CANDRA WAÝÚA
Båhaspati adalah guru dari para dewa dan istri beliau bernama
Tara. Sedangkan di pihak lain, Soma adalah putra åûi Àtri.
Soma kemudian menculik Tara dan meskipun Bhåhaspati telah
memintanya untuk mengembalikan Tara, namun Soma menolaknya. Maka terjadilah
perang antara para dewa dan para àsura yang berada di pihak Soma. Akhirnya Soma
harus mengembalikan Tara.
Namun saat itu Tara sedang melahirkan seorang anak
dari Soma yang bernama Buddha. Anak ini sangat alim dan bijaksana. Seperti
telah kita ketahui dalam cerita sebelumnya bahwa Buddha menikah dengan Ilà
kemudian mempunyai putra yang bernama Purùrawa.
Suatu kali Purùrawa bertemu dengan seorang apsara yang sangat
cantik bernama Urwaúi dan mereka kemudian menikah. Mereka hidup dengan bahagia
selama bertahun-tahun dan memiliki beberapa putra yaitu Àyu, Úrutàyu, Satyayu,
Aya, Wijaya dan Jaya.
Gàdhi adalah keturunan dari Wijaya. Dan ia memiliki seorang
putri yang bernama Satyawatì. Kemudian seorang bràhmaóa yang bernama Åcìka
datang untuk melamar Satyawatì. Namun Gàdhi merasa bahwa Åcìka adalah orang
yang pantas untuk menyunting putrinya.
Maka ia kemudian berkata, “Jika kau mau
menikahi Satyawatì maka ada mas kawin yang harus dibayar. Bawakanlah seribu
kuda pilihan. Setiap kuda harus berkulit putih dan telinganya berwarna hitam.”
Hal ini tampaknya adalah tugas yang mustahil namun Åcìka
berhasil mendapatkan kuda-kuda itu dari Waruóa. Maka ia pun berhasil menikahi
Satyawatì.
Saat itu Satyawatì dan ibunya sama-sama ingin memiliki anak dan
Åcìka harus melakukan sebuah ritual untuk mewujudkannya. Åcìka mendapatkan dua
mangkuk nasi sebagai hasil ritual itu, lalu memberikannya masing-masing pada
Satyawatì dan mertuanya, dan setelah makan nasi itu maka mereka akan memiliki
anak.
Karena ia adalah seorang bràhmaóa, maka Åcìka telah memastikan bahwa nasi
yang diberikan pada Satyawatì adalah benih seorang bràhmaóa. Dan untuk ibu
mertuanya, ia telah menyiapkan benih seorang kûatriya.
Namun ibu mertuanya berpikir bahwa menantunya pasti telah
memberikan benih yang terbaik pada istrinya. Maka dia kemudian membujuk Satyawatì
untuk menukar benih mereka.
Ketika Åcìka mengetahui hal itu telah terjadi, maka ia berkata
pada Satyawatì, “Kau seharusnya tidak berbuat seperti itu. Sekarang anakmu akan
berbuat seperti seorang kûatriya.”
“Aku tidak menginginkan anak yang bersifat seperti para
kûatriya.” jawab Satyawatì. “Tidak bisakah kau melakukan sesuatu agar sebaiknya
cucuku yang akan menjadi kûatriya ? Biarkan anakku menjadi seorang bràhmaóa.”
Åcìka menyetujuinya. Maka mereka kemudian melahirkan seorang
anak yang bernama Jamadagni yang kemudian menikah dengan Reóukà. Jamadagni dan
Reóukà memiliki beberapa orang putra dan yang paling bungsu adalah Paraúuràma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar