Halaman

Jumat, 01 Juni 2012

Candra Wamsa - Bhagawata Purana

CANDRA WAÝÚA
Båhaspati adalah guru dari para dewa dan istri beliau bernama Tara. Sedangkan di pihak lain, Soma adalah putra åûi Àtri.


Soma kemudian menculik Tara dan meskipun Bhåhaspati telah memintanya untuk mengembalikan Tara, namun Soma menolaknya. Maka terjadilah perang antara para dewa dan para àsura yang berada di pihak Soma. Akhirnya Soma harus mengembalikan Tara. 

Namun saat itu Tara sedang melahirkan seorang anak dari Soma yang bernama Buddha. Anak ini sangat alim dan bijaksana. Seperti telah kita ketahui dalam cerita sebelumnya bahwa Buddha menikah dengan Ilà kemudian mempunyai putra yang bernama Purùrawa.

Suatu kali Purùrawa bertemu dengan seorang apsara yang sangat cantik bernama Urwaúi dan mereka kemudian menikah. Mereka hidup dengan bahagia selama bertahun-tahun dan memiliki beberapa putra yaitu Àyu, Úrutàyu, Satyayu, Aya, Wijaya dan Jaya.

Gàdhi adalah keturunan dari Wijaya. Dan ia memiliki seorang putri yang bernama Satyawatì. Kemudian seorang bràhmaóa yang bernama Åcìka datang untuk melamar Satyawatì. Namun Gàdhi merasa bahwa Åcìka adalah orang yang pantas untuk menyunting putrinya. 

Maka ia kemudian berkata, “Jika kau mau menikahi Satyawatì maka ada mas kawin yang harus dibayar. Bawakanlah seribu kuda pilihan. Setiap kuda harus berkulit putih dan telinganya berwarna hitam.”

Hal ini tampaknya adalah tugas yang mustahil namun Åcìka berhasil mendapatkan kuda-kuda itu dari Waruóa. Maka ia pun berhasil menikahi Satyawatì.

Saat itu Satyawatì dan ibunya sama-sama ingin memiliki anak dan Åcìka harus melakukan sebuah ritual untuk mewujudkannya. Åcìka mendapatkan dua mangkuk nasi sebagai hasil ritual itu, lalu memberikannya masing-masing pada Satyawatì dan mertuanya, dan setelah makan nasi itu maka mereka akan memiliki anak. 

Karena ia adalah seorang bràhmaóa, maka Åcìka telah memastikan bahwa nasi yang diberikan pada Satyawatì adalah benih seorang bràhmaóa. Dan untuk ibu mertuanya, ia telah menyiapkan benih seorang kûatriya.

Namun ibu mertuanya berpikir bahwa menantunya pasti telah memberikan benih yang terbaik pada istrinya. Maka dia kemudian membujuk Satyawatì untuk menukar benih mereka.

Ketika Åcìka mengetahui hal itu telah terjadi, maka ia berkata pada Satyawatì, “Kau seharusnya tidak berbuat seperti itu. Sekarang anakmu akan berbuat seperti seorang kûatriya.”

“Aku tidak menginginkan anak yang bersifat seperti para kûatriya.” jawab Satyawatì. “Tidak bisakah kau melakukan sesuatu agar sebaiknya cucuku yang akan menjadi kûatriya ? Biarkan anakku menjadi seorang bràhmaóa.”

Åcìka menyetujuinya. Maka mereka kemudian melahirkan seorang anak yang bernama Jamadagni yang kemudian menikah dengan Reóukà. Jamadagni dan Reóukà memiliki beberapa orang putra dan yang paling bungsu adalah Paraúuràma.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar