúvakarma adalah arsiteknya para dewa dan memiliki seorang putri yang bernama Saýjña. Saýjña kemudian dinikahkan dengan Sùrya. Dari pernikahan mereka ini lahirlah Yama dan Yamunà. (Dalam sumber lain dinyatakan bahwa Sùrya dan Saýjña memiliki putra yang lain yang bernama Manu. Ini adalah Sàvarói Manu yang kemudian disalah artikan sebagai Svayambhù Manu)
Akan tetapi sinar dewa Sùrya yang begitu panas membuat Saýjña tidak tahan lagi bersama suaminya. Ia kemudian menciptakan seorang wanita yang bernama Chàyà (bayangan) atau Nikûubhà dari tubuhnya sendiri. Chàyà nampak sangat persis seperti Saýjña hingga sulit untuk membedakan mereka berdua.
“Aku tidak sanggup lagi menahan panas sinar suamiku” kata Saýjña pada Chàyà. Tinggallah disini dan berpura-puralah menjadi aku. Rawatlah anak-anakku, dan ingatlah, jangan sekali-kali membuka rahasiamu”
“Aku akan melakukan seperti apa yang kau inginkan selama tidak ada yang mengutuk aku. Namun jika ada yang mengutukku maka aku terpaksa harus membuka rahasia bahwa aku bukanlah Saýjña”
Saýjña menyetujui persyaratan itu dan kemudian meninggalkan tempat itu. Selama beberapa waktu ia tinggal bersama ayahnya, Viúvakarma. Akan tetapi ia tidak mengatakan bahwa sebenarnya ia telah meninggalkan suaminya. Maka Viúvakarma mengira bahwa Saýjña datang untuk menjenguknya. Akan tetapi ketika berhari-hari telah berlalu dan Saýjña sama sekali tidak menampakkan keinginan untuk kembali pada suaminya. Maka kecurigaan ayahnya mulai timbul, dan untuk menghindari kecurigaan ayahnya maka Saýjña meninggalkan rumah ayahnya. Ia mengambil wujud seekor kuda betina dan mulai tinggal di sebuah kerajaan yang terkenal bernama Uttarakuru.
(Matsya Puràóa menyatakan bahwa Saýjña tinggal dikerajaan yang bernama Maru (gurun pasir), dan bukan di Uttarakuru.)
Karena tidak mengetahui kebenaran yang sesungguh-nya, maka Sùrya memperlakukan Chàyà sebagai Saýjña. Yang berarti beliau menerima ilusi sebagai kenyataan. Dari Chàyà lahirlah tiga anak yaitu Úrutaúrava, Úrutakarma dan Tapatì. Úrutaúrava dikenal bernama Sàvarói manu dan Úrutakarma menjadi planet (graha) Úani atau Saturnus.
(Pada bagian ini, Bhaviûya Puràóa agak membi-ngungkan dimana setelah sebelumnya menyebutkan bahwa Sàvarói Manu adalah putra dari Sùrya dan Saýjña. Sebenarnya inilah yang juga dikatakan dalam Puràóa-Puràóa lainnya. Sàvarói manu tidak pernah dinyatakan sebagai putra dari Chàyà dan Sùrya. Namun untuk membenarkan pernyataannya Bhaviûya Puràóa, memberikan penjelasan yang tampak agak nyata sebagai kebenaran dimana nama Sàvarói diberikan pada putranya adalah karena ayah dan ibunya memiliki warna kulit (sa- sama dan varóa- warna) yang sama.
Kita kembali pada cerita tadi. Perlakukan Chàyà pada anak-anak Saýjña adalah sebagaimana perlakukan seorang ibu tiri. Ia bersikap berat sebelah pada anak-anak Saýjña.
Pada suatu hari Tapatì dan Yamunà bertengkar.
“Aku kutuk kau menjadi sebuah sungai” kata Tapatì.
“Aku juga mengutukmu menjadi sebuah sungai” balas Yamunà.
(Màrkaóðeya Puràóa menyatakan cerita yang agak berbeda tentang hal ini. Bahwa Saýjña tidak sanggup menahan panas sinar dewa Sùrya kemudian menutup matanya. Ini kemudian membuat Sùrya marah besar dan mengutuk bahwa putra Saýjña yang bernama Yama akan menjadi dewa kematian. Setelah mendapat kutukan itu maka Saýjña tidak lagi menutup matanya dan terus mengedipkan matanya. Dan karena hal ini maka Sùrya mengutuknya bahwa anaknya yang bernama Yamunà akan menjadi sebuah sungai)
Ketika Tapatì menjadi sebuah sungai, Chàyà me-numpahkan kemarahannya pada Yama karena kebetulan Yama adalah kakak dari Yamunà. Yama merasa tidak terima atas perlakukan ibunya pada dirinya dan adiknya. Dan ini membuatnya terpaksa mengangkat kaki hendak menendang ibunya.
Chàyà kemudian mengutuk Yama. “Segera setelah kau menginjakkan kakimu ke tanah maka serangga akan memakannya, hingga kakimu tinggal tulangnya saja.” kata Chàyà.
Pada saat itu kebetulan Sùrya sedang lewat di tempat kejadian, dan Yama mengadu pada ayahnya bahwa Chàyà berlaku tidak adil pada dirinya.
“Mungkin aku melakukan kesalahan atau dosa dengan berusaha untuk menendang ibuku” kata Yama, “tapi layakkah seorang mengutuk anaknya sendiri? Aku khawatir kalau-kalau dia bukanlah ibu kami. Mohon lakukanlah sesuatu atas kutukan yang baru saja dilemparkan padaku”
“Aku khawatir kalau aku tidak sanggup membatalkan kutukan itu sama sekali” jawab Sùrya “Biarkan saja serangga itu mengisap darah dan memakan daging kakimu agar kutukan ibumu bisa menjadi kenyataan. Tapi aku mem-berkatimu bahwa tidak akan terjadi apa-apa pada kakimu jika serangga-serangga itu telah menghabiskan semua daging di kakimu. Aku berkati engkau bahwa kakimu tidak akan apa-apa. Sedangkan putriku Tapatì dan Yamunà, aku memberkati mereka bahwa mereka akan menjadi sungai yang suci dan membersihkan dosa-dosa umat manusia. Yamunà akan menjadi sungai suci seperti sungai Gaògà dan Tapatì akan menjadi sesuci sungai Narmadà.”
Selanjutnya Sùrya kemudian menanyai Chàyà tentang kebenaran dari apa yang telah dilakukannya. Bagaimana pun juga seorang ibu tidak boleh membeda-bedakan perlakukan terhadap anaknya. Dan karena dia telah melakukannya maka Sùrya mengancam akan mengutuknya. Akan tetapi ketika Sùrya hendak mengutuknya, Chàyà mulai mengatakan yang sebenarnya dan melanggar janjinya pada Saýjña. Ia mengatakan pada Sùrya bahwa dia bukanlah Saýjña namun Chàyà atau ilusi Saýjña, bahwa Saýjña telah pergi.
Maka Sùrya kemudian pergi kepada ayah mertuanya, Viúvakarma untuk mencari Saýjña. Sedangkan Viúvakarma melalui kekuatan batinnya mengetahui apa yang telah terjadi. Maka ia memberitahukan Sùrya bahwa Saýjña meninggalkannya karena sinarnya yang terlalu panas dan Saýjña tidak sanggup menahannya.
“Ijinkan saya mengurangi panas sinar anda dan membuatnya menjadi lebih lembut. Ijinkan saya memutar tubuh anda pada alat pemotong ini agar saya bisa memotong kelebihan energi yang ada pada tubuh anda. Dengan demikian anda akan dengan mudah bisa diterima oleh Saýjña”
Sùrya setuju untuk melakukan usul itu. Tubuhnya kemudian dilumuri pasta sandal merah dan bunga agar menjadi sedikit lembut, lalu ia diputar pada sebuah alat pemotong energi. Kelebihan energi Sùrya kini telah dipotong sedemikian rupa sehingga Sùrya tampak sangat tampan. Peristiwa ini terjadi di tanah Úakadvìpa.
Viúvakarma kemudian memberitahu Sùrya bahwa istrinya berada di Uttarakuru, dalam wujud seekor kuda betina. Maka Sùrya kemudian mengambil wujud seekor kuda jantan dan menemui istrinya. Dalam wujud kuda (Aúva) mereka melahirkan dua orang putra kembar yang mereka namakan Aúvinikumàra. Anak-anak ini lahir dari lubang hidung ibunya (dalam wujud seekor kuda betina). Keduanya berwajah amat mirip dan amat tampan. Mereka kemudian menjadi tabib para dewa.
(Menurut Mahàbhàrata, dua Aúvini ini kemudian berinkarnasi menjadi Nakula dan Sahadeva, dua diantara lima pàóðava)
Setelah Sùrya dan Saýjña kembali ke wujud asalnya, mereka kembali memiliki putra yang lain yang bernama Revanta atau Raivanta. Anak ini lahir dengan menunggang kuda dan bersenjata serta memiliki perisai perang. Selanjutnya ia kemudian menjadi raja para Guhyaka.
Dalam berbagai bagian dalam Bhaviûya Puràóa, Sùrya diagungkan sebagai dwa tertinggi, sedangkan Brahmà, Viûóu dan Úiva dinyatakan sebagai dewa bawahan atau bagian dari dewa Sùrya.
Bahkan Brahmà sendiri yang memberitahukan åûi Yàjñavalkya, “Sùrya adalah dewa yang menghalau kegelapan di seluruh dunia dan menyalakan ketiga dunia. Beliau adlah cahaya dari segalanya. Beliau abadi, tak terhancurkan dan mahakuasa. Beliau adalah pencipta, pemelihara dan penghancur seluruh alam semesta. Beliau adalah dewa dari para dewa beliau adalah yang tertinggi dan tidak ada dewa yang mengimbanginya.”
Beliau akan memberikan pembebasan pada mereka yang memujanya dengan penuh hormat dan ketulusan hati. Dan dalam suntingan dari sabda dewa Sùrya sendiri dinyatakan “Bersujudlah padaku, menjadilah pemujaku penuhi pikiranmu dengan pikiran tentang aku. Orang yang memikirkan aku akan bersatu denganku pada akhirnya nanti.”


PARA PEMUJA SÙRYA
Pada bagian ini, Bhaviûya Puràóa menceritakan tentang tiga kelas atau golongan pemuja Sùrya. Mereka adalah para Maga yang memuja Sùrya, para Maga yang memuja Sùrya dan para Bhojaka yang memuja Sùrya.
Siapakah para Maga itu ? Bhaviûya Puràóa menyatakan bahwa suku kata ‘ma’ melambangkan dewa Sùrya. Orang yang bermeditasi pada suku kata ‘ma’disebut para Maga. Seorang Maga adalah pemuja dewa Sùrya.
Sùrya adalah dewa tertinggi dari para Maga. Mereka memasak makanan hanya untuk Sùrya dan akan mema-kannya jika telah memberikan persembahan pada Sùrya. Mereka tinggal di Úakadvìpa yang terletak jauh dari Jambùdvìpa, di hulu samudra luas (Lavaóa Samudra). Úakadvìpa dikelilingi oleh samudra luas lainnya yang dikenal bernama Kûìroda samudra.
Diceritakan bahwa Kåûóa menikah dengan Jàmbavatì dan mereka memiliki seorang putra yang bernama Sàmba. Sebagai hasil dari kutukan yang ditimpakan padanya oleh ayahnya, Sàmba menderita lepra. (Tentang kutukan ini diceritakan dalam Sàmba Puràóa )
Sàmba diberitahukan bahwa ia akan sembuh dari lepra yang dideritanya jika ia memuja dewa Matahari. Maka ia kemudian mendirikan sebuah kuil untuk memuja dewa Sùrya di pinggir sungai Candrabhàga (Chenab). Para pendeta yang ada di daerah Úakadvìpa adalah pendeta yang mahir dalam puja pada dewa Sùrya dan mereka diundang oleh Sàmba dan bertindak sebagai pendeta pemimpin dalam kuil itu.
Jika hendak makan maka orang-orang suci di Úakadvìpa melakukannya dengan diam dan sunyi. Hal ini juga diikuti oleh mereka yang tinggal di Úakadvìpa. Para Bràhmaóa dari golongan Maga selalu memakai benang suci yang dikenal sebagai Avyaòga, yang mengikat pinggangnya. Mereka juga memelihara jenggot dan tidak menyentuh benda-benda yang tidak suci. Mereka diharuskan ber-keturunan untuk menambah jumlahnya dan menyumbangkan sebagian dari pendapatannya. Mereka menjadi vegetaris dan hanya memakan sayuran dan buah-buahan saja. Mereka harus berpenampilan baik dan teguh hati seimbang dan memiliki pengendalian diri yang penuh.
Silsilah tentang adanya Bràhmaóa golongan Maga adalah sebagai berikut.
Tersebutlah seorang åûi yang bernama Rijihva yang merupakan pemuja dewa Agni. Putri åûi Rijihva adalah Nikûubhà. Sebelumnya Nikûubhà telah diidentikkan sebagai Chàyà. Sebenarnya secara diam-diam Sùrya telah menikahi Nikûubhà dan memiliki seorang putra yang bernama Jaraúabda.
Ketika Rijihva mengetahui bahwa Nikûubhà telah menikah dengan Sùrya tanpa sepengetahuannya, maka beliau menjadi amat marah. Meskipun beliau amat mencintai putrinya, namun beliau tetap mengutuknya. “Aku mengutuk anakmu kelak akan menjadi orang yang tidak berguna” katanya.
Dengan berlinang air mata Nikûubhà memohon pada Sùrya dan beliaupun berkenan untuk menampakkan diri dihadapannya. “Aku tidak bisa membatalkan kutukan ayahmu” kata dewa Sùrya “bagaimanapun juga ia adalah seorang åûi. Akan tetapi aku memberkatimu bahwa kelak keturunan anakmu akan menjadi golongan orang yang mempelajari Veda dengan serius dan memakai benang suci yang dinamakan Avyaòga. Tidak usah memikirkan apa yang terjadi pada putra-putramu karena keturunan mereka akan menjadi orang yang berguna”
Keturunan Jaraúabda inilah yang kemudian menjadi para Maga Bràhmaóa.
Bhaviûya Puràóa juga menyediakan penjelasan dan keterangan tentang para Maga yang memuja dewa Agni sebagai ritual sehari-hari mereka.
(Para sarjana telah menyelidiki bahwa para Maga yang diterangkan dalam Bhaviûya Puràóa adalah para pendeta Magi yang terdapat di Iran. Orang-orang ini kemudian bermigrasi ke India pada tahun-tahun awal, mungkin sekitar masa para Kushana. Meskipun kata Iran tidak terdapat dalam kitab Bhaviûya Puràóa, namun kata Úakadvìpa sebenarnya menunjuk pada Iran. Para penduduk Iran pada masa lampau adalah para pemuja api dan matahari. Bhaviûya Puràóa menyebutkan ada lima jenis api (agni). Sedangkan kitab suci golongan Avesta juga mengenal adanya lima jenis api ini. Bahkan nama salah satu nabi para Zarathustra hampir mirip dengan Jaraúabda. Orang-orang Persia yang merupakan keturunan bangsa Iran juga memakai benang suci di pinggangnya. Bhaviûya Puràóa merupakan contoh adanya sintesis dan asimilasi budaya lain dengan budaya Hindu).
Bagaimana dengan golongan Bhojaka yang juga disebutkan sebagai pemuja matahari dalam Bhaviûya Puràóa? Seperti para Maga, mereka juga berasal dari Úakadvìpa. Akan tetapi ada banyak perbedaan antara Maga dengan Bhojaka.
Para Bhojaka membuat persembahan sehari-hari yang terdiri dari makanan pada Sùrya. Mereka juga memper-sembahkan dupa, kalung bunga, dan berbagai persembahan lainnya. Mereka mempelajari veda, mandi tiga kali sehari dan memuja Sùrya sebanyak lima kali sehari dan menolak makanan yang diberikan oleh golongan úùdra. Seorang Bhojaka harus memakai benang suci Avyaòga setiap saat. Karena dengan memakai benang suci inilah seorang bhojaka akan mencapai kesucian dan mendapatkan berkah dari dewa Sùrya. Seorang bhojaka yang tidak memakai benang suci ini akan kehilangan kesuciannya dan tidak diperkenankan untuk memuja Sùrya. Jika ia menanggalkan benang suci itu, maka kesehatannya tidak akan terjaga dengan baik, tidak memiliki keturunan, dan tidak akan mendapat kesempatan untuk mendapatkan surga. Bhaviûya Puràóa menyatakan bahwa benang suci ini berhubungan dengan semua kitab veda, para dewa, dan semua mahluk yang ada di bumi ini. Dikatakan bahwa Viûóu berada d dasar benang itu, Brahmà di tengahnya dan Úiva berada di ujungnya.
Dari penjelasan diatas kita bisa mengetahui bahwa para bhojaka telah mendapatkan status yang lebih tinggi dari para Maga. Pengabdian para Bhojaka dijunjung setinggi langit. Sebagaimana seorang istri melayani suaminya, seorang murid melayani gurunya, demikianlah seorang bhojaka melayani Sùrya. Sebagaimana tidak ada kitab suci yang melebihi Veda, tidak ada sungai yang mengatai kesucian sungai Gaògà, tidak ada persembahan yang mengalahkan upacara Àúvamedha, maka demikianlah bagi para Bhojaka, Sùrya adalah dewa yang tertinggi, sebagaimana tidak ada mahluk yang lebih tinggi dari para Bhojaka, bagi dewa Sùrya. Semua yang dilakukan oleh para bhojaka hendaknya dianggap sebagai dewa Sùrya sendiri yang telah mela-kukannya. Tak seorangpun bisa mencapai pembebasan sebelum menjadi seorang bhojaka.
Ini juga berlaku bagi setiap kelahiran seorang bhojaka.
Pangeran Priyavrata adalah putra Svàyambhuva manu dan Priyavrata membangun sebuah kuil untuk dewa Sùrya di Úakadvìpa. Beliau membuat sebuah patung Sùrya yang terbuat dari emas. Akan tetapi meskipun telah berusaha sekuat tenaga ia tidak bisa mendapatkan pendeta untuk melakukan puja pada kuil itu. Dan dalam rasa putus asa yang dalam beliau mulai berdoa pada dewa Sùrya.
Dewa Sùrya berkenan atas doa-doa Priyavrata dan menampakkan diri dihadapan Priyavrata.
“Anugrah apa yang kau minta ?” tanya dewa Sùrya
“Mohon berikanlah hamba anugrah agar ada beberapa pendeta yang akan melakukan puja di kuil ini” kata Priyavrata.
Dewa Matahari setuju atas permintaan itu. Dan beliau kemudian menciptakan delapan orang suci dari tubuh beliau sendiri. Dua lahir dari dahi beliau, dua dari tangan, dua dari kaki dan dua dari sinar beliau. Mereka adalah para Bhojaka yang kemudian berdiam dan memimpin setiap ritual di Úakadvìpa.
Sebuah kuil juga telah dibangun di Kalapriya, di pinggir selatan sungai Yamunà.


YAMA
Kembali kepada kisah tentang Yama yang telah dikutuk menjadi dewa kematian.
Yama memiliki wujud yang menakutkan dengan jenggotnya yang panjang dan kumisnya yang tebal. Bibirnya bergetar karena murka dan ia memakai kalung bunga yang berwarna merah.
Di istana Yama juga ada para utusan dan pelayan Yama yang bergelar Yamadhùta. Mereka menggunakan berbagai jenis senjata. Pemimpin dari para pelayan dan pekerja di istana Yama bernama Citragupta. Ia memegang catatan dari dosa dan pahala yang dilakukan oleh seseorang selama di bumi. Dosa harus dibayar di tempat yang disebut sebagai neraka dan pahala akan dinikmati di Surga.
Bumi adalah tempat untuk melakukan berbagai jenis perbuatan atau pekerjaan. Hasil dari perbuatan itu tidak hanya akan dinikmati di bumi namun juga di neraka dan surga. Hanya mereka yang berbuat banyak pahala yang akan bisa masuk surga dan menikmati berbagai kenikmatan yang ditawarkan disana.
Sebelum pergi ke neraka seorang pendosa akan dibawa untuk menghadap pada Yama terlebih dahulu. Jalan menuju kesana dipenuhi dengan duri berserakan, jarum, bebatuan, banyak ular berbisa yang berkeliaran, binatang buas, dan serangga pemakan daging. Para pendosa tidak mendapat tempat berlindung dalam terik matahari. Mereka juga tidak di berikan makanan dan minuman.
Para pelayan Yama menyeret para pendosa tanpa memperdulikan jerit tangis atau rintihan mereka. Mereka malah dipukuli dan disiksa oleh para pelayan Yama. Bebatuan yang tajam dan berbagai senjata dilemparkan pada mereka.
Ketika mereka telah sampai di istana Yama maka mereka dihadapkan pada Yama yang kemudian menentukan ke neraka mana sang pendosa akan dimasukkan sesuai dengan dosa yang dilakukannya. Di neraka-neraka itu mereka diberikan berbagai jenis hukuman dan siksaan. Ada yang dimasukkan ke dalam minyak mendidih atau dipaksa untuk memeluk pilar besi yang panas membara. Kemudian ada yang dilemparkan ke dalam lubang yang berisikan kotoran dan air seni. Beberapa pendosa di panah tubuhnya dan ada yang dipotong-potong dengan pedang yang tajam menjadi beberapa potongan. Mereka tidak mendapat makanan dan minuman. Kadang ada pendosa yang disuruh berguling di atas pasir yang panas. Kadang mereka juga dilemparkan dari puncak lembah yang tinggi.
Kegelapan, penuh sesak dan bau busuk memenuhi tempat dimana para pendosa berada. Ada berbagai jenis hukuman yang diberikan pada para pendosa sesuai dengan dosa yang dilakukannya. Biasanya hukuman diutamakan pada bagian tubuh yang melakukan dosa. Mungkin dipotong, di rebus, atau di berikan pada binatang buas. Para Yamadhùta tidak pernah mengeluh merasa iba melakukan tugasnya. Jerit tangis serta rintihan para pendosa malah akan memba-ngunkan semangatnya untuk melakukan hukuman lebih keras lagi.

TEMPAT SUCI DAN SIMBOL SUCI
Bhaviûya Puràóa juga memiliki bagian yang men-ceritakan tentang tempat suci dan benda-benda suci.
Perbuatan membangun tempat suci juga merupakan perbuatan yang jauh lebih berpahala dibandingkan dengan membangun fasilitas umum seperti sumur untuk menyimpan air. Mereka yang membangun tempat suci akan mendapatkan surga setelah meninggal nanti.
Dikatakan bahwa para dewa menyenangi tempat-tempat yang indah seperti di tengah telaga, taman bunga, pepohonan yang indah, dan tempat dimana bisa didengar suara burung angsa yang berkicau. Oleh karena itulah, sebuah kuil hendaknya sedemikian rupa diatur agar bisa memberikan suasana yang menyenangkan. Maka kuil hendaknya dibangun dengan perhatian yang ekstra.
Tidak semua tanah bisa dipakai untuk membangun sebuah kuil. Tanah dimana ada benda-benda seperti bulu, tulang, batu bara, tumbuhan parasit, semak dan yang sejenis maka tempat seperti itu tidak boleh dipakai untuk mem-bangun sebuah kuil. Tanah yang subur dimana semua benih bisa tumbuh dengan baik, apalagi jika tanah itu bersuara jika di tumbuk.
Untuk masing-masing kasta telah ditentukan tanah yang sesuai untuk membangun kuil mereka. Bagi para Bràhmaóa yang merupakan kasta yang tertinggi maka tanah putih adalah yang sesuai untuk mereka. Bagi kasta kûatriya, vaiúya dan úùdra secara berurutan hendaknya memilih tanah yang berwarna merah, kuning dan yang berwarna hitam.
Sebelum membangun sebuah kuil hendaknya diperiksa terlebih dahulu jenis tanahnya. Untuk menguji jenis tanah itu hendaknya seseorang menggali sebuah lubang ukuran sedang, kemudian tanah di tempat dimana ia akan mendirikan kuil diambil dengan bagian yang sama, seperti tanah yang diambil untuk membuat lubang itu. Kemudian tanah itu dimasukkan kedalam lubang tadi dan jika sisanya cukup banyak, termasuk golongan Uttama. Maka tanah itu termasuk jenis tanah yang bagus untuk membangun kuil. Namun jika tanah yang tersisa hanya sedikit maka tanah itu adalah jenis menengah (Madhyama) maka kuil bisa dibangun disini meskipun ini tidak dianjurkan. Namun jika tanah yang dipakai untuk menutupi lubang itu malah kurang, ini adalah jenis tanah Adhama, maka jangan sekali-kali membangun kuil di tempat itu.
Dalam usaha membangun kuil untuk dewa Sùrya, hendaknya seseorang memberikan perhatian yang ekstra dalam setiap tahapnya.
Gerbang kuil hendaknya menghadap ke arah timur. Jika ini tidak memungkinkan maka hendaknya menghadap ke barat. Hendaknya dibangun sebuah tempat permandian suci di arah selatan kuil itu. Dan tempat untuk melakukan puja memanjang ke utara. Kuil untuk memuja Brahmà, Viûóu, dan Úiva masing-masing menghadap ke utara, timur dan barat dari kuil untuk memuja dewa Sùrya. Di kuil itu juga harus dibuat tempat-tempat khusus yang ukurannya lebih kecil untuk memuja dewa-dewa minor. Semua itu hendaknya selalu melengkapi sebuah kuil dan juga sebuah tempat duduk untuk orang suci atau mereka yang bertugas untuk membacakan kisah Puràóa.
Persembahan (Arghya) hendaknya dibuat dari dua kopula (mandapa). Disisi kanannya hendaknya dibuat untuk persembahan pada saat matahari terbit dan di sebelah kirinya hendaknya dibuat untuk persembahan pada saat matahari terbenam.
Menurut Viúvakarma, arsiteknya para dewa, ada 3000 jenis cara yang bisa digunakan untuk membangun kuil Meskipun itu semua tidak mungkin untuk disebutkan, namun ada beberapa yang merupakan patokan utama.
 1) Meru : bertingkat banyak dengan beberapa puncak.
 2) Mandara   :  bertingkat banyak dengan satu puncak.
 3) Kailàsa  :  bertingkat banyak satu puncak.
 4) Vimanachanda   :  bertingkat banyak dengan beberapa puncak.
 5) Nandana   :  bertingkat banyak tanpa puncak atau tangga.
 6) Samudra   :  satu tingkat dengan bentuk bundar.
 7) Våtta   :  satu tingkat dengan bentuk bundar.
 8) Våûa   :  satu tingkat dengan bentuk bundar.
 9) Mågasiýha  :  satu tingkat dan berbentuk bundar.
 10) Padma   :  satu tingkat dan berbentuk seperti bunga teratai.
 11) Garuða   :  berbentuk seperti burung garuda.
 12) Nandi   :  berbentuk seperti seekor lembu.
 13) Gajakuñjara  :  berbentuk seperti punggung seekor gajah.
 14) Guharàja   :  beerbentuk seperti sebuah gua.
 15) Haýsa   :  berbentuk seperti angsa terbang dengan dasar berbentuk elips.
 16) Kumbhaghaþa   :  dengan rancangan yang berbentuk seperti sebuah pot.
 17) Sarvatobhadra   :  bertingkat lima dengan bnyak puncak dan dasar yang berbentuk segi empat.
 18) Caturaúra Vavåkûaþ Catuûkoóa : satu tingkat dengan dasar yang berbentuk segi empat.
 19) Aûþashra  :  bertingkat satu dengan delapan sisi.
 20) Ûoðaûasra   :  bertingkat satu dengan enam belas sisi.
Kemudian disini dijelaskan tentang benda-benda suci khususnya patung. Patung bisa terbuat dari emas (kañcana), perak (rajata), tembaga (tamra), tanah (påthivì), batu (úailaja), kayu (varkûi), aûþadhatu (bahan yang berupa logam yang lebih rendah mutunya).
Benda-benda suci seperti patung yang dibuat dengan bahan-bahan tertentu memiliki pahala yang tertentu pula. Patung yang terbuat dari kayu akan memberikan umur panjang dan kekayaan. Patung yang terbuat dari tanah akan memberikan kenikmatan duniawi. Patung yang dihiasi dengan permata dan dan batu berharga akan memberikan kesejahteraan. Patung yang terbuat dari emas akan memberikan kekuatan, terbuat dari perak akan memberikan nama besar, sedangkan yang terbuat dari tembaga akan memberikan keturunan. Kesenangan duniawi dan kese-jahteraan adalah hasil yang didapatkan apabila membuat dari bahan batu.
Kayu yang digunakan untuk membuat patung hendaknya di potong dengan penuh perhatian. Sebelum memotongnya hendaknya berkonsultasi terlebih dahulu dengan ahli yang mengetahui hari baik untuk hal itu. Sebelum memotong hendaknya diadakan upacara kecil. Hanya setelah melakukan upacara tertentu maka seseorang boleh pergi ke hutan untuk memilih kayu yang terbaik. Patung hendaknya tidak dibuat dari kayu yang merupakan kualitas rendah. Oleh karena itulah seseorang hendaknya tidak memotong kayu yang kecil, kayu yang tumbuh di kuil atau tempat kremasi, pohon yang didiami banyak burung, kayu yang roboh oleh karena badai, kayu bekas kebakaran hutan atau yang terbakar oleh petir, atau yang roboh karena ditabrak gajah. Kayu yang hanya terdiri dari satu atau dua cabang, kayu yang telah kering atau yang lapuk, yang mudah patah, dan kayu yang mengeluarkan getah, atau madu, minyak atau darah ketika dipotong.
Janis kayu yang merupakan bahan yang baik untuk membuat patung adalah Devadàru (sejenis cemara), candana (cendana), Bilva (sebuah pohon yang suci untuk Úiva), amra (mangga), nimba, panasa (nangka) dan raktacandana (cendana merah).

Patung Sùrya hendaknya dibuat seperti dibawah ini.
Patung itu hendaknya berukuran delapa puluh delapan jari (aòguli) wajahnya berukuran duabelas jari, yang sepertiganya adalah ukuran dagu, dan sisanya adalah untuk hidung dan dahi. Kedua mata harus berukuran dua jari yang setengahnya adalah ukuran retina. Pupilnya berukuran sepertiga dari retina. Ukuran hidung hendaknya sama dengan ukuran leher.
Tangan dengan lengan, kaki dengan paha harus seimbang ukurannya. Kaki sepanjang enam aòguli dan lebarnya adalah ampat jari. Jempol kaki dan kukunya harus berukuran hampir seimbang.
Pundak, dada, paha, alis mata, dahi, hidung dan pipi harus dibuat tegak. Matanya harus tampak bulat dan besar, bibir merah dan wajah seperti bunga teratai.
Patung itu harus dihiasi dengan permata, anting, kalung bunga, mahkota, dan sebuah benang suci. Beliau digam-barkan memegang sebuah bunga teratai dan kalung di tangannya.
Patung ang dibuat dari bahan atau wujud yang dibuat tidak seperti persyaratannya, hanya akan membuat beliau tidak berkenan dan membawa malapetaka bgi pembuatnya. Jika ada salah satu bagian yang cacat atau kepanjangan maka bahaya akan mengancam kerajaan. Jika ada bagian yang tampak kekecilan maka kerajaan akan diserang bencana wabah penyakit. Jika patung itu tampak besar pada bagian perut maka kerajaan itu akan diancam bahaya kelaparan. Dan jika perut beliau tampak kecil maka kemiskinan akan mengancam kerajaan itu. Perang yang akan terjadi pada negara tersebut ditandai dengan retaknya perut beliau dan kematian atau kehancuran ditandai dengan hancurnya bagian ini. Jika patung itu tampak bengkok dan bengkok kekanan maka itu adalah pertanda bahwa umur pemiliknya akan berkurang. Jika bengkok ke kiri maka itu adalah pertanda bahwa anak yang telah menikah akan bercerai. Jika mata patung itu mendelik keatas maka yang membuatnya akan buta. Dan jika mendelik ke bawah maka yang membuat patung itu akan mengahadapi banyak masalah.
Oleh karena itulah seseorang harus profesional jika hedak membuat patung dewa.


UPACARA AGAMA
Untuk mendapatkan berkah dari para dewa maka manusia harus melakukan upacara agama (vrata), berpuasa secara periodik (upavasa) dan menyumbangkan sedekah.
Sebuah vrata adalah sebuah keputusan yang diambil untuk melakukan sebuah tirakat pada jangka waktu tertentu dan dimulai pada hari tertentu juga.
Sebelum melakukan sebuah vrata, seseorang hen-daknya melakukan upacara atau ritual pendahuluan sebelum melakukan vrata, ini dimaksudkan untuk menyucikan diri sendiri. Ia harus bangun pada pagi hari dan membersihkan diri kemudian mempersembahkan sesajen dupa dan makanan pada patung dewa kemudian memberikan sedekah pada para Bràhmaóa. Pada saat melakukan vrata itu, seseorang hendaknya tidak berbicara dan mengendalikan diri serta seluruh inderanya.
Vrata sebenarnya berasal dari kebudayaan para åûi dan para dewa. Merekalah yang mengajarkan umat manusia untuk melakukan vrata agar keinginan mereka bisa tercapai. Kemudian dari mereka yang telah mendapatkan berbagai hasil dari vrata yang mereka lakukan telah menurunkan kebiasaan itu pada yang lainnya dan demikianlah seterusnya.
Dan ini kebetulan terjadi pada Úyàmala dalam kisah dibawah ini.


ÚYÀMALA
Di kota Mithila hiduplah seorang wanita yang bernama Ùrmilà. Ùrmilà memiliki seorang putra dan seorang putri. Karena dia merasa sudah tidak sanggup lagi mencari nafkah disana maka ia mencoba keberuntungannya di tempat lain.
Maka Ùrmilà kemudian pergi ke kota Avanti dan mulai kerja di rumah seorang Bràhmaóa.
Pada suatu kesempatan, anak-anaknya sangat lapar dan ia terpaksa harus mencuri beberapa makanan milik tuannya.
Beberapa waktu berlalu dan putri Ùrmilà yang bernama Úyàmala, tumbuh besar menjadi seorang gadis yang cantik dan menikah dengan Yama.
Yama memberitahu Úyàmala,” sebagai istriku, kau bisa tinggal dimana saja di rumahku ini. Namun ada tujuh ruangan yang tidak boleh untuk dimasuki oleh siapapun, termasuk kau. Kamar-kamar itu selalu terkunci, kau tidak boleh memasukinya. Tidak boleh seorangpun membuka pintu untuk menuju ketujuh ruangan itu.
Sementara itu, karena usianya Ùrmilà akhirnya meninggal.
Sedangkan Úyàmala mengikuti apa yang telah dikatakan oleh Yama untuk beberapa waktu. Ia tidak pernah memasuki tujuh kamar itu. Akan tetapi keingintahuannya mulai tumbuh.
Maka ia mulai membuka pintu kamar yang terlarang itu, namun apa yang dilihatnya sungguh di luar dugaannya, dimana ia melihat para pelayan Yama menyeret ibunya ke dalam jambangan minyak yang mendidih.
Karena tidak sanggup melihat pemandangan itu, maka ia membuka ruangan berikutnya dimana ia melihat tubuh ibunya sendiri sedang di hancurkan dengan sebuah batu besar.
Úyàmala menutup pintu itu dan membuka pintu kamar berikutnya. Di kamar ini ia melihat paku sedang ditancapkan pada kepala ibunya.
Pada kamar yang keempat, tubuh Ùrmilà sedang dipotong-potong menjadi beberapa bagian dan dagingnya di berikan pada beberapa ekor anjing. 
Pemandangan yang sama juga dilihat oleh Úyàmala pada kamar yang ke lima, enam dan yang ketujuh. Setiap kamar menyajikan pemandangan yang sama dimana ibunya terlihat tersiksa dalam berbagai neraka.
Úyàmala kemudian menghadap pada suaminya dan menceritakan apa yang telah dilakukannya dan menceritakan shok yang dialaminya atas pemandangan yang baru saja dilihatnya. “Mengapa ibuku disiksa seperti itu? Apakah dosanya?”
“Kau memang benar-benar tidak taat padaku, aku dengan tegas telah mengatakan bahwa kau tidak boleh memasuki tujuh kamar itu. Ibumu sedang menjalani hukuman yang merupakan hasil dari perbuatannya dimasa lalu. Ia pernah mencuri tepung yang merupakan milik seorang Bràhmaóa yang kebetulan adalah majikannya. Mencuri barang-barang yang menjadi milik seorang Bràhmaóa adalah sebuah dosa besar. Sedangkan telah menjadi peraturan kami bahwa seseorang yang mencuri barang milik seorang Bràhmaóa harus dihukum selamanya”
“Aku tidak sanggup melihat ibuku berada di neraka “kata Úyàmala, “mohon katakanlah bagaimana aku dapat mengurangi hukuman yang didapatkannya, bagaimana aku dapat mengurangi penderitaannya?”
“Dalam kelahiran sebelumnya kau telah melakukan budhàûþami vrata delapan kali” jawab Yama “pahala yang didapatkan dari melakukan ritual ini masih ada padamu, dan belum habis. Jika kau memberikan pahala itu pada ibumu maka dia akan terbebas dari neraka”
(Aûþami adalah hari yang ke delapan dalam setiap bulan. Sebuah ritual yang dilakukan pada hari aûþami ini disebut sebagai aûþami vrata. Jika hari ini kebetulan jatuh pada hari rabu maka itu di sebut sebagai Buddhàûþami vrata).
Úyàmala kemudian mengikuti saran suaminya. Dan sebagai hasilnya, Ùrmilà tidak hanya dibebaskan dari neraka dan berbagai siksaannya, namun ia juga mendapatkan sebuah tempat yang abadi di surga dengan memakai wujud yang baru pula.
Demikianlah hasil dari pelaksanaan Buddhàûþami vrata.


SANG BRÀHMAÓA DAN SANG HANTU
Sungai Vetravati adalah sungai yang mengalir di sepanjang kota Vidiúà.
Pada suatu hari seorang Bràhmaóa kebetulan bertemu dengan seorang hantu yang sedang terkapar di pesisir sungai Vetravati. Saat itu adalah musim panas dan pasir disana terasa sangat panas. Sang hantu tampak sedang terpanggang di pesisir sungai itu. Tubuhnya tampak seolah direbus oleh panasnya pasir dan ia menjerit kepanasan.
Sang Bràhmaóa merasa tergugah hatinya untuk membantu sang hantu, “Mengapa anda disiksa seperti itu ?” tanya sang Bràhmaóa.
“Dalam kelahiran sebelumnya aku adalah seorang vaiúya yang bernama Úailabhadra” jawab sang hantu, “Aku tinggal di kota Vidiúà. Aku adalah orang kaya dan berhasil memelihara rumah tanggaku dengan baik. Aku menyimpan semua kekayaanku. Namun aku memiliki keterikatan yang amat besar pada benda-benda itu hingga aku tidak pernah membantu para Bràhmaóa dengan memberikan sumbangan pada mereka. Aku bahkan tidak menghormati mereka. Aku juga tidak pernah memuja Tuhan. Aku sama sekali tidak menghormati mereka yang bukan keluarga atau familiku. Karena aku tidak pernah berbuat baik pada mereka yang bukan keluargaku, maka setelah meninggal aku dihukum seperti ini. Aku dibiarkan terpanggang seperti ini di pesisir sungai Vetravati. Aku tidak sanggup menahan rasa sakit ini lagi. Tolong selamatkanlah aku dari kutukan ini”
Sepuluh tahun yang lalu aku telah melakukan Úukradvàdaúi vrata,” jawab sang Bràhmaóa, “pahala yang kau dapatkan belum habis sampai sekarang. Aku akan memberikannya padamu agar kau bisa terbebas dari hukumanmu “
(Dvàdaúi adalah hari yang keduabelas dalam satu bulan dan tirakat yang dilakukan pada hari ini di sebut sebagai Dvàdaúi vrata. Jika hari itu kebetulan jatuh pada hari jumat maka hari itu disebut sebagai Shukradvadasi vrata. Selain berpuasa pada hari ini seseorang hendaknya memuja Viûóu)
Setelah mendapatkan pahala yang diberikan oleh sang Bràhmaóa maka hantu itu terbebas dan berhasil mencapai surga. Demikianlah hebatnya hasil dari melakukan Úukradvàdaúi vrata.


VRATA-VRATA LAINNYA
Bhaviûya Puràóa juga menyebutkan beberapa vrata yang lainnya, meskipun tidak menyebutkan secara terperinci tentang keseluruhan ritualnya.
Ubhayadvàdaúi vrata memberikan pahala yang melebihi tìrthayàtrà ke tempat-tempat suci seperti Gayà, Puûkara, Vàràóasì dan Prayàga.
Dengan melakukan Tilaka vrata dengan ritual pemakaian tilaka (sebuah tanda) pada dahi seseorang maka musuh dan roh jahat tidak dapat berkutik.
Jàtismara vrata yaitu melakukan tirakat tidak berbicara hingga bula menampakkan diri di langit, pada malam harinya. Pada saat itu berbagai dewa harus dipuja. Seorang Jàtismara adalah seseorang yang mengetahui semua kejadian pada kelahiran sebelumnya. Orang yang melakukan vrata ini dengan penuh ketulusan akan diberikan kekuatan ini.
Untuk mendapatkan pahala seseorang tidak harus selalu melakukan vrata yang dimaksud. Meskipun hanya dengan membaca dan mengetahui (vidhi) persyaratannya saja maka seseorang juga sudah mendapatkan sedikit pahalanya. Misalnya, Rasakalyàóì vrata, dimana dewi Pàrvatì harus dimandikan (dalam wujud patung beliau) dengan mentega murni kemudian dilakukan puja untuk beliau. Orang yang mendengarkan penuturan dari ritual ini atau mengajak orang lain untuk melakukan hal ini, maka akan mendapat tempat tinggal di alam dewi Pàrvatì setelah meninggal nanti. Semua dosanya seketika itu juga akan dimaafkan.
Ardranandakari vrata meliputi pemujaan kepada Úiva dan Pàrvatì. Orang yang mendengarkan Vidhi (persyaratan) dari ritual ini atau mengajak orang lain untuk melakukannya, maka ia akan mendapat tempat tinggal di kahyangan dewa Indra setelah meninggal nanti. 
Orang yang mendengarkan vidhi dari Mandaraúaûþhi vrata akan mendapatkan pembebasan dari dosa-dosanya.
Demikianlah diantara vrata yang memiliki keampuhan. Akan tetapi vrata yang dilakukan setengah hati dan dilakukan tidak sesuai dengan prosedurnya hanya akan membawa kemarahan sang dewa. Jika hal ini sampai terjadi maka kemarahan sang dewa bisa dilunakkan dengan melakukan akhandadvàdaúi vrata. Tirakat ini meliputi pemujaan Viûóu dengan pesembahan dan pengucapan mantra-mantra Viûóu.
Banyak vrata yang khusus dilakukan oleh para wanita. Contohnya, seorang wanita bisa mendapatkan pahala sebesar pahala Aúvamedha Yajña jika dia melakukan anantatritìya vrata pada musim dingin. Dalam melakukan vrata ini dia harus memakai pakaian serba merah, jika doa seorang janda maka dia harus memakai pakaian kuning, dan mereka yang belum menikah harus memakai pakaian putih. Seorang wanita bisa mencapai moksa dengan memuja Viûóu dan membuatkan makanan untuk para Bràhmaóa dalam ritual araóyadvàdaúi vrata.


VRATA YANG BERHUBUNGAN DENGAN DEWA SÙRYA
Ada beberapa vrata yang secara khusus dikaitkan dengan dewa Sùrya. Beberapa diantaranya.
1) Abhaya pakûa saptami vrata : Saptami adalah hari ketujuh dalam satu bulan dan pada hari inilah vrata ini harus dilakukan. Yang dipuja adalah dewa Sùrya dan juga disertai dengan ritual memberi makan para Bràhmaóa dan orang suci pada musim dingin dalam bulan Pouûa. Pahala dari pelaksaaan vrata ini adalah tercapainya empat tujuan hidup manusia yaitu Dharma (kebajikan), Artha (keka-yaan), Kàma (keinginan) dan Mokûa (pembebasan).
2) Abhaya saptami vrata : Úuklapakûa adalah perioda dua mingguan dimana sinar bulan ber-tambah besar dan ritual ini dilak-sanakan dalam bulan Úravaóà. Sebagai hasilnya maka orang yang mela-kukannya akan mendapatkan tempat di kahyangan dewa Sùrya setelah meninggal nanti.
3) Ananta saptami vrata : vrata ini dilaksanakan pada penanggalan bulan yang disebut sebagai Úuklabhàdrapada. Ini jatuh pada perioda Úuklapakûa dimana bintang Bhàdrapada tampak di langit. Dan hasilnya adalah seseorang akan mendapat tinggal di kahyangan dewa Sùrya (Sùryaloka) setelah meninggal nanti.
4) Bhadra vrata : Dalam vrata ini patung dewa Sùrya harus dimandikan dengan mentega murni kemudian dipuja sebagaimana mestinya. Pada hari ini seseorang tidak boleh tidur siang dan tidak boleh bergaul dengan orang atau lingkungan jahat. Pahalanya juga tinggal di Sùryaloka.
5) Kamata saptami vrata : penjelasan secara mendetail tentang vrata ini tidak diberikan namun ritual ni dilakukan pada hari saptami.
6) Kamala ûaûþhi vrata : penjelasan secara mendetail tidak diberikan namun ritual ini biasanya dilakukan pada hari keenam setiap bulannya.
7) Mahàsaptami vrata : penjelasan yang lebih mendetail tidak diterangkan namun ritual ini dilakukan pada hari yang ketujuh dalam setiap bulan.
8) Mahàjaya saptami vrata : Penjelasan selain pelak-sanaannya yang biasanya dilakukan pada hari yang ketujuh tidak dijelaskan disini.
9) Maheúvetàdityavana vrata : tidak ada penjelasan khusus tentang ritual ini.
10) Màrtàóða saptami vrata : tidak ada penjelasan tentang ritual ini, meskipun upacara ni dilakukan pada hari ke tujuh. Màrtàóða adalah nama lain dari dewa Sùrya.
11) Ubhaya saptami vrata : ritual ini dilakukan pada hari saptami, dan penjelasan lebih lanjut tidak terdapat didalamnya.
12) Durgàndha naúana vrata : ritual ini memungkinkan seseorang membasmi penyakit yang terdapat dalam tubuhnya. Pohon-pohon yang menjadi favorit dewa Sùrya harus dipuja pada hari khusus yang disebut Jyeûþha Úukla. Ini jatuh pada Úuklapakûa bulan Jyeûþha. (Terjadi pada sekitar bulan Juni)
13) Hådayàdityavana vrata : dalam vrata ini, pemujaan pada dewa Sùrya tidak terlalu khusus. Dan pahalanya adalah pemenuhan segala keperluan duniawi.
14) Jaya vrata  :  tidak ada penjelasan lebih lanjut.
15) Jaya saptami vrata : Ini dilakukan pada hari saptami dan tidak diberikan penjelasan lebih lanjut.
16) Kàmapradàdityana vrata : ini meliputi pemujaan kepada Sùrya dan memberikan pemenuhan segala keinginan duniawi.
17) Kàmada vrata  :  Ini juga meliputi ritual pemujaan kepada dewa Sùrya dan memung-kinkan seseorang untuk mendapatkan keinginannya sebagai hasil dari pelaksanannya.
18) Mandara ûaûþhi vrata : Ritual ini dilaksanakan pada hari keenam pada setiap bulannya dalam perioda Úuklapakûa dan pada bulan Margaúira. Dewa Sùrya dipuja dengan menggunakan bunga dari pohon Mandara. Jika ritual ini di-lakukan dengan baik maka ia akan dipastikan akan lahir dalam keluarga yang baik pada kelahiran berikutnya.
19) Nanda saptami vrata : Ini dilakukan pada hari saptami dan tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang hal ini.
20) Narijana vrata  : vrata ini memberikan pahala ter-capainya surga oleh mereka yang melakukannya.
21) Nikûubhàrka vrata : Ini juga memberikan surga pada mereka yang melakukannya.
22) Úarkara saptami vrata : Ini dilakukan pada hari saptami pada bulan Aúvina. Mereka yang melakukan upacara ini melakukan permandian susu dan berpakaian serba putih. Dewa Sùrya harus dipuja dan melakukan ritual memberimakan pada orang suci dan sedekah pada para Bràhmaóa.
23) Sarvartha saptami vrata : Ini dilakukan pada perioda Kåûóapakûa (perioda dua mingguan dimana bulan mulai berkurang sinarnya), pada bulan Margaúirûa. Yang melakukannya tidak boleh memakan-makanan yang terbuat dari minyak dan garam, memuja Sùrya dan mem-berikan sedekah pada para Bràhmaóa. Ini menuntun seseorang pada pen-capaian surga.
24) Trivarga saptami vrata : Ini dilakukan pada perioda Úuklapakûa pada bulan Phalguna. Ini akan menghindarkan seseorang dari pengaruh-pengaruh orang jahat.
25) Pàpànaúini saptami vrata : Orang yang melakukan puja Sùrya pada ritual ini akan terbebaskan dari segala dosa.
26) Bhàdrapada Úuklapakûa vrata : Ini adalah ritual yang diperuntukkan bagi orang miskin yang ingin menjadi kaya. Ini meliputi pengendalian semua indera, angkara dan memuja Sùrya, Vrata ini dilakukan pada perioda Úuklapakûa saat nakûatra Bhàdrapada nampak dilangit.
27) Rahasya saptami vrata : Pada hari saptami, seseorang memuja dewa matahari, menghindari makanan berminyak, pakaian biru, dan segala jenis daging. Jika ini berhasil dilakukan dengan baik maka seseorang akan mendapatkan segala keinginan duniawinya.
28) Ratha saptami vrata : Vrata ini dilakukan pada hari saptami pada perioda Úuklapakûa pada bulan Marghaúirûa. Dewa Sùrya dan ekreta kesayangan beliau harus dipuja. Para Bràhmaóa diberikan sedekah dan makanan. Ritual ini memungkinkan seseorang untuk mencapai kedudukan dan golongan yang lebih tinggi pada kelahiran berikutnya.
29) Saýkranti vrata : vrata ini memastikan umur panjang, kesehatan yang baik. Dewa Sùrya harus dipuja, Bràhmaóa diberikan sedekah dan makanan.
30) Rogaharàdityavana vrata : Yang hendak melakukan ritual ini hendaknya hanya meminum susu, dan tidur diatas tanah dan memuja Sùrya dengan berbagai jenis bunga. Jaminan dari pelaksanan vrata ini adalah kesembuhan dari segala jenis penyakit.
31) Saptami vrata  :  Ini memerlukan puja pada Sùrya selama tujuh hari dalam setiap bulannya. Dan berkhasiat untuk menyembuhkan segala penyakit.
32) Sùrya vrata  : Ini juga berkhasiat untuk menghi-langkan segala jenis penyakit dan hanya memerlukan pemujaan yang sederhana saja.
33) Siddha ratha saptami vrata : Melalui pemujaan kepada Sùrya, maka vrata ini memberikan kemenangan pada yang melaku-kannya.
(Dari keterangan diatas dapat kita perhatikan bahwa semua vrata itu kebanyakan dilakukan pada hari yang ketujuh dalam setiap bulannya dan dalam perioda Úuklapakûa)


VRATA YANG BERHUBUNGAN DENGAN DEWA YANG LAIN.
Vrata yang berhubungan dengan pemujaan kepada dewa lain selain Sùrya juga dijelaskan dalam Bhaviûya Puràóa. Beberapa diantaranya adalah :
1. Ananta caturdaúi vrata : Caturdaúi vrata adalah hari keempatbelas dalam setiap bulan. Pada hari ni, patung dewa Viûóu harus dimandikan dengan menggunakan mentega murni kemudian diadakan pemujaan kepada beliau. Ini me-mungkinkan seseorang mendapatkan keturunan yang banyak. Dalam bentuk lain dari vrata ini, ia juga bisa memuja Úiva dalam perioda Úuklapakûa ketika nakûatranya adalah Bhàdrapada ada di langit. Ini menuntun seseorang pada pencapaian segala keinginan.
2. Bhìûmapañcaka vrata : Ini dilakukan pada bulan Karttika pada perioda Úuklapakûa. Minuman keras, daging dan wanita serta lingkungan yang buruk harus dihindari pada hari ini. Seseorang harus memuja Viûóu. Vrata ini diakukan untuk menebus dosa membunuh seorang Bràhmaóa.
3. Aúoka vrata  :  Saat ini seseorang harus memuja pohon Aúoka untuk menghilangkan segala kesedihan (úoka).
4. Goûapada tritìya vrata : Ini dilakukan pada tritìya (hari ketiga pada setiap dua mingguan) dalam periode Úuklapakûa, saat nakshatra Bhàdrapada sedang ada di langit. Sapi-sapi dipuja, semua makanan yang dimasak dengan minyak dan garam harus dihindari. Ini memungkinkan seseorang untuk bisa memasuki alam Goloka. Goloka adalah sebenarnya berarti tempat tinggal sapi, yang diidentikkan dengan Kåûóa yang juga adalah Viûóu sendiri, jadi Goloka tiada lain dalah tempat tinggal Viûóu)
5. Govatsa Dvàdaúi vrata : seekor sapi dan anaknya harus dipuja pada saat ini, dalam periode Kåûóapakûa selama bulan Karttika. Pada saat ini seseorang harus menghindari melakukan hubungan sex dan harus tidur dilantai. Vrata ini juga memungkinkan seseorang untuk mencapai alam Goloka.
6. Govinda Dvàdaúi vrata : Ini dilakukan pada pada hari yang ke duabelas pada setiap bulannya, dalam periode Úuklapakûa pada bulan Pouûa. Sapi diberi makan, dan orang yang melakukan ritual ini hanya meminum susu dan menghindari penggunaan garam.
7. Kukkuþi vrata  :  dalam vrata ini Úiva dan Pàrvatì harus dipuja ketika nakûatra Bhàdrapada sedang berada di langit. Jika seseorang menyertakan penggunaan benang suci pada upacara ini maka kematian bayi yang prematur bisa dihindari.
8. Madhuka Tritìya vrata :  ini dilakukan pada hari yang ketiga dalam setiap bulan Bhàdrapada. Yang melakukan harus memuja dewa Gouri dan pohon madhuka ntuk bisa mendapatkan seorang anak.
9. Nàga pañcami vrata : pada pañcami (hari yang kelima), ia juga harus memandikan sebuah patung ular yang melambangkan raja para ular dalam susu dan memujanya untuk mendapatkan perlindungan dari gigitan ular.
10. Ulka dvàdaúi vrata : vrata ini dilakukan pada hari yang kedua belas pada bulan Marghaúirûa. Pada saat ini Viûóu dipuja untuk penyembuhan cacat seperti kebutaan dan tidak mendengar atau penyakit seperti lepra.
11. Vinàyaka caturthi vrata ;  pada hari yang keempat dalam setiap bulan seseorang harus memuja Vinàyaka (Gaóeúa). Ia harus membuat persembahan berupa biji wijen dan memberikan persembahan pada dewa Agni. Vrata ini memberikan efek penghancuran terhadap segala kesulitan dan halangan.
12. Úànti vrata  :  vrata ini melibatkan pemujaan kepada Nàràyaóa dalam periode Úuklapakûa pada bulan Karttika. Sebagai tam-bahannya, ia harus melakukan tirakat untuk tidak memakan makanan yang asam selama satu tahun. Vrata ini memungkinkannya untuk menghar-moniskan hubungan keluarga.
13. Sarasvatì vrata : yang hendak melakukannya harus berpuasa secara periodik selama tiga belas bulan dan memuja Sarasvatì, dewi kebijaksanaan. Pelaksanaan vrata ini memungkinkan seseorang untuk menjadi cerdas dan terpelajar.
14. Aúùnyaúayana vrata : yang hendak melakukannya harus melakukan puasa secara periodik selama empat bulan dan menyembah berbagai dewa dengan persembahan yang berupa buah-buahan musiman. Vrata ini memungkinkan sebuah pasangan akan menjadi abadi.
15. Aviyoga tritìya vrata : vrata ini juga menjamin keharmonisan hubungan keluarga dan dilakukan pada hari ketiga pada periode Úuklapakûa dalam bulan Marghaúirûa. Berbagai dewa harus dipuja pada pelaksanaan vrata ini.
16. Vàtasavitri vrata : Diawali pada hari yang ketigabelas, saat nakûatra Bhàdrapada sedang ada di langit, maka ia harus melakukan puasa selama tiga hari dan men-ceritakan kisah Sàvitrì dan Satyavana. (kisah ini bisa didapatkan dalam Puràóa lain, atau dalam Mahàbhàrata. Suami Sàvitrì yang bernama Satyavana telah meninggal. Dalam hal ini Sàvitrì telah berhasil meyakinkan Yama dengan ketulusan hatinya untuk menghidupkan kembali suaminya yang telah meninggal) Pelaksanaan vrata ini menghasilkan keharmonisan dalam hubungan keluarga.
17. Yama vrata  :  dewa Yama dipuja untuk mendapatkan segala keinginan duniawi.


SUMBANGAN SEDEKAH
Sebagai tambahan dari pelaksanaan vrata, Bhaviûya Puràóa juga menyebutkan banyak referensi tentang sumbangan dan sedekah (dàna).
Kekayaan yang disumbangkan tidak akan pernah sia-sia. Apalagi kekayaan material tidak akan berguna jika kematian telah menjemput seseorang. Oleh karena itulah adalah tindakan yang terbaik jika kekayaan itu di-sumbangkan. Penggunaan yang terbaik dari kekayaan adalah dengan menyumbangkannya. Badan yang sehat dan kuat serta umur yang panjang tidak akan ada gunanya jika tidak digunakan untuk membantu orang yang membutuhkannya. Orang yang tidak menyumbangkan emas, pakaian, makanan dan minuman pada para Bràhmaóa, kutukan dan ketidak-beruntungan akan menunggunya. Mereka akan lahir dalam keadaan berpenyakitan, miskin dan menjadi pengemis dalam setiap kelahirannya.
Lebih jauh lagi, sebuah dakûióa (biaya) harus diberikan ketika hendak memberikan sumbangan tertentu. Dalam setiap upacara agama, Yajña (persembahan), dàna (sedekah, sumbangan) dan vrata (tirakat tertentu) serta dakûióa selalu dilibatkan. Karena kalau tidak maka upacara seperti itu tidak akan sempurna atau lengkap. Untuk melakukan sebuah Yajña maka seseorang harus menyeimbangkan delapan keping emas atau tujuh keping perak. Dakûióa yang disertai dengan sumbangan sebuah kebun harus disertai dengan emas dua keping, sedangkan sumbangan sebuah sumur penampungan air harus disertai dengan uang emas setengah keping.
Beberapa bentuk sumbangan yang utama adalah sebagai berikut:

1. Godana  :  seekor sapi yang sehat dan anaknya disumbangkan kepada seorang yang terpelajar dan Bràhmaóa miskin untuk menjamin seseorang bisa mendapat surga selama batas waktu yang tidak terbatas.
2. Våûabha dàna  :  sebuah sapi jantan disumbangkan, untuk membersihkan dosa selama tujuh turunan.
3. Mahiûì dàna  : sebuah sapi betina (Mahiûì) yang menghasilkan susu harus disum-bangkan. Maka ini akan menghasilkan pemenuhan keinginan duniawi.
4. Bhùmì dàna  : sumbangan berupa tanah yang akan memberikan penghapusan segala dosa.
5. Halapamkti dàna  : sebuah cangkul yang dihiasi dengan berbagai permata dan emas, empat-puluh sapi yang dideretkan dengan cangkul tadi. Ini kemudian disum-bangkan pada seorang Bràhmaóa untuk mendapatkan pahala menda-patkan surga selama tujuh turunan.
6. Apaka dàna  :  seribu jenis peralatan disumbangkan untuk mendapatkan keturunan, pelayan dan kekayaan.
7. Gåhadàna  :  sebuah rumah yang dihiasi dengan baik, ini akan memungkinkan sese-orang untuk tinggal di kahyangan Úiva.
8. Anna dàna  :  Makanan (anna) disumbangkan pada mereka yang membutuhkannya. Ini akan memungkinkan seseorang untuk bisa tinggal di alam Viûóu.
9. Sthali dàna  :  sebuah piringan perak atau tanah yang dipenuhi dengan makanan dan benda sumbangan lainnya untuk disum-bangkan. Ini akan membuatnya tidak akan pernah kehabisan makanan.
10. Úayya dàna  :  sumbangan yang berupa tempat tidur pada seorang Bràhmaóa. Ini akan menuntun seseorang pada pencapaian surga.
11. Prapà dàna  :  prapà adalah sebuah tempat air yang bisa digunakan oleh para pengembara. Ini biasanya dibangun pada jalan yang biasa dilalui oleh para pengembara atau di bawah sebuah pohon. Penam-pungan air itu harus dilengkapi beberapa lubang air yang dijaga oleh seorang Bràhmaóa. Ini adalah sum-bangan yang akan membawa sese-orang pada pencapaian surga.
12. Agniûþika dàna  :  biasanya pada musim dingin, sebuah perapian dinyalakan pada pagi hari dan malam harinya untuk mendi-nginkan tubuh dan menyumbangkan sebuah perapian akan memberikan pencapaian keinginan pada seseorang.
13. Dàsi dàna  :  seorang pelayan wanita (dàsi), diberikan pada seorang Bràhmaóa, pelayan ini dihias dengan berbagai permata dan pakaian sutra. Seorang yang memberikan sumbangan seperti itu akan dilayani oleh seorang apsara dari surga.
14. Vidyà dàna  :  Ini adalah sumbangan pengetahuan yang berupa buku, pena emas, atau tinta yang tempatnya terbuat dari perak pada seorang Bràhmaóa akan me-nuntun seseorang menuju surga.
15. Hiraóyagarbha dàna : Mereka yang kelaparan, diberi makanan, dan sebuah patung dewa disumbangkan pada seorang Bràh-maóa. Ini juga menjamin tiket menuju surga.
16. Brahmàóða dàna : Sebuah telur buatan yang terbuat dari emas disiapkan dan sebuah patung Brahmà, Viûóu dan Úiva ditempatkan pada telur itu. Kemudian telur itu disumbangkan pada seorang Bràh-maóa bersama jagung, sepatu dan sebuah payung. Ini akan mengha-puskan segala dosa dan memberikan pemenuhan atas segala keinginan seorang.
17. Kalpavåkûa dàna : sebuah pohon kecil buatan yang terbuat dari emas yang buahnya juga terbuat dari emas kemudian disum-bangkan pada seorang Bràhmaóa. Jaminannya adalah seseorang akan mendapat tempat di kahyangan dewa Sùrya dan dilayani oleh para apsara.
18. Saptasàgara dàna : garam, susu, jaggery dan gula disumbangkan pada seorang Bràh-maóa untuk menghapuskan dosa-dosa.
19. Dhànya parvata dàna : setumpukan bahan makanan, jaggery, emas dan mentega murni disumbangkan pada seorang Bràhmaóa.
20. Tulàpuruûa dàna : sebuah timbangan digunakan untuk mengukur sumbangan ini. Orang yang menyumbang diletakkan pada salah satu timbangan, sedangkan tepung, bahan makanan, garam, perak, dan emas diletakkan ditimbangan sebe-lahnya, dan timbangan ini harus seimbang. Inilah yang menentukan apa yang harus disumbangkan. Se-tengah dari sumbangan ini diserahkan pada para Bràhmaóa, seperempat pada para pendeta, yang memimpin upacara itu, dan seperempatnya lagi diberikan pada mereka yang membutuhkannya. Ini akan membawa seseorang pada kahyangan dewa Sùrya.


KASTA
Dalam setiap Puràóa selalu ada pembahasan tentang kasta, dengan golongan masyarakat yang dibagi menjadi empat yaitu Bràhmaóa, kûatriya, vaiúya dan úùdra.
Sistem kasta, sebagaimana yang dijelaskan dalam Bhaviûya Puràóa tampak tidak terlalu kaku jika dibandingkan dengan Puràóa-Puràóa lainnya.
Bràhmaóa adalah mereka yang memuja Brahmà, Kûatriya adalah mereka yang bertugas untuk menahan serangan musuh, vaiúya adalah mereka yang bertugas untuk mengembangkan perdagangan, dan úùdra adalah mereka yang tidak boleh mempelajari kitab suci.
Setiap orang harus mengelompokkan diri mereka menjadi empat kelas kasta sesuai dengan perbuatan mereka, kualitas, kedudukan dan asal mereka. Mengendalikan diri, mengejar pengetahuan tentang Tuhan, dan menghormati para dewa adalah tugas para Bràhmaóa. Keperwiraan, urusan perang, kegiatan beladiri adalah pekerjaan para Kûatriya,. Perdagangan, peternakan, dan perdagangan adalah tugas para vaiúya. Mereka yang bersifat rendah dan bertenaga kurang adalah golongan úùdra. 
Para Bràhmaóa harus mempelajari kitab suci, mengajar, melakukan persembahan dan mengajak yang lain untuk melakukan hal itu, menyumbangkan sedekah dan menerima sumbangan. Dengan mengijinkan seorang Bràhmaóa mendapatkan makanan tanpa terlebih dahulu mempelajari kitab suci dan melakukan berbagai tirakat akan merupakan sebuah kekeliruan. Seorang raja harus meng-hukum orang yang membiarkan hal itu terjadi dalam sebuah desa. Para Kûatriya juga harus mempelajari kitab suci, melindungi penduduk dengan mengangkat senjata. Dan dengan sukarela menyumbangkan sedekah pada yang membutuhkan. Para vaiúya juga harus mempelajari kitab suci, mengembangkan peternakan, pertanian dan perdagangan. Sedangkan para úùdra bertugas untuk melayani yang lainnya.
Akan tetapi Bhaviûya Puràóa menekankan bahwa kelahiran dalam keluarga tertentu bukanlah jaminan seseorang menjadi kasta yang dimaksud. Kitab ini juga memberikan contoh seperti åûi Paràúara, Úukadeva, Vasiûþha, Mandapàla dan yang lainnya yang telah mendapatkan kedudukan yang sangat tinggi dari kedudukan mereka sebelumnya karena ketinggian pencapaian spiritualnya. Akan tetapi kitab ini juga menyebutkan bahwa seorang caóðàla atau seorang úùdra bagaimanapun ia berusaha mempelajari veda, dengan usaha keras atau pergi ketempat tertentu, negara tertentu, jika hanya dengan mempelajari kitab suci saja, maka mereka tidak akan pernah bisa menjadi seorang Bràhmaóa.
Hanya tingkah laku seseorang - bukan dengan mempelajari kitab suci atau melakukan ritual tertentu - yang menentukan seseorang layak untuk menjadi seorang Bràhmaóa dalam arti yang sebenarnya. Memang benar bahwa tugas seorang Bràhmaóa adalah mempelajari kitab suci Veda, namun yang menentukan apakah ia seorang Bràhmaóa atau tidak adalah karakternya. Karena veda tidak akan bisa menyelamatkan orang yang telah melenceng dari ajaran kebaikan. Seorang Bràhmaóa yang telah mempelajari empat veda secara fasih tidak akan sempurna jika ia meninggalkan karakter yang baik.
Kemudian Bhaviûya Puràóa menyebutkan bahwa antara seorang Bràhmaóa dan seorang úùdra berbeda hanya dalam nama saja. Tidak ada perbedaan baik dari segi spiritual maupun eksternal antara keduanya sejauh dalam hubungan pelaksanaan ritual agama. Seorang úùdra tidak dilarang untuk memakai benang suci dan juga tidak dilarang dalam berdoa.
Pelaksanaan saýskàra seperti itu tidak ada artinya samasekali, dan antara Bràhmaóa dan úùdra, tidak ada perbedaan sejauh bidang ini yang dimaksudkan. Pelaksanaan upacara seperti itu tidak akan menyucikan seseorang yang berkarakter buruk. 
Akan tetapi Bhaviûya Puràóa melarang kegiatan tertentu untuk dilakukan oleh seorang Bràhmaóa yang benar-benar ingin menjadi Bràhmaóa dalam arti yang sesung-guhnya. Seorang Bràhmaóa yang menggembalakan sapi, kambing, domba atau yang menjadi pelayan, penjaga toko, menjadi tukang besi, maka mereka tidak lagi menyandang gelar seorang Bràhmaóa. Mereka dinyatakan telah kehilangan kelas atau kasta mereka. Selain itu, ada makanan tertentu yang juga dilarang bagi seorang Bràhmaóa. Mereka samasekali tidak boleh memakan atau menjual daging, bawang putih, bawang merah, meminum minuman beralkohol atau susu unta. Mereka tidak boleh menerima makanan yang disajikan pada saat ada upacara kematian atau kelahiran bayi. Jenis makanan dan pekerjaan seseorang menentukan kastanya.
Disamping itu, sebuah kasta bukanlah sesuatu yang kaku dan tidak bisa diubah sama sekali. Seorang úùdra bisa menjadi seorang Bràhmaóa dan sebaliknya. Seorang Kûatriya juga bisa menjadi seorang vaiúya dan sebaliknya. Dan kekuatan yang bisa didapatkan oleh seorang Bràhmaóa dalam doa dan mantra yang diucapkannya juga bisa didapatkan oleh seorang úùdra. Setelah melakukan tirakat dan disiplin rohani tertentu maka seorang úùdra juga bisa mendapatkan kekuatan untuk mengutuk. Tidak seorangpun yang bisa mendapatkan kedudukan sebagai kasta tertentu tanpa mempertahankan apa yang telah menjadi persyaratan dan tugas yang telah ditentukan bagi kastanya.
Meskipun telah melakukan semua upacara suci (saýskàra), orang yang bertabiat buruk, seperti seorang pencuri, pembohong, penipu, atau mereka yang membunuh Bràhmaóa,  pasti akan masuk neraka. Orang yang memiliki karakter baik meskipun ia tidak melakukan perbuatan upacara suci adalah seorang bràhmaóa yang terbaik.
Bhaviûya Puràóa juga mengkritik adanya pendapat bahwa seorang Bràhmaóa adalah mereka yang berkulit putih, Kûatriya berkulit kemerahan seperti bunga Khingûuka , vaiúya berkulit kekuningan seperti haritala dan úùdra berkulit hitam seperti arang. Sebuah kasta tidak ada hubungannya dengan warna kulit.
Bhaviûya Puràóa juga mempertanyakan dasar pemikiran dari pengelompokan kasta itu. Seperti anak-anak yang berasal dari satu ayah, seperti buah yang berasal dari satu pohon, maka para Bràhmaóa, Kûatriya, vaiúya dan úùdra juga berasal dari satu sumber juga. Mereka tidak bisa dibedakan hanya dari perbedaan phisik seperti warna kulit dan sebagainya. Seekor kuda, atau sapi bisa kita pisahkan dari sesamanya, namun tidak demikian halnya dengan seorang Bràhmaóa dengan seorang úùdra.
(Semua ini memperlihatkan bahwa Bhaviûya Puràóa telah memberikan ide baru yang lebih segar tentang adanya sistem kasta itu, barangkali ini karena adanya sedikit pengaruh luar yang diadaptasikan dengan ajarannya. Kitab ini penting untuk menelusuri adanya sistem kasta dalam kebudayaan India. Penyerapan dan adaptasi kebudayaan telah mengubah perbedaan warna kulit yang telah menjadi polemik pada masa masuknya bangsa Àrya ke India. Kemudian adanya persepsi Budhisme yang menyatakan bahwa pembagian kasta itu tidak ada artinya sama sekali juga telah memberikan kontribusi pada perubahan itu)
Bhaviûya Puràóa juga menyatakan bahwa populasi penduduk di Úàkadvìpa dibagi menjadi empat kelas yaitu Maga, Magaga, Ganaga dan Mandaga atau Mandhaba. Ini ada kaitannya dengan pembagian empat kasta dalam kebudayaan India.
[Di Iran, tempat dimana para Bràhmaóa Màgha berasal, memiliki empat lapisan masyarakat (piûtra) yaitu athrava (pendeta), kathaestha (prajurit), vastriya (pemimpin keluarga) dan huiti (pekerja)]
Ada peraturan yang amat ketat dalam usaha seseorang untuk mencapai kedudukan yang lebih tinggi dari kedudukan asal mereka. Namun disana juga ada kebebasan untuk pindah dari satu kelas atau golongan ke golongan yang lain.
Penjelasan tentang hal ini bisa kita lihat pada penjelasan tentang Úàkadvìpa.


MASALAH PENDIDIKAN
Seorang siswa mendapatkan pendidikan dari gurunya setelah melayani beliau dengan penuh pengabdian, sebagaimana seorang yang menggali sumur untuk men-dapatkan air. Setelah selesai menuntut Ilmu, maka seorang siswa berkewajiban untuk menyenangkan gurunya dengan memberikan persembahan baik berupa tanah, emas, sebuah payung, sandal, pakaian, bahan makanan dan benda lain yang sekiranya bermanfaat untuk sang guru. Ini disebut sebagai Dakûióa, dimana tanpa melakukan hal ini maka Ilmu yang didapatkan dari seorang guru dianggap tidak sah.
Seorang guru yang mengetahui makna sejati dari mantra Gàyatrì dan mengabdi pada hukum adalah guru yang terbaik. Seorang Bràhmaóa yang tidak memenuhi ke-wajibannya untuk mengajarkan pengetahuan agama dianggap telah kehilangan kedudukannya dalam masyarakat.
Disebutkan ada lima tingkatan guru sesuai dengan penjelasan berikut ini,
1. Àcàrya  : Ini adalah guru yang mengajarkan rahasia pengetahuan dari veda (kalpa rahasya)
2. Upadhyàya  :  Ini adalah guru yang mengajarkan ajaran veda yang berhubungan dengan cara untuk mencari nafkah.
3. Guru  :  adalah orang yang di tempatnya seorang siswa tinggal dan menjadi bagian dari rumah tangga sang guru. Sang guru menyediakan tempat tinggal bagi mereka dan mengajarkan segala jenis ritual pada mereka.
4. Åtvija  :  Ini adalah mereka yang mengambil peran sebagai pelaksana atau pe-mimpin upacara persembahan.
5. Mahàguru  :  ini adalah guru yang tertinggi dari semua guru dan harus dihormati oleh siapapun juga. Pelajaran yang di-berikannya hanyalah pengucapan nama Tuhan, namun beliau sangat mahir dalam segala pengetahuan Itihàsa seperti Ràmàyaóa, Mahà-bhàrata dan delapan belas Puràóa dan kebudayaan Sùrya, Viûóu dan Úiva.


UPAH
Seorang buruh atau pekerja harus diberikan upah sesuai dengan pekerjaan yang mereka lakukan.
Satuan upah yang terkecil adalah satu varàþa. Duapuluh varàþa menjadi satu Kakini dan ada empat kakini dalam satu pana. Maka dengan demikian ada delapan puluh varàþa dalam satu pana.
Bhaviûya menyediakan daftar upah yang sesuai sesuai dengan pekerjaan mereka (disesuaikan pada jamannya)
 i Tukang batu  : 2 paóa
 ii tukang sumur  : 2 paóa
 iii Tukang sapu  : 1 varàþa
 iv Perajin tembaga  : 4 paóa
 v perajin metal (besi)  : 3 paóa
 vi tukang tenun  : 10 kàkióì
 vii tukang tenun kain wol  : 10 kàkióì
 viii perajin logam biasa  : 10 kàkióì
 ix tukang potong rambut  : 10 kàkióì
 x tukang cukur  : 2 kàkióì
 xi tukang hias rambut  : 4 paóa
 xii Tukang hias kecantikan wanita  : 1 paóa
 xiii tukang cangkul (alat pertanian)  : 2 paóa dan 10 varàþa.
 xiv buruh penanam padi  : 1 paóa
 xv buruh penanam rempah-rempah  : 1 paóa
 xvi tukang kuda, kereta  : 1 paóa dan 10 varàþa
 xvii tukang jembatan  : 2 paóa
 xviii tukang panggung  : 1 paóa
 xix tukang lantai  : 1 paóa
 xx tukang cuci  : sekitar 1 paóa ter-gantung banyaknya pakaian dan ketebalan kain atau jika dibu-tuhkan dengan segera.


WANITA DAN PERNIKAHAN
Menurut Bhaviûya Puràóa, wanita harus cepat-cepat dinikahkan.
Seorang anak yang berusia tujuh tahun biasa disebut sebagai gourì, yang berusia sepuluh tahun disebut sebagai nagnikà, seorang yang berusia duabelas tahun disebut sebagai kanyakà dan yang berusia lebih dari duabelas tahun disebut sebagai rajasvala.
Usia yang terbaik bagi seorang anak gadis untuk menikah adalah usia tujuh pada saat anak itu menginjak usia gourì, pilihan yang kedua adalah nagnikà. Pilihan yang terbaik ketiga adalah kanyakà. Sedangkan rajasvala adalah usia yang paling buruk untuk menikah.
Ada delapan jenis pernikahan sebagaimana yang disebutkan dibawah ini:
1. Brahmà  :  dalam bentuk perkawinan ini, seorang mempelai wanita yang telah dihias dengan berbagai perhiasan berharga dan permata dinikahkan kepada seorang mempelai laki-laki yang berasal dari keluarga yang terhormat dan sengaja diundang untuk tujuan ini.
2. Daiva  :  seorang mempelai wanita yang telah dihias dengan perhiasan permata diberikan pada seorang mempelai laki-laki yang memiliki karakter yang baik, dan upacara pernikahan itu berlangsung di hadapan pendeta melalui sebuah upacara per-kawinan.
3. Àrûa  :  pernikahan dimana ayah dari mempelai wanita memberikan putrinya pada mempelai laki-laki setelah melakukan upacara yang ditentukan dan setelah memberikan mas kawin yang berupa seekor sapi atau banteng.
4. Prajàpatya  :  ayah dari mempelai wanita memberikan putrinya pada mempelai laki-laki sambil memberikan petunjuk agar pasangan itu senantiasa selalu melaksanakan kewajiban beragama.
5. Àsura  :  orang tua atau famili dari mempelai wanita menyerahkan putrinya setelah men-dapatkan uang pengganti dari pihak laki-laki sebagai pengganti anak perem-puannya.
6. Gandharva  :  seorang pemuda dan pemudi saling jatuh cinta dan mereka kemudian menikah.
7. Ràkûasa  :  mempelai laki-laki menculik mempelai wanita kemudian menikahinya.
8. Paiúaca  : mempelai laki-laki menculik mempelai wanita dan menikahinya, dalam hal ini penculikan yang dilakukan adalah secara paksa ataupun menipu tanpa persetujuan dari mempelai wanita, jadi disini terdapat perbedaan yang jelas dengan pernikahan jenis ràkûasa.

Akan tetapi tipe pernikahan yang dianjurkan adalah brahma, daiva dan àrûa. Anak-anak yang lahir dari perkawinan jenis ini akan sangat membantu menyelamatkan leluhur mereka.
(Bhaviûya Puràóa juga menyebutkan bahwa seorang istri adalah sebagian dari tubuh suaminya. Oleh karena itulah sebuah rumah tangga dimana seorang wanita tidak dihormati akan segera hancur. Demikian juga sebaliknya jika dalam sebuah rumah tangga, wanita dihormati maka keluarga itu akan senantiasa mendapatkan berkah dari para dewa. Akan tetapi ciri utama seorang wanita adalah kesetiaannya pada suaminya).
Apakah yang harus dilakukan seorang wanita ? Apa tugas mereka?
Pada saat subuh, dia harus membangunkan pem-bantunya dan memberitahukan mereka tentang apa yang harus dilakukan pada hari itu. Dia harus memberi petunjuk pada pembantunya tentang tugas yang harus dilakukan pada hari itu. Tugasnya yang lain adalah senantiasa menyiapkan makanan untuk suaminya, dan menunggu apabila suaminya berpergian keluar rumah. Di dapur tugasnya adalah mempersiapkan perabotan, menyiapkan bahan makanan, mengepel lantai dan menghidangkan makanan yang segar untuk suaminya. Sebagai tambahan pekerjaannya maka seorang wanita juga berkewajiban untuk memeriksa buruh yang bekerja di sawahnya.
Ada beberapa perbuatan yang dianggap tabu bagi seorang wanita.
Dia tidak boleh duduk sendirian, tertawa dihadapan orang asing, berdiri di gerbang, memandang ke arah jalan utama, berbicara keras, berjalan membelakangi orang, tertawa secara berlebihan dan menukar barang barangnya dengan tetangganya.
Jika suaminya pergi ke suatu tempat, maka sang istri tidak boleh menghias diri dan memakai perhiasan. Ia hanya boleh keluar rumah hanya jika sangat perlu dan harus segera kembali ke rumah setelah pekerjaan itu selesai.
Jika dia mengharapkan seorang anak maka dia harus mandi dengan air wangi, hindari tertawa terlalu keras dan menjauhi orang-orang yang tidak berkenan dihatinya. Ia juga menghindar dari segala bentuk kecemasan dan kekhawatiran. Misalnya, dia tidak boleh mendatangi tempat-tempat yang sepi, berjalan sendirian, atau menyeberangi sungai sendirian.
Bhaviûya Puràóa juga membenarkan adanya perceraian jika sang suami dan istri tidak menemukan keharmonisan dalam rumahtangganya. Jika seorang suami hendak menceraikan istrinya karena sang istri tidak bisa mem-berikannya keturunan maka dianjurkan agar pasangan seperti itu untuk menunggu selama delapan bulan sebelum perceraian terjadi. Namun jika perceraian itu terjadi jika tidak ada keharmonisan rumah tangga maka strìdhana (mas kawin yang dibayar oleh sang istri pada mempelai laki-laki) harus dikembalikan. Disamping itu dia juga berhak atas sejumlah uang dari pihak suaminya.
Jika kebetulan ada seorang istri simpanan, maka istri yang lebih muda harus melayani istri tertua sebagaimana dia melayani ibunya sendiri, dan sebaliknya istri pertama juga harus melayaninya sebagai anaknya sendiri. Apa saja yang didapatkannya dari rumahnya sendiri harus pertamakali diserahkan pada istri pertama. Istri yang lebih tua juga harus melayaninya seperti dia memperlakukan sebagai anaknya sendiri. Sikap seorang suami adalah bertindak agar tidak menimbulkan kecemburuan diantara kedua istrinya itu.
Selain hal ini Bhaviûya Puràóa juga berisikan berbagai hal yang menarik untuk diperhatikan. Kitab ini juga menceritakan tentang bagaimana bunga yang berbeda bisa digunakan untuk persembahan pada dewa yang berbeda-beda. Kitab ini juga menceritakan tentang berbagai jenis ular dan berbagai jenis gigitannya.

TENTANG MASA DEPAN
Akan tetapi yang paling menarik dari Bhaviûya Puràóa ini adalah penjelasannya tentang masa depan dan apa yang akan terjadi dimasa datang. Karena bagaimanapun juga ini adalah topik yang paling menyenangkan untuk dibicarakan.
Tentang berbagai kejadian sejarah diceritakan dalam parva yang ketiga, bagian Pratisarga. Ini diawali dengan ramalan tentang naiknya Manu ke tahta kerajaan dan diakhiri dengan ramalan datangnya kerajaan Inggris ke India dan pemerintahan permaisuri Victavati (Victoria).
Nama raja-raja dari keturunan Sùrya dan Candra vaýúa dibeberkan disini. Namun juga ada penjelasan tentang raja-raja yang akan memerintah di masa depan. Ada keterangan tentang Timur, Barbar, Humayun, Sher Shah, Akbar, Salem, Aurangzeb, Shivaji dan Mahadevji Sindhia. Disana juga ada kata dalam bahasa inggris seperti ‘Sunday, February, dan Sixty’


RAJA-RAJA PADA JAMAN KALI
Bagian yang paling penting dari penjelasan ini adalah adanya katalog dari raja-raja yang akan memerintah pada jaman Kaliyuga. Penjelasan ini juga bisa didapatkan dalam Puràóa lain. Namun Matsya Puràóa dan Vàyu Puràóa juga menyebutkan bahwa Bhaviûya Puràóa merupakan sumber segala penjelasan tentang silsilah raja-raja pada jaman Kali, yang diberikan pada Puràóa-Puràóa yang lain.
Kitab Puràóa menyatakan bahwa jaman Kaliyuga dimulai ketika sang avatàr Kåûóa wafat dan kembali ke kahyanganNya.
Jaman dibagi menjadi empat yuga atau era- Satya yuga atau Kåta yuga, Tretà yuga, Dwàpara yuga dan Kali yuga. Satya yuga berlangsung selama empatribu tahun dewa, Tretà yuga berlangsung selama tiga ribu tahun, Dvàpara yuga berlangsung selama dua ribu tahun, dan Kaliyuga berlangsung selama seribu tahun. Akan tetapi tahun dewa sangat jauh berbeda dari tahun manusia. Misalnya seribu tahun para dewa sama dengan 36.000 tahun manusia. Dan lagi ada tambahan periode peralihan yang terdapat diantara setiap dua yuga. Masa peralihan antara Satyayuga yang baru dengan Kali yuga adalah 500 tahun para dewa atau 18.000 tahun manusia. Jadi akan ada 378.000 tahun lagi setelah kematian Kåûóa, maka akan dimulai jaman Satyayuga.
Kali yuga akan menjadi sebuah jaman yang buruk. Akan ada invasi para yavana dari barat, para yavana ini akan mempengaruhi bidang keagamaan, ambisi dan harapan untuk menguasai. Para yavana yang dimaksudkan identik dengan kerajaan Yunani.
Para yavana ini tidak akan menjadi raja yang baik namun selalu melakukan kebiasaan buruk seperti korupsi. Ketika mereka datang maka kemunduran para petinggi negeri  mulai terjadi dan setelah itu mereka akan memerintah saling bergantian. Bangsa Àrya dan Mlechha (mereka yang tidak mempercayai ajaran veda) bergabung dengan bebas. Wanita dan anak-anak akan dibantai. Raja yang sewenang-wenang dan tidak mengenal aturan akan dengan bebas saling membunuh. Para yavana, Àrya dan Mlechha akan berkuasa saling bergantian  dan penduduk akan berkembang dengan pesat.
Bhaviûya Puràóa juga menyatakan bahwa kitab itu akan menceritakan tentang masa depan, dimana terjadi perang antara Pàóðava dan Kaurava. (Ini adalah kisah dari  Mahàbhàrata). Kebanyakan dari raja-raja itu merupakan raja dalam jaman Kaliyuga. Penjelasan tentang dinasti raja-raja dalam jaman Kaliyuga (Vaýúànucarita) merupakan isi dari kitab Puràóa. Karena inilah Bhaviûya Puràóa menjelaskan silsilah para raja pada jaman Kali yuga.
(Cerita tentang pergantian tahta kerajaan di India utara pada perioda setelah terjadinya perang Kurukûetra, disusun dalam sebuah kumpulan sloka yang kemudian disiarkan. Kumpulan sloka ini dinyanyikan oleh para penyair dan musisi pengembara, dalam bahasa Màgadhi dan Pali. Para penyusun Bhaviûya Puràóa yang menyetujui kebenaran naskah ini kemudian menyerapnya kedalam bahasa Sanksrit dan mengubahnya lagi dalam bentuk kalimat-kalimat ramalan Vyàsadeva. Semakin banyak lagi tambahan yang dimasukkan ke dalam naskah ini. Naskah yang ditulis di Kharisthi di India utara juga diserap ke dalam naskah ini pada sekitar akhir abad ketiga dan awal abad keempat. Semua bahan yang terdapat dalam Bhaviûya Puràóa ini terkubur untuk pertimbangan masa depan yang kemudian dijelaskan dalam Brahmàóða Puràóa, Vàyu Puràóa, Viûóu Puràóa, Bhàgavata Puràóa dan Garuða Puràóa. Akan tetapi proses penyerapan yang terjadi dalam Bhaviûya Puràóa terus berlangsung hingga masa pemerintahan Inggris di India. Kemudian yang disebut sebagai ramalan Vyàsadeva dikeluarkan pada abad ke sembilan belas dan naskah itu mendapat penyesuaian dengan keadaan saat itu untuk membuktikan pembenarannya)
Bhaviûya Puràóa juga menjelaskan bahwa dinasti raja-raja yang terdapat dalam jaman Kali adalah sebagai berikut.

(1)  PARA PAURAVA
Diceritakan bahwa Arjuna adalah putra ketiga dari para Pàóðava dan putranya adalah Abhimanyu. Abhimanyu menikah dengan Uttara, putri raja Viràþa dan mereka memiliki putra yang bernama Parìkûit. Putra raja Parìkûit adalah raja Janamejaya yang merupakan seorang raja yang baik. Dari Janamejaya lahirlah Úatànìka yang amat sakti. Dan dari Úatànìka lahirlah Aúvamedhadatta.
Dari Aúvamedhadatta lahirlah seorang anak yang amat sakti. Ia adalah Adhisimakåûóa, yang sekarang ini meme-rintah dengan kekuasaan dan nama yang besar. Kalimat ini menjelaskan pada kita bahwa naskah ini disusun pada jaman pemerintahan raja Adhisimakåûóa)
Putra dari Adhisimakåûóa adalah raja Nicakûu. Ketika kerajaan Hastinàpura dihanyutkan oleh sungai Gaògà maka Nicakûu kemudian pergi dan tinggal di kota Kouúambi. Ia kemudian mendapatkan delapan anak yang perkasa dan sakti. Putra tertuanya adalah Uúna dan setelah masa pemerintahan Uúna maka yang menggantikannya adalah Citaratha. Setelah Citraratha akan digantikan dengan Sucidratha dan setelahnya maka digantikan dengan Våûóimat. Suûeóa merupakan raja yang adil menggantikan Våûóimat. Sunìthà adalah raja yang menggantikan Suûeóa setelah Sunìthà maka digantikan dengan Ruca dan setelahnya maka akan digantikan dengan Nåcakûu. Yang menggantikan Nåcakûu adalah Sukhibala dan putra dari Sukhibala adalah raja Pariplava dan pengganti dari raja Pariplava adalah raja Sunaya. Setelah itu yang akan menjadi raja adalah Medhàvìn dan digantikan dengan putranya yang bernama Nripanjaya. Durva adalah yang akan menjadi putranya. Durva adalah putra raja Nripanjaya yang menggantikan kedudukan ayahnya dan kemudian digantikan oleh putranya yaitu Tigmatman. Setelah Tigmatman maka yang memerintah adalah Båhadratha dan setelahnya adalah Båhadratha Vasudana dan setelahnya lagi adalah Vasudana Úatànìka dan setelahnya lagi adalah raja Udayana kemudian setelah Udayana memerintahlah raja perwira yang bernama Vahinara dan putra dari Vahinara adalah Daóðapàói. Setelah Daóðapàói maka memerintahlah Niramitra dan setelah Niramitra adalah Kûemaka.
Dengan demikian maka akan ada 25 raja yang merupakan keturunan raja Pùru. Generasi Purava yang dihormati oleh para dewa dan åûi, yang darinya lahirlah generasi banyak bràhmaóa dan orang suci serta para kûatriya pemberani, akan berakhir kejayaannya pada masa menjelang jaman Kali yuga dan ini ditandai dengan akhir kekuasaan Kûemaka. Ini adalah generasi dari putra raja Pàóðu yang amat tersohor yaitu Arjuna.

(2)  PARA AIKÛVÀKU (IKÛVÀKU)
Selanjutnya adalah generasi orang-orang yang berjiwa agung yaitu Ikûvàku. Pewaris tahta raja Båhadbala adalah raja perwira Båhatkûaya. Putranya adalah  Urukûaya. Dimana setelah pemerintahannya maka ia digantikan oleh Vatsa-vyuha, dan setelah Vatsavyuha adalah Prativyoma.
Putranya adalah Divakara yang kini memerintah di kota Ayodhyà di Madhyadesa. (Kalimat ini menyiratkan bahwa naskah Bhaviûya Puràóa ini disusun pada masa pemerintahan  raja Divakara.)
Kemudian yang akan menggantikan Divakara adalah raja Sahàdeva yang amat terkenal. Selanjutnya yang menjadi pewaris tahta Sahàdeva adalah raja yang tinggi hati yaitu Båhadaúva. Penggantinya adalah Bhanuratha dan putranya adalah Pratitaúva yang kemudian menggantikannya. Putra dari Pratitaúva adalah Supratìkà. Keturunannya adalah Marudeva dan Marudeva akan digantikan oleh putranya yang bernama Sunakûatra. Setelah Sunakûatra adalah maka memerintahlah raja Kinaraúva perkasa yang kemudian digantikan oleh Antarikûa. Setelah Antarikûa akan memerintah raja Suparóa dan setelah Suparóa maka memerintahlah Suparóa Amitrajit. Putranya adalah Båhadbhraja, yang kemudian akan digantikan oleh putranya yang bernama Dharmin. Putra Dharmin adalah Kåtañjaya yang akan menggantikan kedudukan ayahnya. Putra dari Kåtañjaya adalah Ranañjaya yang bijaksana yang kemudian digantikan oleh Sañjaya yang merupakan seorang raja perwira yang memerintah setelah Kåtañjaya. Putra Sañjaya adalah Úakya. Setelah Úakya maka memerintahlah raja Suddhodana. Yang putranya adalah Siddhàrtha dan putra dari Siddhàrtha adalah Rahula. Setelah Rahula maka yang memerintah menggantikannya adalah Prasenjit. Setelah Prasenjit adalah Kûudraka. Setelah Kûudraka maka yang memerintah adalah giliran Kulaka. Setelah Kulaka adalah Suratha. Putra Suratha adalah Sumitrà yang akan memerintah menggantikan ayahnya yang selanjutnya menjadi raja terakhir dari dinasti ini.
Keturunan raja Ikûvàku yang lahir dari raja Båhadbala akan senantiasa membawa nama besar bagi keluarga raja ini. Mereka merupakan golongan terpelajar dan para satria. Generasi ini akan pudar pada masa pemerintahan raja Sumitrà. Generasi ini adalah gudang para kûatriya yang merupakan keturunan langsung dari Manu. 

(3) BARHADRATHA
Selanjutnya adalah generasi Barhadratha yang berasal dari para Màgadha, yang merupakan keturunan raja-raja dari garis keturunan raja Úadeva yang merupakan generasi raja Jaràsandha.
Putra raja Jaràsandha adalah Sahadeva. Sahadeva gugur dalam perang Kurukûetra dan yang menjadi pewaris tahtanya adalah Somadhi, menjadi raja ibukota Girivraja. Somadhi memerintah selama 58 tahun. Dalam garis keturunan ini Úrutaúrava menjadi raja selama 64 tahun dan Ayutàyu memerintah selama 26 tahun. Yang melanjutkan pemerintahannya adalah Niramitra yang menikmati peme-rintahan selama 40 tahun sebelum wafat. Sukûatra meme-rintah selama 56 tahun dan Båhatkarmàn selama 23 tahun.
Senajit, yang kini memerintah akan memerintah dari sekarang selama 23 tahun. (Ini juga merupakan isyarat bahwa naskah ini disusun pada masa pemerintahan Senajit)
Úrutañjaya yang merupakan seseorang yang memiliki kekuatan yang hebat, tentara yang besar dan kebijaksanaan yang tinggi akan memerintah selama 40 tahun. Selanjutnya Vibhu akan memerintah seluruh dunia selama 28 tahun dan Úuci akan menjadi raja selama 58 tahun. Raja Kûema akan memerintah selama 28 tahun; raja Suvrata yang yang sakti akan memerintah selama 64 tahun dan Sunetra akan memerintah selama 35 tahun. Setelah itu maka raja Nivåtti memerintah selama 58 tahun, Trinetra memerintah selama 28 tahun dan raja Dåðhasena memerintah selama 48 tahun. Mahinetra akan memerintah dengan gemilang selama 33 tahun. Suchala akan memerintah selama 32 tahun dan raja Sunetra akan memerintah selama 40 tahun. Raja Satyajit akan menikmati bumi selama 83 tahun. Viúvajit akan menjadi raja selama 25 tahun dan Åpuñjaya akan memerintah selama 50 tahun.
Keenambelas raja ini dimasa datang akan dikenal sebagai para Båhadratha. Kerajaan mereka akan bertahan selama 732 tahun. Selanjutnya akan ada 32 Båhadratha yang akan memerintah selama seribu tahun penuh.


(4)  PRADYOTA
Ketika para Båhadratha telah berakhir masa peme-rintahannya maka Pulika akan membunuh majikannya sendiri dan menunjuk putranya, Pradyota, untuk menjadi raja. Raja Pradyota akan menjajah kerajaan tetangganya dan memerintah selama 23 tahun. Selanjutnya yang menggan-tikannya adalah Pàlaka yang memerintah selama 24 tahun. Viúàkhayùpa menjadi raja selama 50 tahun, Ajaka selama 21 tahun dan Nandivardhana selama 20 tahun.
Lima raja Pradyota ini akan memerintah selama 138 tahun.

(5)  ÚIÚUNÀGA
Úiúunàga akan menghancurkan semua Pradyota dan menjadi raja. Ia akan menjadikan Girivraja sebagai ibukota kerajaannya dan mengangkat putranya untuk menjadi raja di Vàràóasì. Úiúunàga akan memerintah selama 38 tahun dan digantikan oleh anaknya, Kakavaróa, yang memerintah selama 36 tahun. Kûemadharman akan menjadi raja selama 20 tahun selanjutnya dan Kûatrouja selama 40 tahun. Vimbisara akan memerintah selama 28 tahun, Ajataúatru selama 25 tahun dan Dharúaka selama 25 tahun. Setelahnya maka Udayin akan memerintah selama 33 tahun. Udayin akan memindahkan kerajaannya menuju Kusumapura di pinggir selatan sungai Gaògà, dalam seperempat masa pemerintahannya. Kemudian Nandivardhana akan menjadi raja selama 40 tahun dan Mahànàdin selama 43 tahun.
Mereka adalah 10 raja generasi Úiúunàga. Keseluruhan raja dalam generasi ini memerintah selama 163 tahun. (Beberapa Puràóa lain menyebutkan bahwa mereka me-merintah selama 360 tahun)
Kebanyakan dinasti-dinasti ini berjaya atau me-merintah dalam jangka waktu yang sama. Misalnya adalah 24 Ikûvàku, 27 Pàñcala, 24 raja Kaúi, 28 raja Haihaya, 32 raja Kaliòga, 25 Ashmaka, 36 Kuru, 28 Mithila, 23 Úurasena dan 20 Vitihotra.

(6) NANDA
Raja Mahànàdin akan memiliki seorang putra yang berasal dari istrinya yang merupakan seorang úùdra. Anak ini adalah Mahàpadma Nanda yang akan menaklukkan semua raja Kûatriya. Setelah itulah para raja keturunannya adalah raja dari bangsa Úùdra. Mahàpadma Nanda akan berhasil menaklukkan seluruh bumi dan memerintah selama 88 tahun. Ia akan memiliki delapan putra, dimana yang tertua adalah Sukalpa. Delapan putra ini akan melanjutkan pemerintahan setelah Mahàpadma selama 12 tahun.
Seorang Bràhmaóa yang bernama Koutilya akan menghancurkan para Nanda itu. Setelah para Nanda memerintah selama 100 tahun, maka dunia berada di bawah kekuasaan para Mourya.

(7) MOURYA
Koutilya kemudian mengangkat Candragupta untuk memerintah dalam daerah kekuasaannya. Candragupta menjadi raja selama 24 tahun, Vindusara selama 25 tahun dan Aúoka selama 36 tahun. Aúoka memiliki anak yang bernama Kunala yang menggantikannya memerintah selama delapan tahun.
Putra Kunala yang bernama Bandhupalita akan memerintah selama delapan tahun dan Bandhupalita digantikan oleh pewaris tahtanya, Indrapalita, yang meme-rintah selama 10 tahun. Devavarman akan memerintah selama tujuh tahun, putranya Úatadhanu memerintah selama delapan tahun dan Båhadratha selama tujuh tahun.
Sembilan Mourya akan memerintah selama 137 tahun. Setelah itu maka para Úuòga akan menggantikan kekuasaan para Mourya ini.

(8)  ÚUÒGA
Puûyamitra adalah yang akan menjadi jenderal dari raja Båhadaúva. Namun sang jenderal membunuh majikannya sendiri dan mendirikan generasi baru. Puûyamitra menjadi raja dan memerintah selama 36 tahun. Putranya yang bernama Agnimitra akan memerintah selama delapan tahun, Vasujyeûþha selama tujuh tahun dan Vasumitra selama 10 tahun. Selanjutnya Andhraka akan memerintah selama dua tahun, Pulindaka memerintah selama tiga tahun dan putranya yang bernama Ghoûa akan memerintah selama tiga tahun. Selanjutnya Vajramitra akan menjadi raja selama sembilan tahun. Bhàgavata akan menjadi raja selama 32 tahun dan putranya yang bernama Devabhùmi akan memerintah selama sepuluh tahun.
Sepuluh raja Úuòga ini akan memerintah selama total 112 tahun. Dari mereka maka bumi akan beralih pada kekuasaan para Kaóva.

(9)   KÀÓVÀYANA
Pada masa pemerintahan dewa bhùmi Vàsudeva adalah menteri kerajaannya. Vàsudeva dengan siasatnya berhasil menyingkirkan Devabhùmi dan mendirikan dinasty Kàóvàyana. Vàsudeva memerintah selama sembilan tahun dan putranya yang bernama Bhùmimitra akan memerintah selama 12 tahun dan putra Bhùmimitra yang bernama Nàràyaóa akan memerintah selama 12 tahun dan dilanjutkan oleh putranya yang bernama Suúarman.
Mereka semua adalah raja-raja generasi Kàóvàyana. Mereka adalah empat Bràhmaóa yang akan memerintah bumi selama 45 tahun. Mereka akan menaklukkan raja-raja tetangga mereka dan memerintah dengan adil dan bijaksana. Setelah generasi mereka maka pemerintahan di bumi ini dilanjutkan oleh para Andhra.

(10) ANDHRA
Andhra Simuka dan pengikut sukunya telah menjadi pengikut generasi Kaóva yang dipimpin oleh raja Suúarman, akan tetapi mereka menyingkirkan majikannya dan mendirikan generasi baru yang mereka sebut sebagai dinasti Andhra.
Simuka akan menjadi raja selama 23 tahun. Adiknya yang bernama Kåûóa kemudian melanjutkan pemerin-tahannya dan memerintah selama 10 tahun. Adiknya yang bernama Úrì Úatakarói juga melanjutkan pemerintahannya dan memerintah selama 10 tahun. Selanjutnya Pùróotsaòga akan memerintah selama 18 tahun. Skadhastambhi akan memerintah selama 18 tahun juga. Úatakarói memerintah selama 56 tahun dan putranya yang bernama Lambodara memerintah selama 18 tahun. Putra Lambodara yang bernama Apilaka memerintah selama 12 tahun. Meghasvati memerintah selama 18 tahun. Svati akan memerintah selama 18 tahun. Skandasvati akan memerintah selama 7 tahun.
Mågendra Svatikaróa akan memerintah selama 3 tahun. Kuntala Svatikaróa memerintah selama 8 tahun. Svatikaróa hanya akan memerintah selama satu tahun. Pulomavi akan memerintah selama 36 tahun. Ariûþakaróa akan memerintah selama 25 tahun. Selanjutnya Hala memerintah selama 5 tahun. Mantalaka memerintah selama 5 tahun juga. Purikaúena memerintah selama 21 tahun. Sundara Úatakarói memerintah hanya satu tahun. Úakora Úatakarói akan memerintah selama enam bulan. Úivaúvati memerintah selama 28 tahun. Selanjutnya Goutamiputra akan memerintah selama 21 tahun. Selanjutnya, putranya yang bernama Puloma akan memerintah selama 28 tahun. Úivaúrì puloma akan memerintah selama 7 tahun. Putranya yang bernama Úivaskandha Úatakarói akan memerintah selama 3 tahun. Yajñaúrì Úatakaróika memerintah selama 29 tahun. Setelahnya, maka Vijaya menggantikannya selama enam tahun. Putranya yang bernama Candraúrì Úatakarói akan berkuasa selama sepuluh tahun. Dan Pulomavi akan memerintah selama tujuh tahun.
Tiga puluh raja Andhra ini akan memerintah selama bumi selama 460 tahun.

(11)  DINASTI LOKAL
Ketika masa kekuasaan para raja Andhra ini maka yang melanjutkannya adalah para raja yang berasal dari keturunan para pelayan. Maka akan ada tujuh orang yang termasuk kedalam tujuh Úrìpàrvatiya Andhra. Juga ada sepuluh raja Abhira, tujuh raja Gardabhin dan 18 Úaka. Akan ada 8 Yavana, 14 Tuûàra, 13 Murunda dan 11 Mouna.
Úrìpàrvatiya Andhra akan bertahan selama 52 tahun, para raja Abhira selama 67 tahun. Tujuh raja Gardabhin akan menikmati bumi selama 72 tahun. Para raja Úaka memerintah selama 183 tahun. Delapan Yavana memerintah selama 87 tahun. Sejarah akan selalu mencatat bahwa Tuûàra telah memerintah selama 7000 tahun. 13 raja Murunda bersama bangsa Mlechha akan menikmati pemerintahan selama 200 tahun. 11 Mouna akan menikmati pemerintahan selama 103 tahun. Ketika akhirnya mereka tersingkirkan maka tersebutlah raja Kilakila yang memerintah disana.
Setelah pemerintahan raja Kilakila berakhir maka raja Vindhyaúakti memerintah dan ia memerintah selama 96 tahun dan menggantikan kedudukan semua raja yang telah wafat mendahuluinya.

(12)  DINASTI VIDIÚA
Raja-raja yang selanjutnya memerintah kerajaan Vidiúà juga dicantumkan.
Bhogin, yang merupakan putra raja ular, Úeûa, akan diangkat menjadi raja. Ia menaklukkan musuh-musuhnya dan mengembangkan kekuasaan kerajaan para ular. Sadàcandra akan menjadi raja yang kedua dari keturunan ini, Candràmúa menjadi raja ke tiga, dan Dhanadharman menjadi raja yang keempat. Setelah itu maka Vaògara dan Bhutinanda menggantikan mereka.
Ketika keluarga para Úuòga telah berakhir maka Úiúunandi akan memerintah. Adiknya akan dinamakan Nandiyaúa, dalam garis keturunannya akan ada tiga raja. Putra dari putrinya akan bernama Úuúuka dan akan memerintah di Purika.
Vindhyashati memiliki putra yang menjadi Pravira dan akan memerintah kota Kañcanaka selama 60 tahun. Ia akan melakukan banyak upacara persembahan dan keempat putranya akan menjadi seorang raja.

(13)  DINASTI RAJA-RAJA PADA ABAD KE III 
Ketika keluarga para Vindhyaka telah meninggal semua, maka akan ada 3 raja Bahlika. Mereka adalah Supratika dan Nabhira yang memerintah selama 30 tahun, Úakyama menjadi raja para Mahiûì. Kemudian akan ada 13 Puûyamitra dan Putamitra. Di Mekala ada tujuh raja yang akan memerintah selama 70 tahun . Di Koúala akan ada sembilan raja yang bijak dan sakti yang memerintah yang bergelar Màgha. Semua raja yang berasal dari para Niûadha, lahir dari keluarga Nala, akan menjadi sangat úakti dan  berjaya hingga hancurnya para Manu.
Diantara para Màgadha, yang menjadi raja adalah Viúvaphani. Dengan menyingkirkan para raja dari kasta Kûatriya maka ia mereka mengangkat raja dari kasta selain Kûatriya - kaivarta, pañcaka, pulinda dan Bràhmaóa. Ia akan mengangkat orang-orang ini untuk menjadi raja di berbagai negara bagiannya. Viúvaphani yang agung akan menjadi sehebat dan seagung Viûóu dalam peperangan. Setelah berhasil membuat para dewa berkenan dengan perbuatan baiknya maka ia pergi ke sungai Gaògà dan meninggalkan kehidupan duniawinya. Setelah wafat ia tinggal bersama Indra selama bertahun-tahun.

(14)  DINASTI LAIN PADA ABAD KE III 
Sembilan raja Naka akan memerintah di kota Campavati. Tujuh raja Naga akan memerintah di kota Mathura. Para raja yang lahir dari generasi Gupta menikmati daerah kekuasaan disekitar sungai Gaògà, Prayàga, Saketa, dan Màgadha. Para raja yang lahir dari Manidhanya akan menikmati kekuasaan di Naiûadha, Yaduka, Tamralipta dan pemandangan indah yang terdapat di kota Campa.
Guha menjadi raja di Kaliòga, Mahiûa dan seluruh penghuni pegunungan Mahendra. Para Úùdra menjadi raja di Úuoraûþra, Avyantyas, Abhira, Arbuda dan Malava. Orang-orang yang berasal dari golongan yang dianggap sebagai orang buangan menjadi raja di pinggiran sungai Sindhu (Indus), Candrabhàga (Chenab) dan Kounti dan daerah sekitar Kaúmir.
Semua raja ini sangat tidak berperasaan, tidak jujur, dan tidak baik sama sekali.
(Menceritakan tentang kisah raja-raja jaman Kali memang agak membosankan dan hampir tidak ada gunanya. Namun ini memainkan peran penting dalam semua Puràóa. Ini juga terjadi khususnya pada Bhaviûya Puràóa, yang merupakan misinya untuk membicarakan masa depan)
Daftar ini juga membawa peran penting dalam menelusuri perang Kurukûetra dan kejadian setelahnya. Jika anda telah membaca kitab Mahàbhàrata maka anda akan menemukan bahwa perang Kurukûetra itu melibatkan 11 batalyon (akûohini) pada pihak kaurava dan 7 akûohini pada pihak Pàóðava. Setiap akûouhini terdiri dari 21.870 pasukan kereta, 21.870 pasukan gajah, 65.610 pasukan berkuda dan 109.350 pasukan biasa. Jika dalam setiap kereta, kuda dan gajah ada satu orang maka dalam satu akûouhini itu ada 218.700 orang manusia. Dan jika ada delapan belas akûouhini yang dilibatkan maka jumlah orang yang dilibatkan didalamnya adalah 3.936.600 orang. Ini sungguh jumlah yang hampir tidak masuk akal pada jaman itu. Oleh karena itulah tidak seorangpun percaya bahwa kejadian ini benar-benar terjadi. Akan tetapi mungkin saja ada beberapa fakta sejarah yang telah didistorsi karena dibesar-besarkan.
Tapi mungkinkah seseorang melacak kebenaran sejarah itu?
Jika kita perpanjang sedikit tentang hal ini, maka ada tiga cara yang mungkin dilakukan untuk melacak kebenaran tentang perang Kurukûetra ini. Yang pertama adalah dengan menggunakan cara astronomi dengan memanfaatkan posisi nakûatra seperti yang terjadi dalam Mahàbhàrata. Mungkin karena banyaknya interpolasi dan argumen yang diper-kenalkan maka ada banyak sekali perbedaan dalam tahun yang jelas dari kejadian sebenarnya, ada yang menyebutkan 3140 sebelum masehi, 3137 SM, 3102 SM, 3000 SM, 2449 SM, 1931 SM, 1400 SM, 1197 SM dan 1151 SM.
Pendekatan yang kedua adalah penyelidikan tentang kejadian yang sebenarnya dari perang Kurukûetra yang didasarkan pada analisa astrolog terkenal yaitu Àryabhaþþa, Våddhagarga dan Varàhamihira. Analisa Àryabhaþþa mengatakan bahwa jaman Kali dimulai pada 3102 sebelum Masehi. Oleh karena itulah perang Kurukûetra terjadi pada sekitar 3138 sebelum masehi. Våddhargarga dan Varàha-mihira menyatakan bahwa perang itu terjadi sekitar 2449 sebelum masehi. Akan tetapi para sarjana membantah bahwa tidak satupun dari dua analisa itu menunjukkan kebenaran dari fakta sejarah.
Pendekatan yang ketiga adalah dengan menggunakan silsilah para raja yang telah diberikan dalam keterangan diatas. Dari sumber-sumber sejarah yang ditinggalkan oleh seorang sejarawan Yunani yang bernama Meghasthenes, maka kita bisa melacak perioda kekuasaan Candragupta. Sumber-sumber silsilah kita bisa mendapatkan keterangan tentang jumlah raja-raja yang ada dari saat dinobatkannya Parìkûit hingga pada masa Candragupta. Jika seseorang membuat sebuah asumsi tentang rata-rata jumlah tahun dari seseorang raja memerintah maka kita bisa menghitung mundur dan menghitung tahun saat raja Parìkûit dinobatkan dengan saat terjadinya perang Kurukûetra. Karena subyek-tivitas dari pengamat, maka penetapan rata-rata lamanya seorang raja memerintah maka dihasilkanlah variasi dari tahun terjadinya perang Kurukûetra sebagai berikut, ada yang menyebutkan 1500 sebelum masehi, 1397 sebelum masehi, 950 sebelum masehi, dan 1000 sebelum masehi. Akan tetapi dari sudut pandang apa yang telah menjadi kepercayaan penduduk lembah Indus dan kedatangan bangsa Àrya, maka ditentukan bahwa perang ini berlangsung sekitar 1000 sebelum masehi dan tahun ini dianggap sebagai tahun yang bisa diterima oleh para sarjana.)


DUA BELAS ASPEK DARI SÙRYA
Dewa matahari memanifestasikan dirinya menjadi dua belas aspek yang berbeda. Ini dinamakan sebagai para Àditya dan mereka adalah Indra, Dhàtà, Parjañya, Pùûà, Tvaûþa, Aryama, Bhaga, Vivasvàna, Viûóu, Amúu, Varuóa dan Mitra.
Dalam perannya sebagai dewa Indra maka dewa Sùrya memimpin para dewa dan menjadi raja mereka.
Sebagai Dhàtà, Sùrya menciptakan semua mahluk.
Sebagai Parjañya, maka beliau berada di awan dan menu-runkan hujan.   
Sebagai Pùûà, maka beliau berada disemua benih bahan makanan dan memberikan kesejahteraan pada semua orang.
Sebagai Tvaûþa, maka beliau berada disemua pohon dan tanaman.
Sebagai Aryama, maka beliau berada di angin dan mem-berikan nafas kehidupan pada semua mahluk.
Sebagai Bhaga, maka Sùrya berada dibumi dan tubuh setiap mahluk.
Sebagai Vivasvàna, maka beliau berada di api dan membantu dalam mematangkan masakan.
Sebagai Viûóu, maka dewa matahari menghancurkan musuh-musuh para dewa.
Sebagai Amúu, maka beliau berada di udara dan memberikan kebahagiaan dihati semua mahluk.
Sebagai Varuóa maka beliau berada di air dan mendukung seluruh kehidupan ini.
Sebagai Mitra, maka beliau berada di pinggir sungai Candrabhàga. (ini adalah tempat dimana Sàmba mendirikan kuil untuk beliau)
Orang yang mengetahui dua belas aspek Sùrya ini akan mendapatkan tempat di istana Sùrya dan tinggal bersama beliau.
Dalam setiap bulan dalam satu tahun, salah satu dari dua belas aspek ini akan bermanifestasi. Viûóu bermanifestasi pada bulan Caitra, Aryama pada bulan Vaiúàkha, Vivasvàna pada bulan Jyaiûþha, Amúu pada bulan Àûada, Parjañya pada bulan Úravaóa, Varuóa pada bulan Bhadra, Indra pada bulan Aúvina, Dhàtà pada bulan Karttika, Mitra pada bulan Agrahyana, Pùûà pada bulan Pouûa, Bhaga pada bulan Màgha dan Tvaûþa pada bulan Phàlguna.
Dua belas nama ini tiada lain hanyalah nama dewa Sùrya belaka. Sebagai tambahan dari nama-nama itu, maka beliau juga memiliki dua belas nama tambahan. Nama-nama itu adalah Àditya, Savita, Sùrya, Mihira, Arka, Prabhàkara, Màrtàóða, Bhàskara, Bhànu, Citrabhànu, Divàkara dan Ravi.
Dalam wujudnya sebagai Aryama, Sùrya memiliki 1400 jenis sinar dan dalam wujud Amúu beliau memiliki 1500 sinar. Sebagai Parjañya, Viûóu, dan Varuóa beliau memiliki masing-masing 1400 jenis cahaya. Indra memiliki 1200 jenis cahaya, Dhàtà dengan 1100 jenis cahaya, Mitra 1500 jenis cahaya, Pùûà seribu jenis cahaya, Bhaga 1500 jenis cahaya dan Tvaûþa memiliki 1000 jenis cahaya.


KERETA DEWA SÙRYA 
Kereta dewa Sùrya berwarna keemasan dan ini dibuat sendiri oleh dewa Brahmà. Nama dari kusir yang mengen-darainya adalah Aruóa. Kereta ini ditarik oleh tujuh kuda yang bernama Gàyatrì, Triûþupa, Jagatì, Anuûþupa, Paòkti, Våhatì dan Uûóika.
Dua àditya (dewa), dua åûi, dua gandharva (penyanyi kahyangan), dua apsara (penari di kahyangan), dua nàga (ular), dan dua ràkûasa selalu berada dan mengikuti di dalam kereta. Hal ini dijelaskan sebagai berikut.
Pada bulan Caitra dan Vaiúàkha, dua Àditya yang bertugas adalah Dhàtà dan Aryama, dua åûi yang bertugas adalah Pulastya dan Pulaha, dua gandharva yaitu Tumburu dan Nàrada, dua apsara yaitu Krithasthali dan Puñjikàsthalà, dua nàga yaitu Vàsuki dan Kañca, dan dua ràkûasa yaitu Heti dan Praheti.
Pada bulan Jyeûþha dan Àûada, dua àditya yang bertugas adalah Mitra dan Varuóa, dua åûi yang bertugas adalah Atri dan Vasiûþha, dua gandharva yang bertugas adalah Hàhà dan Hùhù, dua apsara yaitu Menakà dan Sahajanyà, dua nàga yaitu Takûaka dan Ananta, dan dua ràkûasa yaitu Pouruûeya dan Budha.
Pada bulan Úravaóa dan Bhàdra, dua àditya yang bertugas adalah Indra dan Vivasvàna, dua åûi yaitu Aògira dan Bhågu, dua gandharva yaitu Viúvavasu dan Ugrasena, dua apsara  yaitu Pramlocanti dan Anumlocanti, dua nàga yaitu Elàpatra dan Úaòkhapàla, dan dua ràkûasa yaitu Sarpa dan Vyàghra.
Pada bulan Aúvina dan Karttika, àditya yang bertugas adalah Parjañya dan Pùûà, dua åûi yaitu Bharadvàja dan Goutama, dua gandharva yaitu Citrasena dan Ruci, dua apsara yaitu Viúvaci dan Gåhitaci. Dua nàga yaitu Viúruta dan Dhanañjaya dan dua ràkûasa yaitu Apa dan Vàta.
Pada bulan Agrahàyaóa dan Paouûa, dua àditya yang bertugas adalah Amúa dan Bhaga, dua åûi yaitu Kaúyapa dan Kratu, dua gandharva adalah Citràògada dan Uróayu, dua apsara yaitu Pùrvaciti dan Urvaúì, dua nàga yaitu Tàrkûya dan dua ràkûasa yaitu Sphùrja dan Vidyut.
Pada bulan Màgha dan Phàlguna, dua àditya yang bertugas adalah Tvaûþà dan Viûóu, dua orang åûi yaitu Jamadagni dan Viúvàmitra, dua gandharva yaitu Dhåtaràûþra dan Varca, dua apsara yaitu Tilottama dan Rambhà, dua nàga yaitu Kadraveya dan Kambhalasvatara, dan dua orang raksasa yang bernama Brahmapreta dan Yakûapreta.    


ÚÀKADVÌPA
Disebutkan bahwa bumi terdiri dari tujuh wilayah (dvìpa) dan ketujuh wilayah ini adalah Jambùdvìpa, Plakûadvìpa, Úàmaladvìpa, Kuúadvìpa, Krouñcadvìpa, Puûkaradvìpa, dan Úakadvìpa.
Tanah Bharatavarûa terletak di wilayah Jambùdvìpa.
Úakadvìpa dikelilingi oleh lautan yang amat luas yang dikenal sebagai Dadhi samudra.
Kota Úakadvìpa adalah kota yang suci dan pen-duduknya terkenal berumur panjang. Kelaparan, penyakit, dan umur tua hampir tidak dikenal di tempat ini. Di wilayah ini terdapat tujuh gunung salju yang diyakini merupakan gudang dari berbagai jenis batu berharga. Intan permata terdapat di sungai yang mengalir di kota ini.
Gunung yang pertama adalah gunung Meru, disini adalah tempat para åûi dan gandharva tinggal. Gunung yang kedua adalah Udaya, yang membentang ke arah timur. Puncak gunung ini berwarna kuning keemasan. Disini awan berkumpul dalam jumlah yang sangat banyak. Gunung yang ketiga adalah Mahàgiri yang memiliki banyak danau di sekitarnya. Diyakini bahwa dari danau inilah dewa Indra mengambil uap air untuk dipakai membuat awan hujan. Disekitar daerah ini terdapat banyak tempat kediaman penduduk.
Gunung yang keempat adalah Raivataka. Nama ini berhubungan dengan sebuah nakshatra yang bernama Revati. Karena keindahannya maka gunung ini sering disebut sebagai surganya Úakadvìpa. Gunung yang kelima adalah Úyàma dan memiliki penampakan yang gelap. Gunung yang keenam adalah gunung Antagiri yang berwarna keperakan. Dan gunung yang ketujuh adalah gunung yang terakhir yaitu gunung Ambikeya. Gunung ini selalu ditutupi oleh salju dan sangat sulit untuk menjangkaunya.
Tersebutlah sebuah pohon yang terkenal dinamakan pohon Úaka tumbuh di kerajaan ini dan dari pohon inilah nama Úakadvìpa didapatkan. Pohon ini dipuja oleh semua orang yang ada disana. Dan diyakini bahwa Úakadvìpa merupakan wilayah yang sering dikunjungi oleh para dewa dan gandharva.
Di Úakadvìpa ada tujuh sungai yang suci dan karena kesuciannya itu maka semua sungai ini disebut sebagai sungai Gaògà. Namun sebenarnya memiliki nama masing-masing. Sungai yang pertama dinamakan Úivajala, kedua adalah Kumàri atau Vàsavì, yang ketiga adalah Nanda atau Pàrvatì, keempat dinamakan Úivetika atau Pàrvatì, yang kelima adalah Ikûu atau Kratu, yang keenam adalah Dhenuka atau Måta dan yang ketujuh tidak disebutkan namanya. Semua sungai ini mengalir ke samudra luas.
Mengenai Kasta atau golongan masyarakat di Úakadvìpa terdapat empat golongan masyarakat dan mereka hiup secara rukun berdampingan. Mereka terbebas dari rasa benci, iri, kecemburuan dan kesedihan. Sebagaimana yang telah dijelaskan didepan, empat kasta yang terdapat di Úakadvìpa adalah Maga, Magaga, Ganaga dan Mandaga. Maga setara dengan Bràhmaóa, Magaga setara dengan Kûatriya, ganaga setara dengan Vaiúya dan Mandaga setara dengan Úùdra.
Penduduk Úakadvìpa memuja dewa Sùrya sebagai dewa yang tertinggi dengan melaksanakan vrata dan puasa. Mereka diberkati oleh putra sang dewa. Úàkadvìpa dikelilingi oleh lautan yang disebut sebagai Kûiroda atau lautan susu.


MANVANTARA
Setiap manvantara adalah sebuah kurun waktu yang sangat panjang dimana dalam setiap manvantara itu dipimpin oleh seorang Manu disebutkan bahwa ada empat belas Manvantara dan setelah empatbelas manvantara itu berlalu maka alam semesta akan dihancurkan secara total.
Sekarang ini enam manvantara telah berlalu. Keenam manvantara itu adalah Svàyambhuva, Svarociûa, Uttama, Tàmasa, Raivata, dan Càkûuûa. Manvantara sekarang ini adalah Vaivasvata, yang merupakan manvantara yang ketujuh. Dimasa depan akan ada tujuh manvantara lagi.
(Tentang manvantara ini telah dijelaskan dalam Puràóa-Puràóa yang lainnya)
Kebanyakan kitab Puràóa berisikan tentang pernyataan keagungan dewa Brahmà, Viûóu dan Úiva dan in membuat mereka menjadi dewa yang lebih terkenal dikalangan umat manusia. Dan disini Bhaviûya Puràóa tampak agak aneh dengan mengagungkan Sùrya. Yang diberikan disini hanyalah sekilas dari isi yang sebenarnya. Mungkin tidak diragukan lagi anda pasti ingin mengetahui lebih lanjut tentang hal ini terutama pemujaan kepada Sùrya. Ini bisa didapatkan dalam Bhaviûya Puràóa dalam bentuk utuhnya.


Baca juga :
1. Agni Puràóa
Sumber: Bibek & Dipavali, 2001, Bhaviûya Puràna, Surabaya, Paramita

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar